-satu-

509 116 393
                                    

Enjoyy ya! Bagi silent reader, yuk muncul untuk ikut meramaikan cerita ini ehehe.. ditunggu vote dan komen kalian <3

.

.

.

Sore menjelang malam. 

Seluruh kota dipenuhi dengan kerlap-kerlip cahaya yang terang benerang. Di mana lampu di gedung, rumah, dan di jalan mulai dinyalakan.

Detik demi detik berlalu, dengan perlahan rintikan salju mulai turun. Sepertinya bulan ini memasuki musim dingin.

Dingin.

Walau itu tidak berlaku lagi bagiku sekarang. Hanya tersisa jantung yang terus berdetak sesuai temponya, menyisakan kesesakan yang pedih dan menyakitkan.

Aku duduk di depan perbatasan tembok, antara lorong gedung yang menjulang tinggi ke atas. Duduk bersamaan dengan sederet sampah yang berserakan. Ingin menyingkirkan sampah yang dibuang tepat di atas pahaku, tapi tanganku ini sudah tidak kuasa hanya sekedar menggerakannya. 

Seluruh badan atasku sudah mulai mati rasa. Sebenarnya dari pingul sampai ujung kaki sudah kaku dari saat seseorang menaruhku di dekat lorong gedung ini.

Sudah lebih dari tiga belas hari lamanya aku duduk disini. Selalu melihat pengangkut sampah yang sedang mengambil tong sampahnya di dekatku.

Melihat orang yang juga kadang membuang sampah ke arahku.

Melihat orang yang selalu berlalu-lalang di depanku, dan 

melihat tatapan menyedihkan dan merendahkan setiap kali orang yang berhenti di depanku.

Tetapi, dari mereka tidak ada satupun yang mau mendekatiku ataupun menolongku. Aku selalu berharap seseorang mengasihaniku, tapi sudah hampir dua minggu tidak ada satupun yang mencoba menyelamatkanku. 

Harapan akan dikasihani seketika pupus seperti uap, yang baru saja diangan-angankan hilang karena terhembus oleh kenyataan. 

Sepertinya karena rasa kesakitan dan kesesakan ini membuat mata kiriku seketika tidak dapat dikedipkan dan penglihatanku menjadi kabur dan hilang. 

Kenapa takdir hidupku harus seperti ini? Tidak bisa seperti manusia yang biasa.

Apakah ini akhir dari hidupku? 

Sepertinya jawabannya iya.

Rambutku yang terurai panjang tertiup angin, membuat menutupi penglihatan mata sebelah kanan yang sudah mulai memburam perlahan. Dapatku rasakan, tanda-tanda bahwa sepertinya aku akan terbuang dan bukan lagi menjadi sesosok manusia.

Tiba-tiba aku reflek mengedipkan mata kananku karena seperti ada sinar yang menyorot sangat dekat kepadaku. Samar-samar seseorang tengah merapikan rambut depanku. Ia memegangi tanganku dan sepertinya mengucapkan sebuah kata. 

Tapi sayang, aku sudah tidak mampu merespon karena kesadaranku mulai hilang setelahnya.

. . .

"Ayah, kenapa dengan orang yang duduk itu?" sambil tangan kecilnya menunjuk polos kearah yang ia maksud, "Kenapa ia mirip seperti boneka porselen?"

Ayahnya yang mengerti maksud dari anak gadisnya yang masih berumur enam tahun itu, hanya menegur dengan baik.

"Sayang, jangan berkata seperti itu. Tidak baik. Kamu paham?" sambil mengelus pelan pucuk kepala anaknya.

"Nee, tapi bentuk yang timbul di badannya itu seperti boneka ayah, bukan seperti ora-" menyela perkataan anaknya.

I Just Want Your Mercy [KG] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang