bab 1

2 1 0
                                    

Pagi kembali menyapa, tetapi mentari masih setia bersembunyi di balik awan hitam. Sama seperti Markonah, yang masih setia bersembunyi dibalik tebalnya selimut meski teriakan sang ibu begitu menggema. Sarboah begitu kesal melihat putrinya yang tak kunjung bangun, dia membawa secangkir air dan mengguyur wajah Markonah.

"Banjir, banjir!" teriak Markonah setengah sadar, gadis itu langsung duduk.

"Banjir air liur kamu!" ketus sang ibu.
"Kamu enggak sekolah? Udah siang bolong begini belum bangun!" lanjutnya.

"Emang siang ada yang bolong ya?" tanya Markonah sambil  mengucek mata.

"Terserah kamu Mar, ibu pusing sama kelakuan kamu. Pokoknya kamu sekarang cepat siap-siap ke sekolah!" ucap Sarboah dengan tegas dan meninggalkan kamar putrinya.

Suara pintu yang berdecit membuat Markonah tersadar dari lamunannya. Dia segera mengambil handuk yang tergantung dan pergi ke kamar mandi dengan langkah malas. Harum nasi goreng begitu menggoda, membuat Markonah menghentikan langkah dan mengurungkan niatnya untuk mandi.

Nasi sisa kemaren yang mungkin bagi sebagian orang hanyalah makanan bekas yang harus dibuang. Tetapi, tidak dengan Sarboah, baginya nasi sisa adalah berkah untuk hari esok. Nasi yang bisa diolah untuk sarapan putrinya sebelum berangkat sekolah, di tangannya yang cekatan nasi itu berubah menjadi makanan lezat.

Markonah memakan nasi goreng dengan lahap, dia menggantungkan handuk yang dia bawa di kursi yang ada di sebelahnya. Tak peduli dengan bau air liur yang menempel di baju, gadis itu terlihat begitu santai menikmati sarapannya. Sarboah yang baru keluar dari kamar mandi langsung menghampiri sang putri.

"Bukannya mandi, malah nyasar di dapur," ucap Sarboah membuat Markonah menoleh dan tersenyum.

"Tadi itu aku mau mandi, handuknya aja udah aku bawa. Terus aku lihat ada Emak, jadi aku belok aja ke dapur."

"Alesan kamu!" Sarboah duduk di sebelah putrinya.

"Besok-besok mandi dulu baru sarapan, bau air liur," ledek Sarboah sambil menutup hidungnya.

Markonah hanya melirik sekilas, lalu mencium ketiaknya.

"Nggak bau-bau amat Mak, lebih bau si Jagir," ucap Markonah sambil memajukan bibirnya.

"Bimoli," ujar Sarboah sambil duduk dihadapan putrinya.

"Apaan Mak bimoli?"

Markonah menghentikan makan dan menatap serius sang ibu. Sarboah tidak memedulikannya, wanita itu mengambil nasi dan makan.

"Mak!" teriak Markonah.

"Apa?" Sarboah terus saja melanjutkan makan tanpa memedulikan pertanyaan Markonah.

"Bimoli apaan?" tanyanya lagi, Sarboah menghentikan makannya dan menatap Markonah dengan serius.

"Mau tahu?" Gadis itu hanya mengangguk. "Bibir monyong lima senti," ucap Sarboah sambil tertawa.

"Emak," ucapnya sambil menahan tawa.

Markonah, gadis berhidung pesek dengan tinggi 160 dan berat badan 42. Jauh dari kata ideal, tetapi dia tidak mau jika ada yang mengatakan kurus. Wajahnya yang pas-pasan sering sekali dijadikan sebagai bahan candaan, lebih tepatnya hinaan yang dibungkus rapih dengan kata hanya sekedar lelucon oleh teman-temannya. Padahal sebuah lelucon itu terjadi jika kedua belah pihak tertawa dan bahagia, bukan satu pihak tertawa dan satu pihak ditertawakan itu namanya bullying atau penghinaan.

Markonah hidup bersama kedua orang tuanya. Hidup dengan ekonomi pas-pasan bukanlah hal mudah, tetapi tawa selalu terdengar di rumah berdinding kayu itu. Rumah sederhana yang hanya berukuran kecil dengan satu kamar tidur.

"Sana mandi, bau," ucap Sarboah pada Markonah yang masih setia duduk meski sudah selesai sarapan.

"Mak, cuacanya mendung banget." Markonah menunjuk ke arah jendela.

"Terus, kalo cuaca mendung kamu nggak mau sekolah?" tanya Sarboah, Markonah hanya diam.

"Inget, Nak. Jadi bodoh itu nggak enak. Kamu lihat Emak, selalu dipandang sebelah mata karena bodoh dan nggak bisa baca." Nada suara Sarboah terdengar berbeda, netranya berembun.

"Mak." Markonah bangkit dan memeluk sang ibu dari belakang.

"Maaf, Mak. Markonah janji, bakal buat Emak bangga dengan prestasi," ucap Markonah dengan suara bergetar.

"Udah-udah, kok jadi melow begini." Sarboah mengelus tangan putrinya. "Mandi sana, bau."

"Siap, Mami Bos," ucapnya sambil melepaskan pelukannya dan pergi ke kamar mandi.

Dengan wajah yang segar Markonah keluar dari kamar mandi sambil bernyanyi, Sarboah hanya bisa tepuk jidat dengan kelakuan sang putri. Markonah berdiri di depan cermin sambil memoleskan bedak bayi di wajah manisnya. Meski pun dia memiliki wajah yang tidak cantik, tetapi dia sangat manis ketika tersenyum. Dia menguncir rambut panjangnya.

"Kalo dilihat-lihat, aku manis juga," ucapnya sambil tersenyum di depan cermin.

"Markonah, kamu mau sekolah apa nggak? udah mau jam tujuh kok belum berangkat!" teriak Sarboah dari dapur.

"Iyah Mak, ini mau pake sepatu dulu."

Markonah memakai sepatu hitamnya yang sudah mulai berubah warna. Meski ledekan dari temannya sering terlontarkan, tetapi dia tak pernah memaksa Sarboah untuk membelikan sepatu baru. Gadis itu keluar sambil menggendong tas yang dibelinya satu tahun lalu.

"Mak, aku berangkat sekolah dulu." Markonah mencium tangan sang ibu dengan takzim.

"Nak, hari ini kamu bawa bekal aja, ya? Emak lagi nggak punya uang buat kasih kamu uang jajan ke sekolah." Sarboah menyerahkan kotak nasi, Markonah langsung menerimanya dengan senang hati.

"Iyah, Mak. Nggak papa kok, nanti pas istirahat aku makan nasi goreng buatan Emak aja. Lagian nasi goreng buatan emak kan lebih sehat dari pada jajan sembarangan," ucapnya sambil tersenyum.

"Ya udah, Mak. Kalo gitu aku berangkat dulu ya, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawabnya lirih, Sarboah menatap punggung putrinya yang semakin menjauh, dia menghapus air mata yang mulai jatuh.

Sarboah memilihkan sekolah yang dekat dengan rumahnya, agar Markonah bisa sekolah meski berjalan kaki. Ekonomi yang menghimpit, tidak menurunkan semangat Sarboah untuk menyekolahkan putri semata wayangnya.

Suara guntur yang menggelegar membuat Markonah mempercepat langkahnya. Hujan mulai turun, dia segera berlari menorobosnya. Benar saja usaha tak menghianati hasil, dia datang tepat waktu sebelum gerbang ditutup. Meski seragamnya basah, setidaknya dia terbebas dari hukuman karena terlambat.

"Emang bener banget ya, hujan membawa berkah," ucap Markonah dengan napas tersenggal. "Kalau nggak hujan mungkin aku masih jalan santai menikmati pagi dan setitik embun yang menyapa meninggalkan kenangan yang ada hingga aku lupa bahwa dia adalah kata mustahil untuk aku yang suka bilang gampang. Gila, keren banget kata-katanya udah kaya anak senja aja." Markonah tertawa karena kekonyolan dirinya sendiri.

Markonah menggosok-gosokan tangannya, gadis itu masih berdiri di koridor sekolah dan melihat air hujan yang turun dengan deras.

"Hujankan terjadi karena air laut yang menguap menjadi awan hitam lalu terbawa angin dan jadilah hujan, berarti hujan kalau dalam kehidupan adalah ujian yang Allah berikan kepada hambanya, yang kemudian bisa berupa musibah atau kebahagiaan dan karena ujian itu seorang hamba bisa menjadi lebih taat atau justru lebih hina. Jika setelah hujan ada pelangi, maka setelah ujian akan ada kebahagiaan yang telah Allah siapkan," gumamnya sambil tersenyum.

Tanpa dia sadari, ada seseorang yang sejak tadi memperhatikan. Dia ikut tertawa ketika gadis yang diperhatikannya tertawa, dia juga ikut berpikir saat Markonah juga berpikir.

"Kasian, pasti kamu sekarang kedinginan gara-gara hujan," gumam laki-laki yang sedang memperhatikan Markonah.

Bersambung ....

Ini Bukan NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang