first time I met you

5 1 0
                                    

Pengumuman mengejutkan itu dua bulan lalu.

Sekarang, aku sudah berada di sini, di Oxford, Inggris. Duduk bersama dengan puluhan murid Escentia Senior School berseragam jas hitam dan kemeja putih, serta rok hitam kotak-kotak selutut atau celana panjang hitam polos. Aku salah satu dari sepuluh siswi muslim yang mengenakan jilbab di sini, jadi selain mengenakan rok selutut, aku juga memakai celana legging hitam sebagai dalamannya. 

Program pertukaran pelajar "Asia-Europe Exchange Student" dari lembaga Global Teenage Association cabang Indonesia yang kuikuti ini gratis, seratus persen dibiayai oleh lembaga swasta dan pemerintah. Program ini dikhususkan untuk murid SMA se-Indonesia yang ingin merasakan belajar ke negara-negara Eropa, seperti Inggris, Belanda, Jerman, dan lainnya, selama enam bulan. Dari tujuh ribu pendaftar di seluruh Indonesia, yang lulus seleksi ke Eropa hanya nol koma lima persen saja dan, alhamdulillah, aku salah satu dari mereka. 

Di sampingku adalah Zaynab Maheer, siswi pertukaran pelajar asal Indonesia yang juga mengenakan jilbab sepertiku. Zaynab satu tahun lebih tua, dia datang dari Yogyakarta. Meskipun kami sama-sama siswi pertukaran pelajar, kami berasal dari lembaga yang berbeda. Zaynab mengikuti program pertukaran pelajar dari tempat lesnya dengan biaya yang cukup mahal. Kebetulan, kota tujuan Zaynab sama denganku, jadi bisa dikatakan dialah satu-satunya temanku dari Indonesia di sini. 

Kami pertama kali bertemu seminggu yang lalu, di stasiun kereta yang membawa kami ke Oxford. Perjalanan dari Jakarta-London memakan waktu enam belas jam. Setibanya di London, rombongan peserta pertukaran pelajar Indonesia yang datang ke Inggris ternyata sampai di stasiun kereta sejam lebih cepat dari yang seharusnya. Kami lantas menunggu di lounge. Ada tiga peserta yang ada dengan tiga kota tujuan berbeda: aku di Oxford, gadis berambut kepang di Cambridge, dan laki-laki berkacamata tebal di Birmingham, serta laki-laki berambut jamur di London--dia tidak ikut ke stasiun karena langsung pergi ke lokasinya lebih dahulu. Sementara kami menunggu, rombongan dari lembaga Zaynab datang ke lounge. Kala aku tahu bahwa Zaynab juga akan pergi ke Oxford, di situlah kami mulai berkenalan dan mengobrol ringan. Rumah keluarga angkat Zaynab di Oxford hanya berbeda jalan dari rumah keluarga angkatku sehingga kami sering kali bermain bersama dan menjadi akrab sampai hari ini.

Di aula luas yang diisi sekitar dua ratusan orang yang hadir, terdiri dari para siswa tingkat Key Stage 4 dan Sixth Forms serta para guru, kini kami tengah mendengarkan sambutan dari kepala sekolah Escentia Senior School mengenai tahun ajaran baru seusai libur musim panas.

Zaynab tiba-tiba menyenggol lenganku, membuyarkan lamunan. "Lo keliatan senang banget, Kie, sementara di sini gue nahan kantuk banget. Jujur." Dia berbisik menggunakan bahasa Indonesia. Pastilah agar murid di dekat kami tidak ada yang mengerti. 

"Ngantuk-ngantuk gitu, tapi lo ngerti apa yang diomongin kepseknya, 'kan? Jangan-jangan lo ngantuk gara-gara gak ngerti lagi," ledekku.

"Yee, kalau gue gak ngerti, gue juga gak bakal ada di sini, Kie," balasnya dan aku tertawa tanpa suara.

Sejujurnya, tidak ada yang spesial dari pidato kepala sekolah itu, kau tahu? Namun, sejak tadi aku bahkan tidak bisa menahan senyumku saat melihat lurus ke depan, serong ke kanan sedikit, menyaksikan kepala berambut cokelat tua yang lebih tinggi dari kepala di kanan-kirinya.

Kau tentu tahu siapa orang yang duduk tiga kursi di depanku itu. Ya, kau benar, itu Lucas Knightley. Hey, bukankah aku sangat hebat karena baru melihat kepalanya saja aku sudah tahu itu dia!

Yah, sebenarnya, sebelum aku mendudukkan diri di kursi ini, aku sudah bertemu dengan Lucas lebih dahulu pagi tadi. Tepat pukul 8. 

Escentia School terbagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah Escentia Prime and Secondary yang memiliki gedung A di sebelah selatan dan wilayah Escentia Senior di gedung B di bagian utara. Aku baru pertama kali menginjakkan kaki di sana, di sekolah yang bangunannya didominasi warna cokelat, berarsitektur Eropa, dan dikelilingi pepohonan yang teduh. Luas wilayah Escentia Senior School mungkin tidak seluas sekolah asalku, SMAN Semesta Bangsa di Jakarta, tetapi bisa kukatakan lingkungannya jauh lebih asri, bersih, dan modern. 

21 Ways to Melt Your IceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang