***
Pandangan Deon tiba-tiba gelap. Sekelilingnya terasa lembab dan dingin. Lalu, sebuah suara dengan amarah di dalamnya terdengar. “Apa yang Kakak lakukan di kamarku?” gerutu Diona, tepat setelah melempar handuknya ke kepala Deon. Pemuda itu menurunkan handuk dari kepalanya dengan pelan. Diona bersiap kalau-kalau handuk itu melayang kembali padanya.Tidak, Deon tidak melemparnya kembali. Dia malah tetap memegang handuk itu. Tetap fokus pada sketchbook di pangkuannya. Wajah pemuda itu agak pucat. Diona yang melihat kakaknya tetap tenang mulai merasa aneh. Gadis itu ikut duduk di pinggir ranjang, melihat apa yang dilihat Deon.
Itu sketsa yang Diona buat tadi, Nona Sihir.
“Nona Sihir,” gumam Deon. Sontak membuat Diona menoleh ke arahnya. Diona tidak menuliskan nama karakter itu. Lalu, kenapa Deon bisa tahu? “Kamu tahu karakter ini dari mana?” tanya Deon cepat, sebelum Diona sempat bertanya terlebih dahulu. Namun, pada akhirnya Diona memilih untuk tetap bertanya, “Kakak tahu nama karakter ini dari mana?”
Mereka terdiam untuk beberapa saat. Tidak ada yang mau menjawab pertanyaan dari lawan bicara masing-masing. Diona tetap memperhatikan kakaknya yang tetap menunduk. Sementara Deon menelusuri gambar di pangkuannya. Kedua alisnya terajut, matanya menutup perlahan. Samar bahunya bergetar, kedua sudut bibirnya tertarik ke bawah. Perlahan, ia mengalah dan memecah keheningan.
“Dari sahabat, namanya Taksa Abimana,” jawab Deon pelan. “Karakter ini seorang pesulap. Meski seorang perempuan, Nona Sihir suka berpakaian seperti laki-laki.” Deon menghela napas kasar. Dia membuka mata, memperlihatkan kesedihan yang mendalam. Tanpa menatap Diona, dia bertanya untuk kedua kali, “Bagaimana bisa kamu tahu soal karakter fiksi buatan orang yang sudah mati?”
Kali ini, Diona langsung menjawab dengan jelas. Menceritakan awal mula dia bertukar surat dengan Taksa. Bagaimana dia selalu dibantu, dan janji mereka untuk selalu bertemu tiap pulang sekolah. Serta, keinginan terakhir Taksa sebelum dia benar-benar pergi. Deon tetap diam ketika Diona menjelaskan. Senyum tipis dia tampilkan ketika mendengar Taksa membantu adiknya lewat surat.
Selesai mendengarkan Diona, Deon merebahkan diri di kasur. Menyembunyikan kedua matanya dengan lengan kiri. Entah dari silau cahaya lampu kamar atau air mata yang mulai meleleh. Diona mengambil handuk yang tadi dia lemparkan, dia bisa kena marah kalau tidak segera dijemur. Gadis itu agak tidak rela kamarnya memiliki penghuni lain. Namun, melihat kondisi kakaknya yang terlihat terguncang. Dia tidak setega itu untuk mengusirnya.
Sebelum pergi, gadis itu bertanya, “Kenapa Kakak bisa langsung menebak kalau Nona Sihir bukan karakter buatanku?” Diona melihat seringai tipis di bibir kakaknya. “Kamu lebih sering menggambar pemandangan. Sekalinya kamu membuat karakter sendiri, pasti selalu laki-laki bisulan.” Jawaban dari Deon mendapat hadiah lemparan handuk, lagi.
“Bishōnen¹ bukan bisulan,” gerutu Diona, diikuti kekehan Deon. Terlanjur sudah melempar handuknya, terpaksa dia harus mengambilnya lagi. “Kakak sungguh mengenal Taksa?” tanya Diona, benar-benar untuk terakhir kali. Deon hanya mengangguk dengan lengan yang masih menutupi kedua maniknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Wish
Short Story"Bisakah kamu mengabulkan satu permintaan terakhirku?" Diona tidak punya pilihan, selain membantu temannya yang ternyata adalah hantu. *** Tugas akhir dari kelas Phonix Writer! Enjoy! (Entahlah, karya ini murni dari kepala saya. Kalau bagus saya ber...