XI. Hari Pertama

184 41 10
                                    

Sudah hampir tengah malam. Zea terduduk di tepi ranjang dengan seragam akademi yang masih melekat di tubuhnya. Niat untuk berganti pakaian dan bersih-bersih sudah hilang saat menemukan sosok pria di kamar mandinya beberapa menit yang lalu.

Pria itu saat ini duduk di kursi belajar, masih dengan handuk yang melilit pinggangnya. Zea terus saja menatapnya, tanpa berpaling sebentar saja. Wujud asli Elenio terlihat seperti pria berusia 30an, padahal usianya sudah lebih dari dua abad.

"Apa kau tidak pernah melihat pria tampan sebelumnya? Kenapa melihatku terus-menerus seperti itu?" katanya.

Zea bergeming. Masih dengan tatapan yang berpusat pada Elenio. Ia mentapanya bukan karena terpana oleh rupa ataupun perawakannya, tapi karena ia masih berusaha mencerna situasi dan menenangkan banyak tanya di kepalanya. Zea sudah tahu jika wujud kucing Elenio bukanlah wujud aslinya. Zea juga tahu jika cepat atau lambat Elenio akan menemukan cara untuk kembali ke wujud aslinya. Zea sudah mengantisipasi, hanya saja, saat telah terjadi, ini tetap membuatnya tak habis pikir.

"Kukira kau akan butuh waktu lama untuk bisa bertranformasi ke wujud semula," kata Zea, "apa dugaanmu tentang kehabisan energi itu benar?"

Elenio mengagguk. Dia bersedekap, menumpukan kakinya. Tingkah lakunya tidak ada bedanya dengan Si Oranye. Bahkan sikapnya dalam menanggapi sesuatu juga sama: malas dan pongah. Ya, tentu saja, mereka adalah orang yang sama.

"Setelah kau pergi, aku menghabiskan waktu dengan melanjutkan mengisi energiku. Awalnya aku mengira jika butuh energi full untuk bisa kembali ke wujud semula, tapi ternyata tidak. Hanya butuh sekitar 40% energi untuk bisa melakukannya."

Zea terdiam sebentar. "Ini artinya kau tidak bisa lagi tinggal di sini."

Elenio megerutkan kening. "Kenapa?"

"Kau tidak mungkin bisa terus sembunyi di sini dengan wujudmu yang sekarang."

"Aku tidak bisa pergi kemana-mana saat ini," kata Elenio, "walau bisa kembali ke wujud semula, energiku masih belum pulih. Bahkan aku belum mencapai setengah dari seluruh energi yang seharusnya dimiliki oleh seorang alta. Tidak ada jaminan jika aku tidak akan kembali menjadi seekor kucing. Firasatku mengatakan, sebentar lagi aku akan——"

Belum genap ucapan Elenio, pendar cahaya semerah darah tiba-tiba muncul di sekitar tubuhnya.

Zea melotot, kontan berdiri. Apa yang terjadi pada Elenio? Cahaya merah itu terang, cukup menyilaukan mata. Tiga detik kemudian, cahaya itu hilang bersama dengan sosok pria itu. Di kursi tidak lagi terlihat pria kekar berotot, hanya nampak makhluk berbulu oranye dengan tumpukan lemak di perutnya.

Elenio kembali berubah menjadi kucing oranye.

"Firasatku tidak pernah membohongiku," kata Elenio dengan embusan napas berat.

Zea tecengang, nampak kesusahan menarik napas. Astaga! Bola matanya rasanya ingin melompat keluar. Ini pertama kalinya dalam hidupnya menyaksikan bagaimana makhluk lain bertranformasi menjadi makhluk lain.

"Cahaya merah apa itu?" tanya Zea dengan nada terdengar tidak percaya. Masih syok melihat perubahan Elenio. "Bukankah cahaya energimu seharusnya berwarna jingga?"

"Yang kau lihat tadi itu bukan cahaya energi. Itulah cahaya yang membuatku menjadi alta yang istimewa."

✷✷✷

Pukul delapan pagi. Zea dan Vae melangkah terburu-buru melewati lapangan luas dengan buku dan selembar kertas di masing-masing tangan. Tidak hanya mereka berdua. Lapangan ini cukup ramai dengan pelajar lain yang juga sedang bergegas menuju gedung belajar. Riuh. Derap langkah bersautan, juga tawa dan celetukan-celetukan. Beberapa ada yang menggerutu karena telat.

Aletodonia : The Last RubellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang