#Part 5. Timbangan Neraca

4 1 0
                                    

"tempat apo ini, Ryaaa?" Patih panik.

"diam lah, Patih. nanti Kito ketahuan" sikutku, Patih merungut, balas menyikut.

kalo aku tidak salah tadi aku melihatnya di meja ini tapi dimana dia, apa aku salah lihat. Patih terus menarik-narik bajuku. aku tidak tau ini ruangan apa, ruangnya gelap, tidak di kasih lampu, banyak barang-barang disini, tapi ruangnya bagus, semacam ruang seni kalo aku tidak salah kira ya.

akhirnya yang aku cari ketemu. ternyata aku salah lihat, bentuknya saja sama tapi tempatnya beda pantas aku tidak tahu.

"ni, Patih. cubo kau tengok ni? baguskan?"

pelan dia maju, berkerut keningnya melihat benda itu. "apo ini Rya?" tanyanya. "ini namanya timbangan" jawabku.

Patih tertawa. "timbangan bukan seperti ini modelnyo lah Rya, lucu kau ini" ejeknya.

"bodoh lah, Kau ini" gerutuku mendorongnya minggir.

aku mengambil timbangan itu lalu mendekapnya. ukurannya cukup besar. aku tidak tau itu untuk apa tapi bentuknya lucu.

"cepat, Patih. kito keluar" gegasku. Patih mengekor di belakang lalu menutup pintu.

"buat apo sama kau itu, Rya?"

"buat nimbang dosa kau! ya buat main lah kita di tang aie" jawabku ketus.

Tang aie adalah sebutan dari sungai di belakang rumahku itu. sungai kehidupan menurutku. soalnya orang-orang mengambil air minum dari sana, bukan di sungainya tapi di batu-batu dekat sungai itu di gali sampai mengeluarkan mata air. airnya segar, selepas main di sekitar sungai atau pulang sekolah melewati sungai aku selalu minum dari sana, di lubang mata air yang dibuat orang-orang, ada pula yang niat taro gayung di sana supaya bisa minum pakai gayung.

kalo tidak ada wadah kami tengkurap minum langsung dari mulut. selain itu warga juga banyak yang mandi, dan mencuci di sungai, sampai menjemurnya pun di batu-batu tepi sungai. balumbo sebutan berenang di sungai. aku suka balumbo sampai petang.

saat turun ke sungai lewat jalan di samping rumahku, aku suka mengambil buah kecil-kecil tapi pohonya besarrr sekali, ngeri, jadi berasa mistis kalo sudah melewati pohon itu, kami menyebut buah itu buah beracun, karena buahnya memang beracun.

sampai di tang aie aku letakkan timbangannya di atas pasir. Patih ku suruh mengambil daun-daun, ranting, dan biji-bijian di sekitar sungai. dia sempat menolak tapi nyatanya dia mau juga kan.

"dah, Rya" Patih menjatuhkan tubuhnya ke tanah.

"ih, kau kenapo Patih? malas sekali kau harini?" tanyaku sembari membuat bongkahan pasir.

Patih hanya mengedikan bahu, tak menjawab. dia mengambil satu bongkahan pasir, meletakkannya di atas timbangan, tiba-tiba cekikikan sendiri. apa kubilang, dia anak yang aneh kan. dahiku mengernyit.

"berat sekali dosa kau, Rya? tengok itu timbangannya berat sebelah" canda Patih. oh jadi itu yang buat dia cekikikan tidak jelas.

"gak lucu" hanya itu responku. dia tetap tertawa.

"gak seru lah, Rya" celetuk Patih akhirnya.

"jadi timbangan ini kau bawa ke sini cuma buat main masak-masakan, warung-warungan?" aku mengangguk mengiyakan.

Patih lagi-lagi melesu. "Rya, kau tau ndak?" Patih buka suara.

"indak" jawabku tak acuh.

"dengar dulu"

"iyo Patiiihh, dari tadi jugo aku dengarkan kau ini" ketusku.

Patih memutar posisi menghadap ke arahku, tapi aku berdiri karena melihat bunga putri malu, besaaarr. Patih masam.

"yaya aku dengar" ucapku cepat sebelum anak itu menyembur.

Patih buang napas panjang, wajahnya murung. "minggu depan bang Zaki pindah ke Padang"

"lah? terus kito dimana kalo bukan di Padang, Patih. aneh kau Patih" selaku, sengaja sekedar hiburan semata.

"maksudku, ke kotanya" Patih geram.

"Ooh" aku tertawa cekikik. "mau apo bang Zaki ke kota?" tanyaku agar cerita berlanjut.

sebenarnya aku juga sedih mendengarnya karena tak ingin bang zaki pergi. tapi apa dayaku, aku hanya temanya dan teman adiknya.

Patih selonjoran. "dia lanjut sekolah disana karena Mak uwo yang minta, mak uwo tinggal sendirian" jawabnya. aku malas sekali melihat wajah Patih lesu begitu.

"jadi bang Zaki indak bakal kesini, Tih?"

"ntah"

Aaww !!

Patih sontak berdiri, wajahnya terkejut. "kenapo kau, Rya!?" tanyanya menghampiriku.

"di sengat lebah" jawabku meringis.

"kok bisa???" Patih menarik tanganku, melihat. tangannya lembut mengusap titik bagian yang di sengat.

lebah keparat itu menyengatku di punggung telapak tangan tidak jauh dari jempol. Patih tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.

"tengok, Rya? lebah tu gigit tangan kau sekali dua, dasar tolol, gayaan nangkap lebah" ujarnya di sela-sela tawa.

aku kesal sekali rasanya. marah, aku mengambil timbangan Neraca, memberi timbangan tersebut ke pangkuannya sampai dia sedikit terdorong kebelakang. aku langsung lari pulang. Patih mengejar dengan terus tertawa.

di rumah aku langsung mencari Mamak tapi ternyata Mamak belum pulang. kak Suffi masuk, keningnya berkerut melihatku tidak karuan seperti cacing kepanasan. mataku merah menahan tangis. ternyata sesakit itu di sengat lebah.

"kenapo kau ini, Rya?"

Patih datang tiba-tiba mengagetkan kak Suffi. "Dia sedih kak Pii, karena bang Zaki nak pindah" jawab Fatih bergurau.

"indaakkkk, bohong kau Patih. Rya di sengat lebahh, kak Suffiiii" tangisku langsung pecah.

"Astagfirullah, main apo kau sampai di sengat? cepat kesinikan tangan kau, kasih air garam" omel kak Suffi.

lebih tepatnya mulai omelan karena setelah itu dia terus mengomel, sampai tanganku selesai di obati juga dia masih mengomel.

Mamak pulang dengan wajah letih. ia langsung ke kamar mandi untuk mencuci tangan, kaki, dan wajah supaya lebih segar. setelah itu lanjut ke dapur menyiapkan makan malam.

"Mak, biar Suffi yang masak. Mamak istirahat sajo, latiah tampaknyo" kak Suffi menghampiri Mamak. aku hanya diam melihat itu, aku juga lebih fokus meniup tanganku yang membengkak.

"alah sholat adek-adekmu, Pii?"

kak Suffi mengangguk sembari mengumpulkan piring-piring kotor untuk dicuci.

tak ada lagi percakapan diantara mereka. aku mengartikan dari mimik dan sikap Mamak hari ini sepertinya Mamak sedang ada masalah dan ribuan partikel masalah itu berlarian di kepala Mamak.

"Mak, ada novel baru. Rya nak beli novel" ujarku saat Mamak mengambil lap di meja sampingku.

Mamak mendengus. "sudah tu Rya, dah banyak novel kau di kamar, baco novel yang ado sajo. indak mudah mancari pitih, Rya" ucap Mamak lirih lalu kembali ke dapur.

"sesekali buek novel surang, ijan novel urang je yang dibaco taruih"

siap, mak. nanti Rya buat kalo sudah mampu, rya cantumkan nama Mamak besar-besar di halaman pertama, balasku dalam hatidiiringi tawa.

"tapi itu sudah habis dibaco semua, Mak" teriaku membalas ucapan Mamak tadi setelah diam beberapa menit.

"jan sampai wajan melayang di kapalo kau, Rya!" balas Mamak.

aku tertawa sembari bergegas lari ke kamar.

Layang-layang "Terbanglah Tinggi"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang