Bab 1: Teman

34 6 8
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Diona mengerang pelan kala jemari meluncur di antara helaian rambutnya. Berusaha untuk merapikan surai pirang yang berantakan. Tiap kali si gadis kembali menyisir, kerutan kecil akan terukir di dahinya. Diona menatap pantulan pada cermin. Penampilannya sangat berantakan. Dasinya miring ke kiri dan seragam putihnya kusut. Rambutnya tidak sekusut sebelumnya, tetapi tidak akan kembali rapih seperti tadi pagi.

Gadis itu hanya bisa menghela napas pelan. Dia tidak akan menduga jika teman sekelasnya—hanya sekelas, mereka tidak sedekat itu untuk jadi teman—akan menimbulkan kekacauan hari ini. Kalau tahu akan seperti ini, aku akan membawa sisir, pikir Diona, kemudian menggeleng. Gadis itu merasa pikirannya jadi kacau karena rambutnya habis dijambak.

Sebelumnya, sesaat setelah bel tanda waktu istirahat telah berakhir. “Siapa yang menempelkan ini pada kursiku!” teriak Riana marah. Semua siswa, termasuk Diona hanya terdiam. Tidak ada yang mau mengaku, sebab mereka takut pada Riana. Gadis yang terkenal dalam semalam karena mematahkan salah satu lengan senior nakal waktu MOS. 

Tidak menerima jawaban, Riana kembali membuka mulut. Namun, sebelum kalimat penuh amarah lainnya meluncur. Santi yang dari tadi menatap dengan tenang angkat bicara, “Sepertinya, Diona yang melakukannya.” Sontak, semua orang memutar kepala. Menatap Diona dengan beragam ekspresi yang berbeda.

Gadis berambut pirang itu tetap tenang di kursinya. Tidak ada perubahan emosi di wajahnya, tetapi tangan mengepal di pangkuan. Membuat selembar kertas kecil dalam genggamannya kusut. Santi kembali melanjutkan tuduhannya, “Dia yang pertama kali masuk ke kelas ketika bel berbunyi. Siapa lagi pelakunya jika bukan Diona?” Tuduhan siswa itu menguat. Mempertebal kecurigaan semua orang di dalam kelas. 

Sebagian siswa tidak percaya. Sebab Diona sering terlihat menarik diri dari orang lain—kenyataannya, gadis itu hanya anak yang pemalu. Namun, apa yang dikatakan Santi terdengar cukup meyakinkan.

Tiba-tiba, Diona berdiri. Tanpa mengatakan apa pun gadis itu berjalan ke arah meja Santi. Merogoh laci dan mengeluarkan segenggam permen karet rasa susu dari sana. Diona menyebarkan permen itu di atas meja Santi. Memancing semua siswa berkerumun untuk melihat lebih dekat. Benar saja, itu adalah permen sama yang melekat di kursi Riana. Diona mengambil satu permen, memperlihatkannya kepada semua orang. Dengan suara tenang, dia menjelaskan, “Kantin tidak menjual permen karet merk apa pun. Juga, aku alergi susu.”

Kelas menjadi ramai, bisik-bisik mulai terdengar. Tanpa Diona menjatuhkan tuduhan, semua orang sudah tahu kalau Santi adalah pelakunya. Mengetahui hal ini, Riana murka. “Santi! Bisa-bisanya kamu menuduh ...!” Kalimat Riana tidak lagi terdengar. Sebab keributan baru menenggelamkan kalimat berikutnya. Santi tiba-tiba menyerang Diona. Menarik rambut gadis itu sambil berteriak murka.

Last WishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang