bab 4

0 1 0
                                    

Cinta memang begitu indah, tetapi tidak bagi Markonah. Cinta baginya adalah luka yang terbungkus rapih dengan kata bahagia. Dia dilema antara mengejar cinta Ujang atau membiarkan sahabatnya bahagia bersama orang yang dia suka, antara menyakiti diri sendiri atau menyakiti sahabatnya. Mungkin bibir manis Sri tak mengucapkan cinta. Namun, matanya memberikan jawaban atas semua pertanyaan Markonah.

"Mar!" teriak Sri membuat Markonah tersadar dari lamunannya.

"Apa?"

Sri menunjuk seorang wanita dengan kaca mata bulat yang menjadi ciri khasnya, wanita itu berjalan mendekati mereka yang sedang berdiri di depan pintu kelas. Markonah membelalakan mata sambil menganga, bayangan bu Sasmita yang menjelaskan pelajaran dengan nada selow sudah menari di kepalanya.

"Nanti kita duduknya pindah ke belakang aja," ucap Sri lirih, Markonah hanya mengangguk.

"Kalian kok masih di sini?" tanya bu Sasmita yang sudah ada di hadapan mereka.

"Kita tuh di sini lagi nunggu Bu Sasmita, rasanya nggak sabar pengen belajar bahasa Indonesia sama ibu," ucap Markonah sambil tersenyum.

Sri menyenggol lengan Markonah, tetapi sahabatnya itu malah memberi isyarat untuk mendukung ucapannya.

"Kalo begitu, ayo masuk!" perintah bu Sasmita.

Sri dan Markonah hanya tersenyum sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Bu Sasmita tersenyum sinis sambil melenggang masuk ke dalam kelas disusul Sri dan Markonah. Mereka berdua berjalan menuju kursi paling belakang, belum juga mereka duduk Bu Sasmita sudah memanggil mereka.

"Markonah, katanya kamu tadi nungguin saya, kok duduknya malah mau pindah ke belakang." Suara bu Sasmita terdengar ketus ketika melihat Markonah pindah ke belakang.

"Anu Bu,"

"Anu apa? Kamu jangan banyak alasan untuk menghindari pelajaran saya, cepat kalian berdua pindah ke depan lagi!" tegas bu Sasmita.

Beberapa kali Markonah menguap, mendengarkan bu Sasmita yang menjelaskan tentang sebuah tradisi yang ada di Indonesia. Markonah seperti mendengarkan cerita sebelum tidur. Tidak ada yang salah dengan ceritanya, tetapi Sasmita yang berbicara dengan selow dan nada yang lembut membuat mereka jenuh dan mengantuk.

Bel pulang berbunyi, semua siswa segera merapihkan buku-bukunya. Senyum merekah di wajah mereka, mata Markonah yang sejak tadi menahan kantuk pun tiba-tiba segar.

"Sebelum pulang saya ingin memberi kalian semua hadiah terlebih dahulu," ujar Sasmita sambil tersenyum.

"Nggak usah deh Bu, nanti aja kasih hadiahnya pas aku ultah aja nanti tanggal 05 April," ucap Markonah sambil tersenyum.

"Nggak papa, saya kan orang baik yang selalu ingin berbagi ilmu serta kebahagiaan untuk kalian," ucap Sasmita dengan nada tegas sambil melirik Markonah, gadis itu hanya bisa tersenyum.

"Jadi, hadiahnya apaan, Bu?" tanya Sri dengan nada datar.

"Mudah, kalian cukup buat karangan dengan tema tradisi, kalian bisa jadikan masyarakat sekitar sebagai narasumber untuk memberikan informasi yang kalian butuhkan dalam tugas. Karena saya begitu baik, saya akan membagi kalian menjadi beberapa kelompok dan setiap kelompok berjumlah 2 orang. Karena, kalo satu kelompok anggotanya banyak nanti yang kerja satu orang dan yang lainnya malah ghibah."

"Bu, kita boleh pilih kelompok sendiri kan?" tanya Markonah.

Sasmita terlihat sedang berpikir, dia menatap semua muridnya kemudian melihat absen.

"Nggak, kelompoknya biar saya yang pilihkan." 

Sasmita mengambil spidol dan menuliskan nama-nama kelompok mereka. Entah kebetulan atau takdir, Markonah dan ujang satu kelompok. Gadis itu terlihat begitu senang, tetapi tidak dengan Ujang.

Setelah pembagian kelompok mereka dipersilakan untuk pulang. Markonah mengejar ujar yang keluar lebih dulu, dia memegang tangan teman sekelasnya itu dan dibalas dengan tatapan sinis oleh Ujang.

"Maaf." Markonah melepaskan genggaman tangannya. "Aku cuma mau tanya aja, kapan kita mau kerjain tugasnya?"

"Nanti aja, sekarang aku sibuk."

"Kapan?" tanya Markonah antusias.

"Nanti."

"Iyah, nantinya kapan? Kamu harus bisa kasih kepastian dong, kapan dan dimana?"

"Lagian juga dikumpulnya minggu depan kan? Selow aja masih banyak waktu."

"Jangan menggampangkan tugas, yang terlihat mudah bisa saja sulit," tegas Markonah.

"Iyah, bawel banget sih. Besok aku jemput kamu buat survei tempat yang bakal kita tulis," ucap Ujang datar.

"Okeh," jawab Markonah.

Lelaki itu pergi meninggalkan Markonah, gadis itu tersenyum. Sri yang sejak tadi mengawasinya dari belakang pun menghampiri sahabatnya.

"Kamu sehat kan? Atau jangan-jangan kamu beneran kesambet dedemit pohon mangga dibelakang sekolah?" tanya Sri yang melihat Markonah senyum-senyum sendiri.

"Kamu pikir aku sakit? Dan satu lagi, nggak ada yang namanya dedemit siang-siang begini." Markonah menatap Sri serius.

"Aku lihat kayanya kamu bahagia banget hari ini." Pertanyaan Sri membuat pipi Markonah memerah.

"Emang biasanya aku keliatan nggak bahagia gitu? Padahal mah setiap hari juga aku mah bahagia terus."

Markonah tipikal orang yang tertutup, dia tidak suka menceritakan kehidupan pribadinya kepada orang lain termasuk Sri sahabatnya. Dia tidak pernah bercerita tentang seseorang yang dia suka, karena itu adalah privasinya. Meski terkadang Sri kepo dengan kisah percintaan sahabatnya.

"Aku lihat tadi kamu ngobrol sama Ujang, tumben banget Mar."

"Iyah, tadi bahas tentang tugas yang dikasih bu Sasmita tadi itu loh."

Mereka berjalan keluar sekolah dengan terus mengobrol.

" Bye the way, sejak kapan kamu punya jaket ini?" tanya Sri sambil memegang jaket yang dikenakan Markonah.

"Kalau aku bilang hari ini, kamu nggak bakal percaya juga. Jadi, percuma juga aku bilang"

"Emang enggak bakal percaya, kecuali kamu jelasin dengan detail gimana caranya kamu bisa dapet ini jaket hari ini."

"Tapi sayang, aku lagi males banget jadi ceritanya kapan-kapan aja deh," ucap Markonah sambil tersenyum.

"Kebiasaan, kalo ada apa-apa jarang banget mau cerita." Sri memanyunkan bibirnya.

"Nggak usah cemberut nanti cantiknya hilang." Markonah mencubit kedua pipi Sri membuat gadis itu tertawa sambil memegang pipinya.

Sri merekomendasikan Markonah untuk menulis sebuah tradisi di kampung sebrang tentang kawin gantung.

"Kawin gantung? Pengantinnya digantung gitu?" tanya Markonah dengan bingung.

"Bukan begitu konsepnya Mar."

"Terus maksudnya kawin gantung itu gimana?"

"Katanya sih, pengantinnya itu anak-anak mulai dari usia 4-10 tahun gitu."

"Maksud kamu pengantinnya bocil, nggak bisa dibiarin itu namanya merenggut masa anak-anak. Masa  masih kecil udah harus membina rumah tangga, cocoknya juga mereka maen ular tangga."

"Tapi ini cuma tradisi dan mereka enggak beneran nikah kaya orang dewasa," ucap Sri.

"Terus kenapa sih harus bocil yang jadi pengantinnya? Kaya nggak ada orang dewasa aja buat ikut itu tradisi," protes Markonah.

"Dari pada kamu banyak tanya, mending besok kamu langsung pergi dan tanya warga yang ada di sana aja. Soalnya aku juga kurang tahu," jawab Sri dengan jengkel.

Sri dan Markonah pulang bersama, sepanjang perjalanan dua sahabat itu terus saja bercerita. Sesekali mereka saling mendorong lalu tertawa. Dari jauh ada seseorang yang memperhatikan mereka.

"Bahagia banget kamu tuan putriku," gumamnya sambil tersenyum.

Ini Bukan NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang