Dunia Aster selalu berwarna. Saat Aster bilang berwarna secara harfiah itu benar-benar berwarna. Orang-orang di sekitarnya tidak percaya, tak apa karena mereka tidak bisa melihat apa yang ia lihat. Seperti sekarang, Aster berada di ruang kelasnya yang cukup bising. Teman-temannya banyak bersuara dan suara mereka memiliki warna khasnya masing-masing. Ada yang magenta, turquoise, burgundy, atau abu-abu seperti teman kecil yang sibuk mengoceh di sampingnya. Namanya Temora, peri waktu yang hanya bisa di lihat Aster saja. Temora sibuk bercerita tentang perang dunia kedua di beberapa tempat yang berhasil ia tonton secara langsung, membuat udara sekitarnya berwarna Abu pekat saking panjangnya ia bercerita. Kalau Alena teman baik di belakangnya tahu itu, Aster yakin pasti Temora akan dicerca dengan kalimat, ‘Mulutmu menyumbang banyak polusi’ seperti itu kira-kira.
Jam pelajaran kembali dimulai dan Temora kembali menghilang dengan mengucapkan sebuah pesan, ‘Jangan terlalu percaya dengan makhluk-makhluk yang tiba-tiba menghampirimu’ begitu katanya, Aster jadi berpikir perang dunia kedua yang Temora ceritakan juga bukan suatu cerita yang harus ia percaya tapi Temora malah membantahnya dan bilang bahwa bukan itu yang dia maksud.
Jam pelajaran berlangsung dengan khidmat tapi tidak dengan Aster, dirinya diganggu oleh kupu-kupu merah muda yang menawan. Ia seperti sengaja menarik perhatian Aster, seakan ada yang ingin diberitahu kupu-kupu cantik itu. Dan saat jam pelajaran berakhir, Aster keluar mengikutinya. Dunia luar jauh lebih berwarna, suara-suara manusia, mahkluk mahkluk tak kasat mata, bahkan sampai sebuah tanaman tak kasat mata, semuanya punya warnanya masing-masing. Hari ini, bahkan langit terlihat seperti seorang janda yang ceria, maksudnya langit ungu yang cerah.
Kupu-kupu itu terus terbang, menuntun Aster belok ke koridor kiri lalu terbang ke lantai dua, lantai tiga, lantai empat, sampai pergi ke atas gedung sekolahnya. Apa yang ia lihat di atas jelas membuatnya terkejut, tanaman berwarna-warni tertanam di kiri dan kanannya, menggoyangkan daunnya seakan menyambut Aster. Makhluk-makhluk kecil bersayap terlihat mondar mandir sambil bercengkrama ria, dan sebuah gerbang berwarna ungu cemerlang di depannya seakan memanggilnya. Di samping gerbang itu, tanaman merambat di mana-mana, hewan-hewan kecil terlihat berlalu-lalang di sekitarnya. Aster maju melangkah mendekati sang gerbang, kupu-kupu merah muda itu sudah tak ada, ia menghilang. Secara naluri Aster mendekat perlahan, baru saja ingin menempelkan tangannya pada permukaan gerbang yang terlihat hidup itu–dirinya dikagetkan oleh suara familiar di belakangnya, itu Alena, mukanya pucat, tubuhnya berkeringat deras seakan dia habis berlari memutari lapangan sekolah yang luasnya tak terkira.
“Ada apa?” tanya Aster.
“Kamu ngapain berdiri di situ!” Gentakan dari Alena membuat Aster kebingungan, ia torehkan kembali kepalanya ke arah gerbang dan terperanjat kemudian. Gerbangnya menghilang digantikan pemandangan gedung sekolah dan langit yang masih berwarna ungu. Aster menoleh ke bawah dan semakin terkejut saat melihat dirinya yang berpijak di tepi atap dan di tonton puluhan anak sekolah di bawahnya.
.
.
.
End