Bagian 14 : Catcalling, Go Home

7.8K 105 0
                                    

Tidak seperti harapan Ana, para tetangga kali ini sepi dan tak terlihat satu orang pun —yang sering meng-gosipinya— terlihat. Mungkin ada acara RT atau hal yang tidak ia ketahui.

"Baguslah, terhindar dari ibu-ibu tukang julid."

Dengan senang hati, Ana berjalan menelusuri gang, ia berjalan kaki tentu saja karena mobil tidak bisa memasuki gang ini. Ya sebenarnya bisa saja, namun sulit untuk mutar balik jadi ia lebih memilih di turunkan di depan gang.

Ia berjalan dengan baju baru, baju mahal yang bisa saja ia membeli sendiri dari uang hasil menjadi wanita malam. Namun lebih baik di belikan orang lain karena tidak akan mengurangi uangnya di ATM.

"Piwwit, Neng Ana!"

Mendengar seseorang memanggil namanya sambil bersiul menggoda, Ana mengaduh di dalam hati karena ternyata tidak semulus ini ia berjalan menyelusuri jalan untuk ke rumahnya.

Dengan senyuman yang agak di paksakan, ia menolehkan kepala ke arah seseorang yang memanggilnya.

"Kenapa, Kang Sadam?" Ia merespon dengan sinis.

Namanya adalah Sadam. Ia terkenal sebagai laki-laki yang cukup bisa di bilang gemar catcalling, beberapa wanita di gang ini sebisa mungkin untuk menghindarinya. Bahkan, sebenarnya Ana yang tubuhnya telah kotor dengan sentuhan beberapa laki-laki saja enggan menjadi korban catcalling Sadam.

Tampilannya sangat beler, seperti laki-laki sange yang selalu berfantasi berlebihan.

"Siang-siang begini jalan sendirian aja, mending sama Akang." Sadam berkata sambil mengedipkan mata ke arah Ana, ia mendekati wanita yang tampak menyembunyikan tubuh —area sensitif— yang sedaritadi memang menjadi arah pandangnya. "Jangan di sembunyikan, tubuh mu sudah banyak yang menyentuh, aku tau—"

BUGH!

Ana meninju rahang Sadam, menjadikan laki-laki itu terhuyung sampai mundur beberapa langkah.

"Laki-laki sange! Lo bisa gue laporin ke polisi atas pelanggaran beberapa pasal, sekali lagi gue liat lo deketin gue, abis lo gue pukulin!"

Ana tidak takut, ia selalu bisa menjaga diri. Walaupun begitu, ia sejujurnya sedikit takut mengancam Sadam.

Sadam menyeka darah di ujung bibirnya. "Cih, wanita murahan sok jual mahal, badan lo ada seharga kuaci."

Ana memilih untuk tidak meladeni. Ia berbalik badan dan meninggalkan Sadam begitu saja.

"Gak ada pewajaran untuk catcalling, laki-laki yang ngelakuin itu udah gila."

Banyak sekali kejadian atas catcalling ini. Sekedar pengakuan dari pelaku hanya merasa gabut makanya menggoda wanita yang lewat di hadapannya. Namun menurut Ana, laki-laki seperti itu memang tiada kapok.

"Dia bilang gue murahan? Gak tau aja harga badan gue berjuta-juta, cepet musnah deh laki-laki yang suka catcalling."

Siapa yang sering mengalami hal seperti ini? Jujur, Ana yang terbilang sudah kotor pun masih tidak suka mendapatkan perlakuan catcalling karena menurutnya itu adalah kejahatan pada kesusilaan.

Ana berbelok ke arah rumahnya, membuka pagar, dan berjalan sebentar di halaman rumah yang tidak bisa di bilang besar.

Ia melihat ada motor besar yang terparkir, dan mengira kalau itu adalah motor milik Gibran. Ternyata Dipa masih memiliki hubungan dengan laki-laki menjijikan itu.

Tidak habis pikir kalau Dipa luluh di bawah kenikmatan yang di berikan pada Gibran, secara gratis pula. Kalau Ana, ia hanya mau berhubungan jika di bayar, tidak pernah ia melakukan flash sale untuk tubuhnya.

Ana 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang