Part Four: Antara Raya, Ata, dan Genta.
_______________________________
Bermacam kilasan telah kupandang, apa yang sebenarnya Semesta ingin tunjukkan?
Adinaraya Pratista
________________________________
o0o
Ruang kelas XII Sosial 1, dilingkupi hening sejak beberapa jam yang lalu. Suara gesekan pena di atas kertas, menjadi satu-satunya melodi yang bersenandung. Para murid di sana, tertunduk melihat lembar soal yang tersaji di depan mata. Sebagian dari mereka, terlihat tenang mengerjakan. Sisanya, kalang-kabut dengan kepala yang celingukan ke berbagai arah untuk mengemis jawaban. Mengabaikan pengawas yang daritadi asik memperhatikan dalam diam. Tentu, para Juara Kelas akan pura-pura tuli, jika situasi seperti ini terjadi.
Di lain sisi, dua manusia tengah bungkam. Kedua pasang manik dengan fokus menaruh atensi pada secarik kertas di atas meja kayu bercorak putih. Masing-masing dari jari mereka dengan lihai menulis sesuatu di sana. Sesekali, lirikan mata tertuju pada lawan jenis tatkala kalimat yang terpikir kiranya bersifat ragu.
Setelah perdebatan konyol tadi, tanpa menuntaskan perkara yang terjadi, sang Guru lebih dulu datang menengahi; tanpa sengaja. Mau tidak mau, Kucing dan Tikus itu berhenti di tengah abu-abu yang belum tuntas.
"Woi, bagi jawaban nomor dua," bisik Ata. Matanya berusaha melirik kertas jawaban milik si gadis bercepol kuda yang tertutupi oleh buku paket. Tinggi badan di atas rata-rata, membawa keberuntungan untuk pemuda itu jika sedang berada dalam situasi sejenis ini.
"Ogah, kampret." Raya memberi tatapan sinis.
"Adinaraya dan Ata, silahkan keluar dari Kelas jika kalian tidak mau mematuhi peraturan," tekan ibu Amanda yang merangkap sebagai Guru Sosiologi.
"Maaf, Bu," sahut keduanya serempak.
"Cepat bagiin," keukeh Ata dengan sedikit memaksa. Sebelah tangannya mematuk ujung buku paket dengan pelan. Bermaksud meminta atensi.
Raya tentu masa bodoh, sekalipun suara ketukan itu sedikit membuyarkan fokusnya. Namun, ia berusaha menepis. Waktu tinggal 30 menit lagi. Jadi, tidak ada detik berganti menit, untuk meladeni seorang Ata Haluluntar yang menyebalkan.
Apalagi sejak ia diteriaki terus-menerus, hingga hampir menjawab panggilan alam di salah tempat. Jangan salahkan dirinya, jika ia mengacuhkan laki-laki setengah gila di sampingnya.
Raya memilih diam tanpa berbalas sepatah kata. Otak dan matanya berkolaborasi, guna memecahkan soal-soal yang mengandalkan wawasan tinggi.
Lain dengan Ata yang kini berdecak malas. Raut muka yang-masih-tertutup masker itu kemudian mendengus kesal. Sebenarnya ia mampu menjawab semua pertanyaan yang tertera. Tapi, entah mengapa jiwa lain di dalam diri inginnya terus merecoki si cucu Hawa. Hatinya bermonolog bahwa ia, membutuhkan afeksi dari teman sebangkunya. Apalagi, pertengkaran di antara mereka, belum menemukan titik terang yang pasti.
Satu jam sudah berlalu, lonceng pertanda pulang pun bersuara dengan lantang. Setelah mengucapkan salam penutup, para siswa berhamburan meninggalkan kelas. Menyisakan dua presensi yang kini tengah sibuk membereskan segala peralatan yang tadi sempat digunakan. Tiada yang bersuara. Kedua pasang tangan bergerak lincah, berpindah dari meja lalu ke dalam tas.
Mungkin begitu, sampai-
"Ray, lo pulang sama gue. Nggak ada penolakan," Kalimat itu terlontar tegas dari belah labium tipis kepunyaan Ata. Dengan mata yang 'tak menoleh, juga tangan yang asik bergerak memasukkan barang-barang.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALU
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] Ini kisah tentang Raya yang menyukai sang Pujaan Hati, tanpa pernah bertatap muka. Cerita tentang seorang gadis, yang ter-obsesi dengan sesosok pemuda tampan penuh pesona, bernama Genta. Seolah terjebak pada dimensi penuh imajinasi...