Bab 7 Hitam Putih

64.5K 4.5K 302
                                    


Aku melihat lembaran kitab Bulughul Maram dengan miris, ada dua lembar yang rumpang. Tidak kumaknai. Aku meringis. Selama berjalan dari asrama belajar ke rumah Abah Sepuh, aku hanya berpikir bagaimana cara agar dua lembar kitabku terisi penuh. Aku nggak mau saat Papa mengecek kitab-kitabku ada bagian yang rumpang. Rambutku bisa berdiri tegak seperti terkena efek listrik statis kalau sampai diceramahi Papa. Mandala Parawansa itu memang sulit berekspresi, terutama kalau sedang khawatir, tapi saat moodnya dalam keadaan bagus, bicara sepanjang kereta baba ranjang pun sanggup.
"Nanti bisa murajaah kitab ama Saila, tapi kapan waktunya luang?" pikirku, "hah, aku akan memaksa Saila, apapun yang terjadi, jangan sampai Papa tahu aku malas memaknai kitab," aku mengangguk mantap. Lebih baik aku merayu teman sekamar ketimbang merelakan telingaku keriting karena Papa.
Aku berhenti di undakan teras karena melihat Harris berdiri di depan pintu. Ludahku nyangkut di kerongkongan.
"Aku tidak tahu apa yang maksudmu," Harris mengulurkan kertas, "bilang pada Papamu, aku tidak butuh bantuannya untuk hal ini. Aku tidak sememalukan yang kamu pikir."
Alisku bertaut, tidak begitu paham apa maksudnya. Tidak mau penasaran, aku memutuskan membaca selembaran kertas itu. Undangan seleksi paskibra di tingkat nasional.
"Dengar, aku ingin sukses dengan caraku sendiri, usahaku sendiri, bukan melalui jalan belakang seperti caramu." Tidak ada kalimat main-main, "kita memang berbeda, seharusnya aku menyadari ini."
Maksudnya, Harris menolak bantuanku agar dia bisa ikut seleksi paskibra? Dan apa katanya? Jalan belakang? Nepotisme maksudnya? Aku tidak akan melakukan ini jika tidak tahu kualitasnya. Aku tidak akan membuat Papa malu kalau merekomendasikan orang yang salah.
"Berhenti sok peduli padaku."
Amarah berdenyut-denyut di ubun-ubun, aku mengepalkan tangan kuat-kuat hingga ruas jariku memutih.
"Aku nggak peduli padamu. Terserah kamu mau melakukan apapun. Tapi, aku melakukan ini karena aku ingin menebus rasa bersalahku. Kamu disuruh kembali ke pesantren karena ketahuan pacaran denganku, hal ini membuat impianmu kandas, dan itu karenaku. Aku merasa bersalah, tapi... jika kamu terlalu sombong untuk menerima kebaikanku, lupakan saja!" aku menyobek surat undangan paskibra hingga berbentuk serpihan. Dengan mantap, aku menerbangkan sobekan kertas itu ke udara.
"Aku tidak butuh kebaikanmu."
"Oke, semua udah jelas." Gigiku bergemelutuk emosi, tahan diri Nawaila, sabar... sabaaar. "Aku menyesal melakukan ini."
"Menyesal?" Harris mengulang kata-kataku, ia mendongak dan saat kami bertatapan, ada api amarah yang mengendap di mata sayunya yang tajam. "Tahu apa kamu dengan kata menyesal?"
"Oh, aku sangat tahu, terutama menyesal pernah menyukai orang berhati sempit dan picik sepertimu. Aku memang menolakmu, tapi tidak seharusnya kamu defensive padaku. Lihat saja, strata sosialmu, seorang gus-putra kyai, tapi sikapmu sama sekali nggak mencerminkan itu." Semakin berani saja aku mengkritik Harris. Cowok itu memejamkan mata sejenak dan ketika membuka mata Harris berubah jadi mata senja, kemarahan sudah pergi dari matanya.
"Aku minta maaf, sebaiknya setelah ini kita menyapa sekedarnya." Lalu Harris sudah berlalu dariku.
"Aku belum selesai bicara!"
"Apalagi yang ingin kamu katakan? Bukankah aku ini orang yang berpikiran sempit dan picik? Aku takut kamu menyesal berbicara denganku."
Entah kenapa jantungku terasa ngilu. Harris, aku nggak bermaksud bilang seperti itu. Aku hanya kesal saja denganmu. Sejak kamu bilang melamarku dan kutolak, kamu selalu menghindar dariku, pura-pura tidak mengetahui keberadaanku. Aku harus bagaimana selain menyimpan kekesalanku dan memuntahkannya malam ini?
"Ya, kamu memang sangat mengecewakan!" berlawanan dengan isi hatiku, aku lantang menghujatnya, "kamu nggak pantes kusukai."
Harris menyipitkan mata ke kanan, mengabaikanku. Tatapan Harris mengingatkanku pada predator. Begitu menakutkan, berhasil menciutkan nyali. Dia bergerak dengan sangat cepat ke samping kiriku. Tubuhku bergetar ketika dia memeluk, aku terasa sangat kecil untuk tubuhnya. Dan saat itu juga suara tembakan menembus kulit teredam. Mataku membulat shock.
Harris?
"Maaf...." Ia berkata lirih, "aku memelukmu, maaf karena hatiku yang picik."
Otakku macet, tanganku meraba bahunya dan di sanalah luka tembak itu berada. Telapak tanganku basah, seiring dengan bau anyir yang menyebar di udara. Kepalaku menggeleng lemah.
"Gus Harris...." Sekarang, airmataku menuruni pipi dengan sombong, aku nggak kuasa menahannya. Sekuat tenaga aku memberontak dari dekapannya, tapi tangan Harris begitu kuat menekan tubuhku agar meringkuk aman di dadanya. Tidak berapa lama, suara tembakan kembali terdengar.
Aku sudah lupa cara berkedip. Kemudian ketika mata Harris kehilangan binarnya, aku sudah lupa cara untuk bernapas.
"Tolooooong!" saat itulah otakku kembali. Aku berteriak dan Harris tidak mampu menahan diri ambruk di lantai. Aku kepayahan menahannya, tubuhku ikut jatuh di sisinya. "Tooolong...!"
"Nizam!" Bu Nyai yang muncul, histeris.
"Tolong, selamatkan Gus Harris, Umi. Aku... aku harus mengejar penjahat itu!" rumah Kyai Sepuh mulai ramai. Aku beringsut menjauh, tapi niatku mengejar penembak gelap gagal karena Harris malah menggenggam jemariku. Aku menatap wajahnya.
"Jika ini adalah waktu terakhirku melihatmu, tolong jangan pergi... jangan."
Tubuhku seperti dihempaskan dari ketinggian lapisan ozon, suara Harris membuat airmataku menetes. Aku merasa sudah menjadi orang yang paling jahat sebab sudah menghinanya berpikiran sempit dan picik karena aku menolak lamarannya, tapi lagi-lagi aku salah menyimpulkan dirinya. Mana mungkin orang berhati sempit dan picik rela mati demi aku? Harris emang bodoh. Dia adalah cowok paling bodoh di muka bumi. Memang, aku akan terpesona kalau melihatnya meregang nyawa? Jangan pernah melindungiku jika itu membahayakan nyawamu, Harris. Siaaaaaaaaaaal! Brengsek memang putra kyaiku ini, makiku mulai tidak bisa mengendalikan emosi.
Kepalaku berkunang-kunang ketika sayup-sayup kudengar teriakan orang-orang untuk membawa Harris ke dalam rumah. Aku tidak punya cukup tenaga untuk membuka mata dan memastikan Harris baik-baik saja. Awalnya tubuhku seperti berpusing, bumi terangkat ke atas lalu memutar, membuatku limbung, kemudian gelap menyergap dua mataku.

Luka yang Kau Tinggal Senja Tadi (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang