Bagian 16 : Bad Feeling

7.4K 90 1
                                    

"Eh? Ada apaan nih ramai-ramai begini?"

Ana yang baru saja sampai ke kitchen bagian belakang, tempat steward seperti dirinya bekerja. Ia tadi sudah absen pada Ilham yang berjaga, bahkan ia juga tidak telat. Namun entah kenapa, kini beberapa karyawan berkumpul seperti tidak ada kerjaan, tapi masih ada yang handle pekerjaan hanya saja mungkin telinga mereka di pertajam untuk mendengarkan obrolan.

Begitu Ana berkata seperti ini, ia seolah menjadi pusat perhatian semua karyawan yang menatap ke arahnya dengan kedua mata mereka yang seperti menilai dirinya dari atas sampai bawah.

"Tidak ada."

Mereka menjawab serempak, lalu tampak fokus kembali ke tugas masing-masing.

"Huh?" Ana tidak tau apa yang mereka bicarakan, tapi seperti ada sesuatu yang mereka sembunyikan, atau rencanakan.

Ana berjalan ke arah Sasa yang tampak melambaikan tangan ke arahnya. Hanya wanita satu itu saja, teman dekatnya, yang masih bersikap biasa saja seolah-olah memang berperan menjadi teman yang baik, selalu.

"Kenapa deh sama mereka semua?" Ana langsung bertanya ke Sasa, ia tidak membalas lambaian tangan temannya itu, tidak pernah menunjukkan kalau ia simpati dengan pertemanan mereka. Walaupun begitu, Ana adalah sosok teman yang sangat setia, suatu ketika ia pernah menolong reputasi Sasa yang jelek di asingkan satu tempat kerja karena di ejek dengan kalimat 'anak orang kaya yang mencari perhatian publik'.

Ya memangnya orang kaya tidak boleh bekerja dengan posisi steward? Maksudnya, apasalahnya bekerja apapun itu bidangnya yang penting halal.

Sasa tampak menaikkan kedua bahunya. "Gak tau tuh, tadi aku denger mereka punya rencana. Ya biasa lah ibu dan para bapak rumah tangga, aku juga gak terlalu minat dengerinnya."

Ana ber-oh-ria, tidak ingin terlalu ikut campur dengan rencana para karyawan yang sudah berumah tangga. "Aku kirain ada gosip tentang aku, inget tadi di grup ramai-ramai ngomongin aku." Ia mengambil keranjang yang penuh dengan cucian piring, menyemprotnya lebih dulu agar bekas makanan yang masih tersisa pergi dari peralatan makan setelah itu mendorong keranjang untuk memasuki mesin pencucian piring.

"Gak kok, lagian siapa yang mau bikin gosip tentang kamu? Maksudnya—"

"Iya paham, kalau mau di perjelas juga aku tidak akan marah karena memang nasib ku begini. Karena aku sudah miskin dan tidak ada yang menarik untuk di gosipi kan?"

Hei, Ana hanya sudah berdamai dengan keadaan.

Kalau Sasa, ia sekarang mendapat bagian memoles peralatan makan bersih dengan napkin putih bersih di tangannya.

Sasa meringis dengan kenyataan yang sangat menyakitkan yang di alami oleh Ana, walaupun terdengar kalau temannya itu sudah berdamai dengan kehidupan, namun tetap saja ia tidak bisa merasakan apa yang Ana rasakan.

"Oh ya, sore ini aku mau ambil cuti nih."

"Loh kam kamu baru masuk, ini juga belum menyentuh tengah hari."

"Nah makanya itu, aku kerja beberapa jam dulu soalnya nanti mau anterin ibu berobat ke rumah sakit."

"Loh? Ibu mu sakit, Ana? Kenapa gak bilang—"

"Bukan gak mau bilang, tadi berangkat kerja, memang ibu ku baru saja sakit."

Ana sebenarnya pendongeng yang handal. Sebenarnya ia bisa saja langsung keluar dari tempat kerja ini karena gaji yang sangat kecil, benar-benar seperti bukan berkerja melainkan pekerjaan lah yang mengerjai dirinya.

Ana hidup makmur dengan berlimpahan uang, ya yang ia hasilkan dari bekerja sebagai wanita malam. Namun, ia mempertahankan pekerjaan menjadi tukang cuci piring di restoran ini untuk citra-nya di mata masyarakat.

Karena kalau nanti ia tidak kelihatan bekerja atau bahkan sudah tidak lagi menjemur seragam kerja di depan rumah dan dirinya memiliki banyak uang, maka target ibu-ibu tukang gosip di dekat rumahnya akan semakin tinggi.

Tenaga banyak keluar, tapi gaji tidak sepadan, begitulah sekiranya.

Sasa menekuk senyuman. "Yah, aku gak bisa jenguk ibu kamu. Tapi nanti aku bawain buah deh, delivery buah ke rumah kamu."

"Gak usah repot-repot, Sa. Aku gak mau ada hutang budi sama kamu,"

Sasa menatap Ana sambil tangannya yang handal memoles peralatan bersih. Ia mencari letak jawaban kenapa temannya itu selalu menghindar karena setiap kali ia memiliki keinginan untuk ke rumah Ana, pasti wanita itu mencegak dengan kata-kata seperti tidak ingin ada hutang budi.

'Aku percaya dengan Ana, sungguh. Tapi ada satu bukti dimana aku goyah mempercayai Ana... apa yang harus aku lakukan?' Sasa membatin.

Setelah itu, ia menggelengkan kepala berkali-kali. Ia seperti menghempaskan pikiran yang sebelumnya karena itu tidak benar jika di lakukan.

'Gak, gak, gak! Kamu mikir apa, Sasa? Udah jelas kalau kamu harus ada di sisi Ana, selalu.' batin Sasa kembali berkata.

Ana yang melihat temannya seperti itu pun mengerjapkan mata, ia merasa aneh dengan tingkah Sasa. "Kalau kamu sakit, mendingan jangan kerja. Pusing, ya?"

Sasa menolehkan kepala ke arah Nada dengan mata yang sedikit membelalak. "Huh? Gak ada yang sakit kok, ini aku lagi moles cucian piring bersih." Ia menjawab sambil menyengir lebar.

Mendengar itu, Ana mengerutkan alis. Ia kini memilih untuk melihat ke sekitarnya lagi dan kini tatapannya bertemu dengan mata Chef Roy yang menatapnya dengan aneh seperti menunjukkan kepuasan.

"Apaan sih? Bukannya dia sendiri yang kemarin menggoda ku?" Setelah berkata seperti ini, Ana langsung saja memutar tubuh untuk kembali fokus dengan pekerjaan cucian piringnya yang menggunakkan mesin.

Ana tidak ingin memikirkan keanehan satu karyawan hari ini. Mungkin ini haru menjahilinya. Namun, ia tidak berpikir kalau ada yang aneh dengannya.

Sampai pada akhirnya, Ana yang sedang memindahkan piring yang tengah di cuci ke Sasa untuk di poles pun kedatangan atasan restoran.

"Ana, bisa ikut bapak sebentar ke ruangan?"

"Huh?" Ana menolehkan kepala ke atasan restoran yang terlihat berpakaian rapih dengan jas yang terbingkai di tubuhnya. "A-ada apa, Pak?" Ia bertanya dengan terbata-bata.

Namanya Reon Jimmysts, dia adalah atasan namun bukan owner di restoran ini.

Reon menatap Ana dengan tatapannya yang masih teduh, tidak memberikan kesan menakutkan ataupun atasan yang killer. "Saya ada perlu."

Ana menolehkan kepala ke arah Sasa, dan temannya itu menganggukkan kepala seolah mengatakan padanya ikut mengikuti Reon. Saat ia ingin mengembalikan pandangan ke Reon, tatapan matanya bertabrakan dengan karyawan lain yang menatapnya dengan penasaran.

'Aku tau ini ulah kalian semua,' dan Ana seolah memberikan tatapan seperti ini kepada mereka.

Ana menghembuskan napas. "Baiklah." Ia menjawab sambil melepaskan celemek yang ada di tubuh dan menggantungnya ke gantungan celemek. "Sudah siap, Pak."

"Baik, ikuti saya."

Ana melangkahkan kaki mengikuti Reon, ia memiliki firasat yang tidak enak karena mengetahui kalau seorang atasan menghampirinya langsung ke kitchen? Bukankah itu hal yang mendebarkan dan membuat bertanya-tanya, iya kan?

Kemungkinan lain apa jika di panggil langsung oleh atasan apalagi saat memanggilnya langsung turun tangan?

...

Next chapter

Ana 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang