II. Kucing Oranye

256 73 6
                                    

Zea aneh. Ya,.. dia tidak pernah denial akan hal tersebut. Keanehannya membuatnya yakin jika ada hal-hal di luar sana yang tak masuk logika, namun nyata keberadaannya. Zea percaya dengan keberadaan manusia berkekuatan super, dunia paralel, makhluk fantasi dan juga hewan yang bisa bicara. Tetapi, berjumpa langsung dengan salah-satunya merupakan pengalaman pertama baginya. Dia tentunya syok berat.

"Wah, ini gila." Tanpa sadar Zea bergumam. Terdengar jelas sebab sepinya ruang.

"Kau tidak gila."

"Ya, tentu saja aku tidak gila."

"Kubilang kau tidak gila."

"Kau tuli? Aku tidak bilang kalau aku gila!"

Kedua tangan— lebih tepatnya, kedua kaki depan kucing itu terangkat menutup telinganya. "Kau terus saja berteriak, telingaku jadi sakit rasanya," katanya yang sedang berselonjor nyaman di atas sofa.

"Kau ini makhluk jenis apa? Kau jelas bukan kucing. Hanya fisikmu saja yang menyerupai kucing."

Kucing itu— panggil saja dia Si Oranye— melirik dengan sorot malas. "Aku sama sepertimu," jawabnya sambil menurunkan kedua kakinya dari telinga.

"Jangan bercanda."

"Aku tidak bercanda."

"Aku manusia, mana mungkin kau sama sepertiku." Zea mendecak kesal.

"Manusia? Aku jelas bukan manusia, kau pun demikian."

Si Oranye terlihat sangat santai, seolah dirinya yang seekor kucing mengatai Zea yang jelas manusia bukan manusia adalah sesuatu yang lazim. Lelucon macam apa ini?

Mata Zea memejam, napasnya berembus kasar. "Bicara denganmu sepertinya tidak akan berguna." Zea beranjak, berniat mengistirahatkan diri di kamar. Dia terlampau lelah hanya untuk meladeni Si Oranye menyebalkan itu.

Zea baru saja akan mengambil langkah pertama saat satu perbuatan aneh dari Si Oranye membuatnya ternganga tak percaya. Astaga! Dengan posisi masih selonjoran di sofa, dia mengeluarkan bola api dari salah satu kaki depannya. Bola api itu terlihat seperti bola pingpong yang terbakar, menyala-nyala.

"Bagaimana kau bisa mengeluarkan api seperti itu?" tanya Zea dengan kedua mata melotot tak percaya.

Si Oranye mendengus. Raut wajahnya terlihat pongah, persis seperti kucing tetangga yang gemar pipis sembarangan di dekat jendela kamar.

"Mudah saja bagi seorang alta melakukannya."

"Alta?" tanya Zea dengan kening berkerut. Baru kali ini dia mendengar kata itu.

Bola api itu seketika hilang. Tidak meninggalkan jejak apapun selain sedikit asap. Keren juga, pikir Zea.

"Kau tidak tahu alta? Padahal kau sendiri seorang alta." Si Oranye menatap sangsi.

Zea makin bingung. "Aku? Apa kau sedang bercanda?"

Tatapan sangsi itu terlihat semakin jelas. Si Oranye memandangi Zea dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu kembali menatap kedua mata Zea. "Berapa umurmu?"

"Seminggu lagi genap 18 tahun."

"Seharusnya aku bertanya umurmu dulu baru memperlihatkan semua ini," ucap Si Oranye setelah menghela napas kasar. Sebelah kaki depannya menyentuh hidung, terlihat seperti manusia yang memikirkan sesuatu sambil memijit pangkal hidungnya. "Sepertinya tidak masalah. Lagi pula hanya sisa seminggu."

"Sebenarnya apa yang kau bicarakan?" Zea berkacak pinggang.

"Aku sengaja memperlihatkan padamu jika aku adalah alta, karena kukira kau tahu jika dirimu alta."

Oke, ini membingungkan.

"Baiklah. Anggap saja ucapanmu benar," ucap Zea setelah terdiam beberapa saat. "Lalu apa kita dua alta yang berbeda? Kau alta hewan dan aku alta manusia?"

"Kenapa kau berpikir seperti itu?"

"Hei, lihatlah! Kau bilang kita sama, tapi dilihat dari sisi manapun, kita sama sekali tidak memiliki kesamaan. Itulah sebabnya aku berpikir kau alta hewan dan aku alta manusia."

"Tidak ada yang namanya alta hewan dan alta manusia. Fisikku juga menyerupai manusia. Wujud kucing yang kau lihat saat ini bukanlah wujud asliku." Dia merubah posisi dari baring menjadi duduk bersandar. Kedua tangannya terlipat di depan dada, lalu kakinya saling bertumpu (Sekarang Si Oranye terlihat seperti mempunyai dua kaki dan dua tangan).

"Jika kau melihat wujud asliku, aku berani bersumpah kau akan terperangah takjub melihat ketampananku," katanya dengan nada pongah.

Refleks Zea mendecih. Ingin sekali dia menjitak kepala berbulu itu. Tampan apanya? Yang terlihat sekarang hanyalah wajah mengesalkan dengan tumpukan lemak di perutnya. Zea memilih tidak menjawab bualan itu. Dia lebih penasaran dengan ucapan beberapa waktu lalu tentang dia yang katanya bukan manusia, melainkan seorang alta. Jika memang benar demikian, apakah itu yang menyebabkan dia sedikit berbeda dengan orang-orang sekitar?

"Oh, jadi begitu ya?"

Si Oranye menatap dengan raut bingung. "Kau tidak takut atau terkejut?"

"Tidak juga."

Si Oranye hanya menggelengkan kepala. Tidak habis pikir dengan respon yang  Zea berikan. Mungkin dia mengira Zea akan sangat terkejut hingga mau pingsan mengetahui fakta jika selama ini dia bukanlah manusia.

"Lalu? Apa aku bisa berubah jadi kucing sepertimu?" Zea duduk bersila. Wajahnya terlihat sangat antusias.

"Tidak pernah ada sejarah yang mengatakan alta dapat berubah menjadi makhluk lain. Seharusnya memang tidak akan pernah ada."

"Lalu, kenapa kau bisa berubah?"

"Aku alta yang istimewa. Hanya itu alasan yang bisa kuberikan. Aku sendiri pun tidak tahu alasan pastinya."

"Alasan macam apa itu?"Zea merotasikan bola mata. "Kalau begitu, apa aku juga bisa membuat api sepertimu?"

Kucing itu menggeleng. "Tidak bisa."

"Apa-apaan? Kau bilang aku sama sepertimu, seorang alta. Lalu kenapa aku tidak bisa melakukan hal yang kau bisa lakukan?"

"Kau itu seorang mortimer. Lihatlah warna matamu itu!"

Warna mata? Zea memiliki iris berwarna biru pudar. Apa korelasi antara hal tersebut dengan kekuatan  yang ia miliki? Dan lagi... "Mortimer? Apa itu? Kau bilang aku alta, lalu sekarang kau bilang aku mortimer. Mana yang benar?"

SI Oranye menghela napas kasar. "Aku lapar. Berikan aku makanan, nanti aku akan menjelaskan semuanya."

Kedua bahu Zea jatuh tak bersemangat. Padahal dia sudah sangat antusias ingin mendengarkan penjelasan Si Oranye. Tapi mau bagaimana lagi? Menilik dari interaksi mereka sejak beberapa waktu lalu, Zea bisa memastikan jika makhluk jadi-jadian itu tidak akan mengatakan apapun kecuali jika permintaannya dituruti. Dari pada menghabiskan waktu dengan berdebat, Zea lebih baik mengiyakan saja kemauannya.

Zea akhirnya beranjak menuju dapur. Sebelum melewati ambang pintu, ia berbalik lantas bercuap, "oh ya, kau makan makanan kucing?"

"Berani sekali kau! Aku seorang Kaisar. Bagaimana mungkin kau memberikan makanan kucing kepada seorang kaisar." Kucing itu bersungut-sungut dengan suara tinggi. Matanya memicing tajam.

Zea berlalu tanpa peduli. Kaisar apanya? Kucing gemuk sepertinya adalah seorang kasiar? Yang benar saja.

🌻

renjuniastri

Aletodonia : The Last RubellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang