bab 2

1 1 0
                                    

Semilir angin merbangkan anak rambut Markonah, dingin begitu menusuk sampai tulang. Saat dia hendak pergi ke kelasnya seorang gadis dengan rambut terurai mendekatinya, menyerahkan sebuah kotak tanpa mengucap sepatah kata pun. Gadis itu segera berlari ketika Markonah menerima kotak yang dia berikan dengan wajah bingung.

"Hey, tunggu!" teriak Markonah.

Gadis itu berlari dan menghilang, meninggalkan segurat rasa bingung.

"Aneh banget, ini kotak apa lagi?"

Markonah mengocok kotak ditangannya, dia begitu penasaran dengan isi kotak tersebut.

"Dari pada penasaran mending aku buka aja deh," gumamnya, tetapi saat tangannya hendak membuka kotak tersebut dia teringat kata-kata sang ibu 'tidak boleh membuka, mengambil dan mengenakan barang orang lain tanpa izin, meski kita miskin kita tidak boleh mengambil apa yang menjadi hak orang lain.'

"Tapi ini belum tentu buat aku, gimana kalau cewek tadi cuma nitip."

Markonah mengurungkan niat untuk membukanya, dia berinisiatif untuk membawa kotak itu ke ruang guru. Dia akan meminta batuan salah satu guru untuk mencari si pemilik kotak tersebut. Saat kakinya melangkah, tiba-tiba handphone di saku bajunya bergetar. Dia segera mengambil dan membuka handphonenya. 

[Mau kau bawa kemana kotaknya? Itu untukmu dariku, buka dan pakailah. Jangan sampai kamu kedinginan dan sakit.]

Markonah mengernyitkan dahi, gadis itu kebingungan. Rasanya ingin sekali dia membalas pesan itu, tetapi pulsa yang dia miliki tak mencukupi. Akhirnya dengan rasa enggan gadis itu membukanya. Ternyata kotak tersebut berisi sebuah jaket berwarna hitam. Sebelumnya dia tak pernah melihat teman sekelasnya memakai jaket ini, ada rasa ragu di hati Markonah. Dia memutuskan untuk menyimpan jaket itu di dalam tas lalu berjalan menuju kelasnya.

Markonah langsung disambut oleh teman-temannya yang sudah berada di dalam kelas lebih dulu. Mereka mengajak Markonah untuk duduk bersama dan memulai perghibahan yang tiada habisnya. Membicarakan para cowok ganteng dari kelas sebelah, bahkan guru kiler pun menjadi sasaran gosip mereka.

Pagi ini Markonah hanya diam, mendengarkan tanpa ikut menimpali seperti biasanya. Dia masih penasaran dengan seseorang yang memberikannya jaket, pikirannya masih fokus tentang siapa pemilik jaket itu. Juminten yang melihat temannya melamun pagi-pagi langsung memukul pundaknya dengan kemoceng.

"Woy, ngelamun lagi!" teriak Juminten tepat di telinga Markomah.

"Nggak usah teriak-teriak, telinga gue masih aman," jawab Markonah datar.

"Kenapa sih, lo?" Juminten menatapnya heran.

"Mungkin Markonah lagi ada masalah kali," timpal Inem.

"Mar, kamu ada masalah apa? Kamu cerita dong, siapa tahu aku bisa bantu." Sri mengelus pundak Markonah, suaranya yang lembut begitu menenangkan.

"Aku nggak papa, cuma lagi nggak mood aja," jawab Markonah sambil tersenyum.

"Baju kamu basah, kamu pake jaketku aja dulu biar nggak kedinginan." Sri melepaskan jaketnya.

Markonah yang merasa tidak enak langsung menolak, tetapi Sri memaksa. Dengan terpaksa dia mengeluarkan jaket pemberian orang misterius itu.

"Aku bawa kok, Sri," ujarnya sambil memakai jaket.

"Kenapa nggak dipake dari tadi?" tanya Juminten dengan nada menginterogasi.

"Lupa kalo aku bawa jaket," jawab Markonah dengan santai.

Seorang siswa laki-laki dengan baju seragam yang dikeluarkan masuk dengan begitu santai. Markonah meliriknya sekilas, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat saat lelaki itu mendekatinya.

"Mar, kata Bu Susan kita disuruh nulis halaman 28, soalnya Bu Eva nggak bisa masuk," ucap lelaki itu sambil meletakan buku paket di depan Markonah.

"Terus," ujar markonah.

"Ya lo tulis di papan tulis lah," jawab Sri, Juminten, Inem dan laki-laki yang bernama ujang itu bersamaan.

"Mohon mangap pemirsa, Princess yang paling manis sejagat Mars ini lagi mager," jawab Markonah dengan nada datar.

"Gaya lo Mar. Cepetan nih, tulis," ketus Ujang.

"Selow, belnya juga baru bunyi Jang," jawab Markonah sambil tersenyum.

Gadis itu kembali melamun. Dia masih bingung, kenapa ada orang yang mau memberikannya sebuah jaket tanpa memberi tahu identitasnya? Sebuah notifikasi masuk membuyarkan lamunannya, Lagi dan lagi orang tak dikenal itu mengirimkan pesan.

[Semangat, nggak usah mikirin aku terus. Katanya mahluk paling manis sejagat Mars, masa galau cuma gara-gara mikirin pangeran kodok yang tak berbentuk yang cuma berani mantau tuan putrinya dari jauh.]

Bulan sabit terbentuk jelas di bibir Markonah, dia memang tidak tahu siapa pengirimnya. Tetapi, dia sangat terharu dengan apa yang orang itu lakukan. Ujang yang melihat Markonah Senyum-senyum sendiri merasa kesal dan dengan sengaja membantingkan buku paket itu di depan Markonah.

"Nulis, noh. Jangan senyum-senyum sendiri kaya orang gila, lagian udah masuk juga masih aja main handphone," ketusnya sambil pergi ke tempat duduknya.

Markonah hanya mengelus dada, hampir saja jantungnya melompat keluar. Ujang menarik kursinya dengan kasar. Bukannya duduk, dia malah menatap Markonah dengan tatapan tak suka.

"Apa lo? Kayanya nggak suka banget lihat orang bahagia." Markonah kembali menatap Ujang dengan sinis.

"Kenapa sih harus ada spesies menyebalkan seperti Markonah," gumamnya, Ujang yang sedang malas berdebat pun memilih duduk. Tetapi tiba-tiba ...

Brak!

Lelaki itu terjatuh karena kursi miliknya ditarik oleh Udin teman sebangkunya. Semua mata tertuju pada Ujang yang terduduk di lantai, ruangan itu kini penuh dengan tawa. Wajah tampan yang sering ujang pamerkan kini memerah seperti udang rebus.

Markonah bangkit sambil membawa buku paket dan spidol yang diberikan Ujang. Dia berjalan mendekati Ujang, gadis itu menyentuh dagu lelaki itu dengan spidol yang sudah terbuka.

"Gimana Mas sensasinya jatuh di depan teman satu kelas?" tanya Markonah dengan senyum meledek.

"Diem lo!" Ujang menepis tangan Markonah sampai spidol yang dipegangnya terpental jauh.

"Uups, selow aja kali Mas Ujang," ucap Markonah dengan nada santai dan disambut gelak tawa teman-teman yang lainnya.

"Mas-mas, lo pikir gua tukang bakso apa?" ketus Ujang.

"Ya udah deh, dedek Ujang aja kalo gitu," ucap Markonah sambil tertawa.

Gadis itu mengambil spidol yang  terjatuh dan segera menulis di papan tulis sesuai perintah bu Susan. Ujang mendorong pundak Udin dengan kasar, dia benar-benar malu karena ulah sahabatnya sendiri. Dalam waktu 15 menit, Markonah telah selesai menulis.

"Udah selesai ya guys, gue tinggal ke WC dulu," ucap Markonah sambil meletakkan spidol di atas meja, gadis itu segera pergi ke WC untuk mencuci tangan.

Dari jauh seorang remaja lelaki memperhatikannya dari jendela, bibirnya membentuk bulan sabit saat melihat Markonah memakai jaket pemberiannya. Dia sangat kagum pada sikap dewasa dan pantang menyerah yang ada pada diri Markonah. Dia tidak pernah malu saat membantu ibunya berjualan keliling.

"Kamu memang pantas dipanggil tuan putri, selain cantik paras hatimu juga cantik Mar," gumamnya.

Ini Bukan NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang