Bab 1

31.8K 80 0
                                    


Aku masih ingat benar, setahun setelah
Ibuku meninggal, Papa menikah lagi dengan
seorang janda muda beranak dua. Jadi
keadaannya seimbang, karena saat itu Papa pun
punya anak dua, aku dan adiku, Fardan. Gilanya
lagi, Papa membawa dua anak cowok, sementara
Ibu tiriku membawa dua anak cewek.
Waktu Papa menikah itu, usianya baru 43
tahun. Sementara ibu tiriku berusia 32 tahun.
Tapi anehnya, saudara-saudara tiriku itu usianya
lebih tua dariku. Pada saat Papa menikah lagi,
usiaku baru 10 tahun, sedangkan Fardan baru
berusia g tahun. Tapi saudara-saudara tiriku
lebih tua, dua dan tiga tahun dariku. Mbak Ayu
berusia 12 tahun dan Mbak Ita berusia 11 tahun.
Karena itu aku dan Fardan memanggil mereka
Mbak.
Belakangan aku tahu bahwa Papa menikah
dengan almarhumah ibuku waktu usianya sudah
32 tahun. Kemudian aku lahir pada saat usia
Papa sudah 33 tahun. Setahun kemudian Fardan
pun lahir.
Sedangkan ibu tiriku yang biasa kusebut
Mama itu menikah waktu usianya baru 19 tahun.
Lalu waktu Mama berusia 20 tahun lahirlah
Mbak Ayu. Setahun kemudian lahir pula Mbak
Ita.
Suasana di rumah kami jadi hangat setelah
aku punya ibu tiri yang ternyata sangat baik.
Beliau memperlakukan aku dan Fardan seperti
anak kandungnya sendiri. Begitu pun Papa,
memperlakukan Mbak Ayu dan Mbak Ita seperti
anak kandungnya sendiri.
Sehingga orang yang belum tahu seluk beluk
keluarga kami, pastilah menganggap aku dan
Fardan itu anak kandung Mama. Mereka juga
pasti mengira Mbak Ayu dan Mbak Ita itu anak
kandung Papa.
Mungkin di antara Papa dengan Mama
dahulu sudah sepakat, bahwa mereka akan
saling menitipkan anak-anak yang akan
diperlakukan secara adil dan penuh kasih sayang.
Mungkin di antara Papa dengan Mama
dahulu sudah sepakat, bahwa mereka akan
saling menitipkan anak-anak yang akan
diperlakukan secara adil dan penuh kasih sayang.
Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun
berganti ahun berjalan terus dengan cepatnya.
Kami semua hidup dalam suasana damai. Tak
pernah ada keributan yang berarti, karena aku,
Fardan dan kedua kakak tiri ku suka saling
mengalah.
Tanpa terasa waktu berlalu, kami berempat
sudah jadi mahasiswa-mahasiswi. Mbak Ayu
sudah semester akhir, tinggal menunggu skripsi.
Mbak Ita sudah semester lima, Fardan baru
semester pertama, sementara aku sudah
semester tiga.
Rumah kami pun sudah diperbesar.
Kamarnya jadi ada 4. Anak-anak Papa dan Mama
mendapat kamar masing-masing.
Sementara itu, Papa membangun pavilyun
yang terpisah dari rumah utama. Di pavilyun
itulah tempat Papa dan Mama.
Mungkin Papa dan Mama sengaja ingin
menempati pavilyun itu agar tidak terasa berisik
oleh suara kami berempat, yang terkadang
memang mengeluarkan suara keras. Selain
daripada itu, mungkin juga Papa ingin melatih
kemandirian kami berempat dengan
memberikan kebebasan menempati rumah
Di rumah utama, kamar paling depan dipakai oleh Fardan, agar rumah kami ada perisai
di setiap bagian krusial. Jadi Fardan ditempatkan
di kamar paling depan, hitung-hitung ada
penjaga keamanan di rumah kami. Di samping
kamar Fardan adalah kamar Mbak Ita.
Aku dan Mbak Ayu ditempatkan di lantai
dua. Kamarku yang paling depan, sementara
kamar Mbak Ayu di bagian dalam, terhalang oleh
ruang belajar. Di ruang belajar itu aku dan Mbak
Ayu sering belajar bareng. Tapi tentu saja kami
menekuni jenis ilmu yang berbeda, karena kami
berlainan fakultas.
Yang menyenangkan belajar dengan Mbak
Ayu itu, adalah seringnya dia membuatkan
minuman dan makanan ringan untukku.
Minumannya terkadang teh manis atau kopi
susu, terkadang black coffee saja. Makanan
ringannya, terkadang bawan, pisang goreng atau
french fries.
Setelah selesai belajar, kami suka ngobrol ke
barat ke timur. Bahkan sering juga Mbak Ayu
nonton bokep koleksiku yang selalu tersimpan di
flashdisk, lalu diputar di laptopnya. Namun aku
hanya berani menyimpan 1-2 film bokep di
flasdisk itu, lalu didelete kalau sudah bosan
menontonnya.
Tapi yang satu itu tentunya secara rahasia.
Bahkan sering Mbak Ayu meminjam flashdisk
berisi bokep itu, untuk ditonton di dalam
kamarnya. Dengan suara yang didengarnya lewat
earphone.
Bukan cuma menontonnya, Mbak Ayu juga
sering mengajak aku berdiskusi tentang segala
yang pernah ditontonnya itu.
Bahkan pada suatu malam, setelah
menonton bokep di ruang belajar, Mbak Ayu
berkata,
"Kata teman yang udah pengalaman sih
dioral sama cowok itu nikmat sekali.
Aku tersenyum dan menyahut,"Iya Mbak.
Terutama kalau yang oralnya fokus ke cltoris.
Kan cltoris itu paling peka di tubuh cewek.“
"Wow... kamu udah banyak tahu ya.
Emangnya udah punya pengalaman sama cewek
?" tanya Mbak Ayu sambil menepuk bahu ku.
"Pengalaman sih belum ada Mbak. Cuma
sering dengar ceritanya saja dari teman yang
udah punya pengalaman. Juga sering baca buku
pengetahuannya. Mbak sendiri udah punya
pengalaman?"
"Hiiih Pengalaman dari mana? Pacaran aja
baru satu kali waktu masih di SMA dahulu.
Sampai sekqarang belum pacaran lagi."
"Terus... sama pacarnya diapain aja?"
"Ciuman bibir aja belum pernah. Paling
Cuma cipika-cipiki."
Aku mengangguk-angguk dan percaya pada
pengakuan kakak tiri ku itu.
Tapi Mbak Ayu seperti sedang berpikir.
Entah apa yang dipikirkannya.
Sesaat kemudian dia malah bangkit dari sofa
ruang belajar.
"Mau tidur duluan ah... udah malam sekali
tuh," katanya sambil menunjuk ke jam dinding
digital yang sudah menunjukkan pukul 23.05
WIB.
"Iya Mbak. Sleep tight and have a nice
dream," sahut ku sambil berdiri juga.
"You to0... " sahut Mbak Ayu sambil
melangkah keluar ruang belajar dan masuk ke
dalam kamarnya.
Aku pun melangkah ke arah kamar ku. Dan
melupakan percakapan dengan Mbak Ayu tadi.
Keesokan malamnya Mbak Ayu tidak
muncul di ruang belajar. Sejak jam 7 malam dia
sudah masuk ke dalam kamarnya. Lalu tidak
keluar lagi.
Begitu pula pada malam-malam berikutnya.
Mbak Ayu tidak muncul lagi di ruang belajar.
Sementara aku tetap menyibukkan diri untuk
menghafal di ruang belajar. Karena fakultas ku
adalah fakultas yang banyak hafalannya.
Sebenarnya di lantai bawah pun ada ruang
belajar yang biasa dipakai oleh Fardan dan Mbak
Ita. Tapi aku tak pernah nyelonong ke ruang
belajar mereka. Begitu juga Fardan dan Mbak Ita,
tak pernah nyelonong ke ruang belajar di lantai
Beberapa malam kemudian, Mbak Ayu
muncul lagi di ruang belajar. Aku yang sedang
duduk di belakang meja tulis ku menyambutnya
dengan sikap ceria.
"Mbak lama juga gak muncul di ruang
belajar kita ini."
"Biasa... ada langganan datang," sahutnya
sambil tersenyum.
"Langganan? Langganan apa?"
"Langganan perempuan. Datang bulan."
"Owh... kirain apa. Suka berapa hari datang
bulannya Mbak?"
"Sepuluh harian. Aku kalau datang bulan
suka sakit kepala. Makanya gak mau mikir yang
berat-berat."
"Tapi sekarang sudah bersih?"
"Sejak dua hari yang lalu juga sudah bersih.
Sekarang sih mau begadang sampai pagi juga gak apa-apa."
"Owh, iya... sekarang kan malam Minggu, ya
"Iya. Malam Minggu yang sep... karena
Papa, Mama, Ita dan Fardan pada ke Semarang."

Gairah Nakal Anak TiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang