Blurry Lines

6 1 0
                                    

Kau sebenarnya tau, tidak ada yang berhasil. Aku tidak akan menahanmu, begitu juga kau, jangan memaksaku

Senin pagi adalah waktu yang benar-benar sibuk. Cali harus mengumpulkan sisa-sisa sampah makanan maupun bungkusnya, membersihkan dan mengelap meja yang lengket akibat tumpahan kopi, lalu mengepel lantai bekas jejak sepatu kotor dan basah akibat hujan lebat semalam. Ia juga harus mencuci tumpukan gelas dan piring, menghitung berapa banyak karung biji kopi tersisa, dan memastikan mesin kopinya tidak ada yang rusak. Tahun baru sebentar lagi tiba, banyak wanita yang mulai mengatur rencana akan membeli pakaian apa atau pergi ke pesta mana, sedangkan ia disana mengembalikan kedai yang berantakan sisa malam akhir pekan.

Monday is the worst. Bukan tanpa alasan ia mengikuti opini populer itu. Jika tidak ada Jeff dan Sabrina yang menemaninya shift pagi, mungkin Cali akan menulis surat pengunduran dirinya lebih cepat dari yang dibayangkan.

Sayangnya, ada hal yang lebih buruk daripada kedai sisa perang, satu hal yang memporak-porandakan mood Cali pagi ini. Saat ia mengelap gelas-gelas yang basah, Jeff memanggilnya dan berisyarat bahwa seseorang telah datang. Tentu bukan seorang pelanggan, karena tanda close masih menggantung di balik pintu. Cali dihadapkan dengan seorang pria yang terlalu rapi berdiri mematung setelah menutup pintu. Ekspresinya mengeras, tidak seimbang dengan jas abu-abunya.

Jeff menghelas nafas seolah lebih paham dari Cali tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia merebut kain lap dari Cali dan membawanya ke belakang menyusul Sabrina. Tak lupa dengan nasihat kecilnya : we're about to open. Make it quick.

"I couldn't find you at your home. I couldn't reach you on the phone." Jongin menatap lurus pada mata Cali dari jarak lebih dari tiga meter. Ia masih berdiri tanpa bergerak banyak.

"It's Monday." Cali mengingatkan. Ia sedang tidak ingin berurusan dengan hal-hal di luar pekerjaannya saat ini. Ia ingin menyimpan energi untuk bekerja delapan jam ke depan. Berurusan dengan Jongin hanya akan memakan separuh energinya.

Wajah Jongin terlihat gugup. Cali hafal kebiasaan pria itu ketika ada sesuatu yang mengganggu; bermain dengan arlojinya yang mahal dan raut wajahnya menegang. Ia tidak bertemu Jongin selama sepekan kemarin. Ia tidak tahu apa saja yang sudah terjadi dan yang sudah ia lewatkan. Jongin yang datang menemuinya sepagi ini pasti bukan tanpa alasan.

"Cegah aku pergi, Cal."

Awalnya Cali mengerutkan kening, tak mengerti. Kalimat permintaan Jongin yang terlalu tiba-tiba sedikit mengejutkannya. Namun, kepalanya seakan ditarik pada pertengkaran kecil di apartemennya yang sempit minggu lalu. Yang mengakibatkan Jongin membanting bintu sambil mengumpat pergi meninggalkannya di ruang tv sendirian. Pria itu tak tahu bahwa semalaman Cali duduk meringkuk di samping tempat tidurnya menangis. Tidak merasakan kantuk karena perasaannya campur aduk.

Dan sepertinya pertengkaran itu akan terulang kembali. Jeff pasti seorang cenayang di kehidupannya yang dulu.

"Aku tidak ada waktu untuk itu sekarang, Jongin" Cali enggan bergerak untuk sekedar menarik kursi dan menyilakan Jongin duduk. Apapun yang terjadi pada Jongin, ia tak ingin mendengarnya sekarang. Tidak jika dalam lima belas menit lagi ada pelanggan yang harus ia layani dengan senyum.

Untuk beberapa detik hening mengisi ruang jarak antaranya dan Jongin. Cali bisa saja menyuruh Jongin pergi, mendorong punggung lebar Pria itu atau menarik ujung jasnya sampai depan pintu. Lalu menyuruhnya untuk datang nanti malam ke apartemennya jika masih ada percakapan yang tersisa. Tapi kakinya bergeming. Jongin tidak terlihat baik, meskipun dirinya sendiri pun tidak jauh berbeda. Ia masih peduli.

"Pesawatku akan berangkat pukul 2 siang," Jongin memberi jeda. Masih menatap lurus pada mata Cali. "Cegah aku pergi, Cal, kumohon." Jongin mengulang.

Oh, Cali hampir lupa. Ada hal yang tertunda masuk dalam daftar Hari Senin yang buruk. Jongin, pesawatnya, dan juga Seoul. Kombinasi sempurna yang perlahan mengiris kembali hatinya seperti malam itu.

Cali menghembuskan napas kecil. Menghindari tatapan memohon Jongin yang selalu berhasil membuatnya luluh. Ia harus teguh kali ini. Harus tetap pada pendiriannya. "Ku rasa aku tidak bisa mengantarmu ke Bandara, huh? Cafe akan benar-benar sibuk."

"Cal, berhentilah bersikap seperti kau tak peduli. Just give me one word and I'll call my manager." Jongin meraih ponsel dalam saku jasnya. "I'm sorry about that night. Aku tau aku keterlaluan." Lanjutnya.

Tidak Jongin. Jangan meminta maaf.

"Jangan bahas itu lagi, Jongin. Kau sebenarnya tau, tidak ada yang berhasil. Aku tidak akan menahanmu, begitu juga kau, jangan memaksaku." Ada getar kecil yang mulai menjalar dari dada Cali sampai ujung kaki. Kalimatnya barusan adalah ungkapan lelah dan menyerah. Ia rasa usahanya sudah cukup. Tidak ada lagi tempat untuk kakinya berpijak dan melangkah lebih jauh.

Mata Jongin menghitam. Bibirnya bungkam dan menipis menahan ledakan. Cali ingin berlari ke arah pria itu dan menggenggam tangannya untuk memohon. Stop. Jangan memaksakan apapun. Dirinya dan Jongin tidak bisa bersama-sama untuk saat ini. Ia tidak bisa terbang ke Seoul meninggalkan pekerjaan dan ibunya. Jongin tidak bisa tinggal lebih lama mengabaikan jadwal-jadwal padat dan kerinduan penggemar. Semua terasa tidak tepat saat ini.

Cali tau. Jongin tau. Bagaimana lelahnya menjalani hubungan jarak jauh. Bagaimana khawatir, cemas, dan rindu bercampur aduk namun tidak ada bahu yang bisa menjadi tempat bertumpu. Tidak ada jemari yang bertaut. Tidak ada mata yang saling menguatkan tanpa bicara.

Kalimat-kalimat yang dingin di telinga, pesan-pesan singkat yang kadang terabaikan. Jongin dan Cali tak ingin melewati itu, mengulang tahun-tahun yang lalu.

"Jongin.." Panggil Cali lirih. Pria itu terus bergeming. "Pulanglah. Ada yang lebih membutuhkanmu daripada aku."

Jongin memusatkan kembali perhatiannya pada Cali. Menghangat. "Tapi aku yang lebih membutuhkanmu, Cal." Suaranya bergetar.

Dada Cali bergemuruh. Dia tidak ingin menangis saat ini.

Cali berjalan meninggalkan counter meja pelayan dan menghampiri Jongin cepat. Berhenti sejenak untuk memerhatikan wajah pria itu lebih dekat. Ada luka yang sama tersorot dari mata Jongin yang hitam. Cali merengkuh badan Jongin pelan. Menyandarkan kepalanya pada dada pria itu yang bidang. "Aku akan tetap disini untuk menunggumu, Jongin. Jika memang waktu memihak kita. Pulanglah. Jutaan orang menunggumu"

Jongin membalas pelukan Cali erat. Menumpahkan rasa kesal, frustasi, dan marahnya. Cali mengerti. Bahkan jika iya bisa, ia juga ingin marah. Tapi tidak hari ini. Waktunya bersama Jongin hanya tersisa beberapa menit sebelum pria itu pergi. Ia tidak ingin menyisakan memory tidak menyenangkan yang akan dibawa Jongin ke Seoul.

Beberapa menit berlalu, hingga getar ponsel Jongin memutus peluk erat perpisahan paling keji yang dirasa Cali. Manager Jongin sudah menunggu di bandara. Sudah saatnya Jongin pulang. Sudah saatnya pria itu kembali menjadi Kai yang bersinar di sisi jauh dunia Cali.

Cali mengantar Jongin sampai depan pintu. Selangkah saja dia keluar dari cafe, Cali tidak bisa berjanji bahwa ia tidak segera menyetir pulang ke apartemennya yang kecil untuk mengambil paspor di sudut laci meja. Genggam erat Jongin di tangan mulai melonggar. Langkah kaki pria itu juga terlihat berat. Tapi Cali tetap memaksakan senyumnya mengantar pria itu, meyakinkan pria itu bahwa tidak ada pilihan lain yang lebih baik.

"I don't want to say goodbye, Cal." Jongin berucap tegas. Cali mengangguk setuju.

Punggung pria itu kini menjadi pemandangan Cali sebelum ia menutup kembali pintu cafe. Ia menghembus napas berat. Suaranya tercekat. Tangis tak bisa lagi ia bendung. Cali kembali memutar kalimat penenang selama seminggu beratnya belakangan ini.

Everything will be fine.

Blurry LinesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang