***
Diona menatap pemuda di depannya. Dia masih mengenakan seragam sekolah, dengan pensil mekanik di tangan kiri dan sebuah buku catatan kecil di depannya. Rambut hitam si pemuda agak berantakan, tetapi terlihat indah diterpa cahaya sore yang menembus jendela kelas. Keterkejutan terlukis di matanya yang sayu, menatap Diona yang masih membeku di ambang pintu kelas.Mereka berdua terdiam untuk sesaat. Saling menatap tanpa ada yang mau memecahkan keheningan. Diona yang tidak tahu harus mengatakan apa hanya menunduk. Beragam pertanyaan datang silih berganti di dalam otaknya. Bagaimana bisa ada orang lain di dalam kelas yang terkunci? Apa dia berniat untuk mencuri? Lewat mana dia masuk? Hari ini Diona mendapat bagian untuk piket, dia ingat jelas kalau sudah mengunci jendela rapat-rapat.
“Cantik,” gumam si pemuda, pelan. Akan tetapi, dalam ruang kelas yang kosong, suara itu sampai di telinga Diona. Sontak, gadis itu mengangkat kepala, kembali menatap si pemuda. “A-ah, maaf!” teriak si pemuda, “a-aku bukan orang aneh, kok! I-itu, ta-tadi aku tidak sengaja, sumpah!”
Diona masih terdiam, mengamati bagaimana pemuda itu dengan wajah panik mengangkat kedua tangannya. Seakan dia tengah dipergoki polisi karena melakukan tindak kejahatan. Diona mengedarkan pandangan, mengecek kalau saja ada barang yang hilang. Memastikan semua barang di dalam kelas tetap pada tempatnya. Gadis itu akhirnya bicara, “Bagaimana bisa kamu ada di dalam kelas ini?”
Lawan bicara Diona menampilkan seringai, dengan percaya diri dia menjawab, “Aku hantu! Makhluk halus yang bisa menembus benda padat! Makanya aku bisa ada di sini, haha!” Keheningan kembali menguasai ruang kelas itu. Woah, anak yang aneh, batin Diona. “Hei, berhenti memandangku seakan aku ini aneh!” perintah pemuda itu. “Untuk ukuran seorang teman, kamu tidak sopan, ya,” lanjutnya.
Diona mengernyitkan dahi, tidak mengerti tentang apa yang dikatakan makhluk yang mengaku hantu itu. Dia tidak punya banyak teman, hanya ada Taksa dan Irene. Diona tidak pernah sekalipun bertemu dengan Taksa. Lalu, Irene jelas bukan makhluk berbatang. “Maaf, tetapi, kamu siapa?” tanya Diona, akhirnya mengungkapkan kebingungan dalam kepala.
Pemuda yang mengaku hantu ternganga. Lebar sekali sampai Diona berpikir dagunya akan terjatuh. “Astaga, Diona! Ini aku, Taksa! Masa kamu tidak bisa menebak, sih?” Pemuda itu kemudian berjalan, tidak, melayang ke arah Diona. Membuat gadis itu sedikit terlonjak kaget. Dia tidak menyangka kalau si lawan bicara memanglah hantu sungguhan. Langsung melayang ke arahnya pula.
“Duh, kalau ini di novel. Kamu seharusnya bisa langsung menebak kalau aku ini Taksa! Teman misterius yang selalu memberi bantuan lewat surat,” jelas Taksa, menepuk dadanya dengan bangga. Diona menatap Taksa, ada kerutan di antara alis gadis itu. Beberapa kali bibirnya terbuka dan tertutup. Sampai, dia berani mengeluarkan apa yang ingin dia katakan. Membuat Taksa menganga tidak percaya, lagi.
“B-bukannya, Taksa itu perempuan?” ungkap gadis itu pelan. Melihat Taksa yang terdiam sambil menganga, Diona kembali bicara, “Tulisan di kertas rapih sekali, seperti tulisan perempuan. Lalu, biasanya perempuan lebih memilih berteman dengan perempuan lain, ‘kan?” Saat itu, Taksa berpikir kalau hantu bisa mati dua kali. Dia akan mati lagi saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Wish
Short Story"Bisakah kamu mengabulkan satu permintaan terakhirku?" Diona tidak punya pilihan, selain membantu temannya yang ternyata adalah hantu. *** Tugas akhir dari kelas Phonix Writer! Enjoy! (Entahlah, karya ini murni dari kepala saya. Kalau bagus saya ber...