1. Almeta Adara Callysta

76 16 19
                                    

Happy reading^-^

...

Kerutan halus menghiasi dahi dari gadis pemilik mata bambi itu, tangan rampingnya sibuk menempelkan sebuah benda pipih berbentuk persegi panjang ke telinganya—menyimak seseorang yang tengah sibuk berbicara di seberang sana.

"Iya, Om, Meta cuma butuh biaya sekolah dan kebutuhan besar lainnya, kalo kebutuhan sehari-hari biar Meta yang urus." Lagi-lagi bibir mungil gadis itu bergerak lucu, entah sudah berapa kali ia berbicara dengan Pamannya yang selalu bersikeras untuk membiayai kebutuhan sehari-harinya.

Almeta Adara Callysta, gadis itu kembali menggeleng keras, "Gak usah, Om, gaji Meta cukup buat menutupi kebutuhan sehari-hari, kok," tolaknya.

"Hum ... iya."

Helaan napas menggema begitu panggilan itu berakhir, mata bambinya mulai bergerak menyapu seluruh penjuru rumah yang sepi.

Plak!

Menampar pipinya sendiri, kepala Meta mengangguk, "Ayo berangkat ke sekolah baru, Met!"

...

Di sinilah Meta berada, di depan gerbang SMA Pradita Dirgantara. Hari ini adalah hari pertama Meta menginjakkan kakinya di sekolah elit yang terkenal dengan segudang prestasi itu.

Dapat Meta rasakan, banyak pasang mata menatap ke arahnya. Pegangan tangan Meta pada tali tasnya mengerat, seiringan dengan langkah kaki yang bergerak memasuki sekolah itu. Namun, tak lama kakinya kembali mematung, "Ck, ini gue harus ke mana, ya?"

"Anak baru? Cari ruangan kepsek, ya? Ayo gue anter!"

Kernyitan terbit di dahi Meta begitu beberapa siswa datang menghampirinya, "Gak usah, gue bisa sendiri."

"Ketus banget, Dek, ayo Kakak anter!" ujar salah satunya.

Meta terkekeh, mata bambinya jelas menangkap badge kelas dari siswa tersebut, "Adek? Kakak? Lo kira gue buta?! Baru kelas satu aja udah sok!" sergahnya sebelum pergi begitu saja.

"Baru juga masuk, udah dibikin kesel. Sekolah elit?" Gerutuan tak henti-hentinya menemani langkah tanpa arah Meta, "Om Jaya salah daftarin gue, kayaknya!"

Langkah Meta lagi-lagi terhenti begitu suara petikan gitar terdengar menggema di koridor. Tanpa sadar, Meta kembali melangkah untuk mencari sumber dari petikan merdu itu. Ruang musik, di situlah langkah Meta berakhir. Matanya sedikit menyipit sambal mengintip dari sela-sela jendela, senyuman mengembang kala mendapati seorang pemuda tampan tengah asik memetik gitar.

"Cogan." Meta terkikik, menyadari bahwa kebetulan yang terjadi mirip dengan kisah di beberapa novel yang ia baca. Namun, kepalanya langsung menggeleng cepat, "Ini bukan novel, Met, bangun!"

"Ehem ...!"

Meta sontak berbalik, "E-eh?" Matanya membulat saat mendapati pemuda tampan yang sebelumnya bermain gitar, kini berdiri tepat di hadapannya.

"Lo siapa?" tanya pemuda itu.

"Lo siapa?" tanya balik Meta dengan tatapan yang berubah sengit.

Sebelah alis pemuda itu terangkat, "Siswa baru?"

"Urusan lo?" Lagi-lagi Meta membalasnya dengan pertanyaan.

Satu sudut dari bibir tipis pemuda itu naik, membentuk senyuman miring yang meremehkan. "Lurus, belok kanan, itu ruang kepsek," ujarnya sambil berbalik pergi.

Mengerjap beberapa kali, pandangan Meta tertuju pada punggung tegap pemuda itu, "Sorry kalo gue nyebelin! Thanks, ya!" serunya.

Dengan semangat, Meta langsung berlari mengikuti arah yang ditunjukkan pemuda tadi, dan benar saja, Ruang Kepala Sekolah ada di sana.

Blue and GreyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang