Langkah cowok itu mantap, dua bibirnya menyunggingkan senyum ketika mengeja papan nama sekolah barunya. SMA Negeri 8 Jakarta. Target pertama terpenuhi, bisiknya dan terus melangkah menuju ruang kelas. Jangan berpikir bahwa tujuannya belajar di sini karena sekolah ini merupakan SMA Favorit di Jakarta. Ia punya sebuah rencana yang telah ia susun matang. Bahkan untuk suksesi rencana ini, dia rela menentang ayahnya. Tidak masalah, anggap saja ini permintaan pertama yang wajib disetujui dan ia sudah berkomitmen akan membuat sebuah pembalasan kepada seseorang.
“Yah! Yah! Yah!” suara seorang gadis terdengar frustasi, cowok itu menoleh dan mendapati seorang bermata bulat sedang berjongkok menatap telur yang pecah di tanah. “Mampus, gue pasti dihukum hari ini. Ish, Nawaila… kenapa sih ceroboh banget!”
Nawaila? Alisnya berkerut.
Nizam Harris—nama yang tertera di nametag bajunya—mengamati dengan seksama.
“Bang, lo sini, deh. Telur gue pecah. Ampun, ini hari pertama orientasi. Nggak, Nawa nggak mau dihukum. Pokoknya elo ke sini, atau gue pecat elo jadi Abang.” Nawaila mematikan ponselnya dan terus menggerutui kecerobohannya pagi ini.
Harris mendekat, “telur kamu pecah?”
Tak ada sahutan, gadis itu mengangguk sekedarnya.
“Ini,” Harris mengulurkan telur miliknya tepat ketika lonceng masuk terdengar, “kamu nggak punya cukup waktu buat nunggu seseorang membelikanmu telur lagi, kecuali kamu ingin dihukum karena terlambat.”
Menurunkan gengsi, Nawaila akhirnya mengambil telur pemberian pemuda asing itu, “thanks.”
“Any time.” Lalu Harris pergi.
“Tunggu, nama lo siapa?” Nawaila berteriak, Harris hanya menoleh sebentar kemudian melambaikan tangan.
‘Apa penting sebuah nama?’ Bisik Harris pada dirinya sendiri. ‘Poin pentingnya adalah aku sudah tahu siapa targetku.’***
Target? Sebenarnya gadis berjilbab putih dengan hiasan pita warna-warni memenuhi jilbab itu bukan hanya sasaran yang harus dia hancurkan, istilah yang paling tepat, Nawaila adalah korban yang harus ia mangsa. Harris sudah berjanji untuk membalaskan dendam, keluarga Parawansa harus tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang dicintai. Tidak adil rasanya jika dia kehilangan orang tua, diasuh orang asing yang pura-pura jadi keluarga, merahasiakan jati dirinya, sementara pembunuh itu asyik bahagia dengan keluarga yang mereka miliki.
“Kamu bukan Nizam Harris, anak kandung Abah Masnif Al Masduki dan Ibu Mar’ah, tapi kamu adalah anak kandung Raka Yudhistira dan Naysilla Hamzah.” Ayah Yoga—yang notabenenya bupati Malang—menatap Harris, ia mengulurkan hasil uji DNA dari sebuah rumah sakit, berikut juga foto-foto yang disebut Raka dan Naysilla.
Harris membaca dokumen-dokumen itu, ia belum menanggapi.
“Dia adalah sahabatku. Kami sering bersama, bercerita dan berbagi masalah, tapi… seseorang datang, dia membunuh Papamu.”
“Membunuh?”
“Mandala Parawansa, dia tidak hanya membunuh Papamu, juga menghancurkan bisnis yang dibangun Raka. Ia juga membekukan Hotel Centaury yang tersebar di seluruh kota besar Indonesia.”
“Satu-satunya ayahku adalah Abi. Dan aku tidak kenal siapa itu Raka dan Naysilla.” Harris berdiri.
“Ayolah, buka matamu. Kamu dilahirkan tahun berapa? Usia ayah dan ibumu berapa tahun?” Lelaki itu mengeluarkan salah satu kertas yang ternyata surat kesehatan ibunya. “Lihat ini, ibumu memasuki menopause di usia 45 tahun. Dan kamu lahir tepat saat ibumu berusia 48 tahun. Tidak masuk akal, seseorang yang sudah tidak subur, berhenti memproduksi sel telur bisa melahirkan. Dan… yang paling fatal, tes DNAmu ini sama dengan struktuir DNA Raka dan Naysilla. Kamu tidak bisa menipu darah yang mengalir di tubuhmu, Nizam.”
Rahang Harris mengeras.
“Begini saja, untuk membuktikannya, bawalah ini dan tanyakan pada orang yang kamu sebut Abi dan Umi. Dan kalau kamu sudah menemukan jawabannya, temui aku, kita akan membuat perhitungan karena Mandala Parawansa sudah membunuh dua orang tuamu. Pertama, kamu harus masuk di SMAN 8 Jakarta sebab salah satu anak Mandala seusia denganmu dan melanjutkan sekolahnya di sana. Ambil hati putrinya, lalu kamu bisa membalas kebiadaban Mandala dengan cara yang kamu suka.”***
Setelah bertemu dengan orang tua Yoga itu, Harris pun bertanya pada ayahnya. Saat itu ayahnya baru mengisi pengajian bersama santri—membalah kitab Tafsir Jalalain dengan santri di kelas Ulya.
“Mungkin… sudah saatnya kamu tahu.” Abah Masnif berhenti, ia mengamati Harris dengan seksama, “memang benar kamu bukan putra kandungku, tapi kasih sayang yang kami berikan tidak pernah melihat siapa kamu, Nak.”
“Abi, sampai berapa lama lagi Abi dan Umi membohongi Nizam?”
Bu Mar’ah hanya menunduk, tidak berani melihat mata Harris yang terluka. Semua mengingatkannya pada Harris Ramadhan, putranya yang sudah meninggal usai mengantar Harris yang masih bayi.
“Apa yang kamu inginkan?” Abah Masnif menantang Harris.
“Kemana orang tua kandung Nizam?”
Abah Masnif menggeleng, “aku tidak tahu. Kamu datang ke sini dengan almarhum putraku. Dia meninggal sebelum menjelaskan siapa dirimu, tapi satu-satunya yang ia lakukan adalah memintaku untuk melindungimu.”
“Melindungiku dengan membohongiku, Abi?” Mata itu sudah berkaca-kaca, “jadi selama ini… aku tidak pernah tahu bahwa ayah dan ibuku sudah meninggal kan?”
“Meninggal? Dari mana kamu tahu?” Bu Mar’ah cepat tanggap.
“Seseorang memberitahuku dan menunjukkan buktinya. Jadi, Abi… tolong ijinkan aku bersekolah di Jakarta.”
Abah Masnif menegang, “Kamu tidak akan kesana. Aku sudah memutuskan bahwa kamu akan nyantri di Jombang.”
“Tidak. Nizam tidak akan ke sana. Nizam ingin ke Jakarta untuk tahu cerita yang sebenarnya.”
“Nizam…,” Abah Masnif memejamkan mata, “kamu bukan berniat untuk mencari tahu, tapi untuk membalas dendam.”
“Jika mereka sudah biadap membunuh orang tuaku, apa aku akan diam saja dan menyelesaikan semua pada Tuhan? Apakah membiarkan kekejaman bertebaran di muka bumi itu adil? Ayah dan ibuku pasti ingin aku melakukan sesuatu agar kematian mereka tidak sia-sia. Jadi, Abi restui ataupun tidak, Nizam akan ke Jakarta.” Harris bangkit dari duduknya, masuk dalam kamar dengan amarah yang masih meluap-luap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka yang Kau Tinggal Senja Tadi (Complete)
Storie d'amoreSinopsis Pas patah hati, pas juga ayahnya menyuruh dia tinggal di pesantren. Mungkin pesantren bisa mengobati patah hatinya, tapi gimana jadinya kalau cowok yang sudah membuatnya patah hati juga pindah ke sana? Menikah muda juga bukan bagian dari re...