Prolog

11 5 0
                                    

Cuaca dimalam yang gemuruh ini mampu membuat beberapa orang ketakutan. Semua pintu rumah tertutup rapat. Hujan menerjang dengan begitu derasnya sembari bersahutan dengan gemuruh yang kuat. Seolah berteriak pada seluruh isinya, bahwa ada begitu banyak jiwa-jiwa yang sedang berduka dan ingin pulang tanpa berpamitan dimalam ini.

Namun lain halnya dengan seorang anak  perempuan yang berusia 10 tahun saat ini, ia sedang berdiri didepan teras rumahnya. Setengah badannya sudah basah, tentu akibat dari percikan air hujan. Remaja perempuan itu beberapa kali sempat meringis sebab percikan hujan itu sesekali menyentuh wajahnya yang terluka. Luka yang ia dapati beberapa menit lalu dari pukulan keras milik Papa. Benar, ia adalah  seorang anak perempuan yang dipukuli habis-habisan oleh Ayahnya sendiri. 

"Neng Kia..." Isakan pelan nan sendu itu adalah milik bi Rasi yang sudah lama bekerja  dirumah ini.

Sakia menoleh kearah jendela paling pojok diarea sekitar dapur. Ia melihat bi Rasi menghapus jejak air matanya. Sakia membalasnya dengan senyum yang menenangkan. Ia menggerakan tangannya seolah menyuruh bi Rasi untuk beranjak dari sana dan segera tidur.

Dengan cepat bi Rasi menggeleng keras.

Sakia berjalan mendekati jendela itu. Berniat  mendekati pelan bi Rasi yang sudah menunggu. Namun langkahnya terhenti sebab pintu utama rumah dibuka lebar oleh kakak perempuannya, yang bernama Lana. Sembari dengan wajah yang basah sebab air mata, Lana tersenyum dan memeluk Sakia, adiknya yang sudah basah kepayang.

"Kak baju kamu basah juga ntar," decak Sakia.

"Biarin! Masuk cepet, kamu pasti kedinginan. Masuk sambil aku peluk kaya gini aja." Ujar Lana tanpa mau melepaskan rengkuhannya.

"Susah jalannya, minggir." Sakia melepaskan pelukan Lana. "Makasih udah bukain pintunya."

Lana meringis melihat pipi milik adiknya yang tergores.

Bi Rasi yang melihat itu segera menyuruh keduanya untuk segera masuk kedalam rumah. Sebab malam yang semakin menggelap dan petir bersahutan dengan lebih keras.

Sungguh kejam seorang kepala keluarga yang dengan teganya menghukum putri bungsu mereka ditengah malam seperti ini, disaat hujan turun dengan begitu derasnya. Bi Rasi mengucap syukur atas diri Sakia yang diciptakan oleh Tuhan dengan begitu tegar. Sebab sejak tadi bi Rasi hanya tahu bahwa air hanya turun dari langit, tapi tidak turun pada pipi gembul anak itu.

Bi Rasi dan orang-orang yang bekerja dirumah ini selalu berdoa, agar Tuhan memberikan kelapangan dan kekuatan didalam diri Sakia. Untuk apapun yang akan terjadi, semoga Sakia mampu melindungi dirinya, meskipun ia harus selalu sendiri.

***

Hai,

SAKIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang