IX. Praduga dan Tak Terduga

183 48 8
                                    

Rasanya baru sebentar Zea menyelami alam bawa sadar ketika suara ketukan pintu menariknya paksa untuk segera membuka mata. Zea melenguh, meregangkan otot yang terasa kaku karena posisi tidur yang tidak nyaman. Ia mendapati Elenio tertidur di sampingnya, mendengkur pelan, tidak terganggu sedikitpun dengan pergerakan Zea. Saat menoleh ke arah jendela, langit sudah gelap. Pukul berapa sekarang?

Zea segera bangkit dari ranjang, beranjak untuk membuka pintu kamar.

Di hadapannya, seorang perempuan berambut pirang panjang menyapa dengan senyum tipis. Matanya sipit, cocok dengan wajah manisnya.

"Hai. Aku datang untuk mengantarkan makan malammu," ucapnya sambil menyodorkan sebuah nampan berisi makanan dan segelas air.

Zea mengerjap, meraih nampan tersebut dengan segera. "Ah, maaf merepotkan. Aku sepertinya tidur terlalu lama sampai melewatkan makan malam."

"Tidak masalah. Pelajar baru memang makan di dalam kamar. Nanti setelah penyambutan, kau bisa bergabung dengan penghuni asrama lainnya di lantai bawah," ucap perempuan itu. Zea menanggapinya dengan senyum kaku.

"Oh ya, namaku Moi. Aku pelajar tingkat II, juga salah-satu pengurus asrama. Jika perlu sesuatu, kau bisa mencariku di lantai tiga kamar 29." Moi menunjuk sesuatu di sisi kiri pintu. "Dan itu mungkin barang-barangmu. Petugas akademi membawanya beberapa waktu lalu."

Kepala Zea menyembul untuk melihat arah yang ditunjuk Moi. Itu koper, ransel dan paper bag berisi belanjaannya.

"Baiklah. Aku pergi dulu. Selamat malam."

Zea bergegas menutup pintu setelah kepergian Moi. Ia beranjak menuju meja belajar, bersiap untuk menyantap makan malamnya.

Tubuhnya terasa tidak bertenaga. Ia kelaparan. Perutnya hanya diisi tadi siang saat makan bersama Tao. Itupun hanya beberapa sendok karena ia tidak bisa menikmati makanan di kedai itu. Rasanya hambar, seperti tidak diberi garam. Herannya tadi Tao sangat menikmatinya. Makanan berupa mie berkuah itu juga disantap lezat oleh para pengunjung yang memadati kedai. Entah hanya lidahnya, atau selera mereka memang seperti itu.

Makanan yang dibawakan Moi adalah nasi dengan ayam goreng dan sayur-mayur sebagai lauk. Penampilannnya persis seperti makanan di kota asalnya. Zea harap rasanya juga demikian.

Zea mencicipi nasi terlebih dahulu; hambar, seperti nasi pada umumnya. Ia kemudian mencicipi sayuran; tawar, tidak seperti rasa sayur yang biasa ia makan. Terakhir Ia mencicipi ayam bakar; tidak ada rasa, kecuali teksturnya yang lembut saat menyentuh lidah. Zea menghela napas. Makanan ini rasanya sama persis dengan mie yang ia makan di kedai. Tidak terasa garam dan juga bumbu lainnya. Apa Aletodonia tidak memiliki satupun rempah-rempah? atau selera makanan orang-orang di sini memang seperti ini?

"Makanan itu diberi garam. Juga dibumbui dengan rempah-rempah dapur lainnya," celetuk Elenio yang rupanya sudah bangun. Dia menatap Zea dari ranjang sambil bertumpu dagu.

"Tidak. Makanan ini tidak memiliki rasa. Coba saja kalo kau tidak percaya."

"Berasa. Hanya lidahmu saja yang tidak bisa mencecap rasanya."

Zea mengerutkan kening. Ia baru saja hendak protes, namun Elenio lebih dulu berbicara.

"Itu efek samping saat melintasi sekat antar dimensi. Lidahmu akan mati rasa untuk beberapa waktu. Kau tidak akan bisa mencecap rasa manis, asam, asin, bahkan pahit sekalipun. Semua juga mengalaminya saat melintasi Eksodus. Mungkin si Tao jelek itu lupa menjelaskannya padamu."

Zea mengerjap bingung. "Apa kau juga mengalaminya?"

"Ya, namun tidak seberpengaruh itu untukku. Aku sudah sering bolak-balik Aletodonia dan dimensi manusia, hingga lidahku sudah bersahabat dengan rasa hambar makanan," jawab Elenio, "berlaku juga untuk para Pasukan Daksina. Lidah mereka bukannya normal setelah melintasi Eksodus, hanya saja mereka sudah terbiasa dengan efek samping itu."

Aletodonia : The Last RubellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang