DP 02

160 14 2
                                    

Pagi hari tanpa kehadiran Delisha adalah momen terkacau dalam hidup Devdas dan anak-anaknya. Seolah Devdas ingin meledakkan kepalanya akibat pengang mendengar keributan anak-anak yang kelabakan hendak pergi sekolah. Sampai akhirnya ia bersuara keras pada anak-anak. "Tidak ada seorang pun yang pergi sekolah, oke? Kita sedang berkabung dan sudah sewajarnya kita di rumah saja ... atau melakukan sesuatu untuk healing."

Aaryan, Chander, dan Rani terdiam saling pandang. Mereka paham dan setuju dengan keinginan ayah mereka, hanya saja, berada di rumah hanya menambah rasa sedih dan kesepian mereka. Rani lalu berusaha bersikap bijak. "Tidak, Pa. Kami akan berusaha menjalani hari-hari seperti biasa. Lagi pula, Mama pasti tidak ingin kami mengabaikan sekolah. Papa tahu, mungkin saja tiba-tiba Mama kembali dan menyambut kami saat pulang sekolah seperti biasa."

Oh! Devdas ingin sekali menangis lagi dan mengatakan, Ibu kalian tidak akan pernah kembali lagi. Namun, sebenarnya dengan cara seperti itu, anak-anak mengatasi kehilangan Delisha jauh lebih baik dari dirinya. Devdas menggerutu, "Tapi kalian tidak sarapan dan pakaian kalian belum siap."

"Kami akan makan roti saja dulu pagi ini. Makan siang kami bisa di kantin sekolah. Soal pakaian, kami akan berusaha menyiapkan keperluan kami sendiri mulai hari ini."

Devdas tatap putri pertamanya itu dan mulai menyadari Rani beranjak dewasa. Situasi yang ada mendewasakan mereka semua. Aaryan dan Chander juga menjadi lebih patuh pada kakak mereka.

"Kakak benar. Kami akan ke kamar dan menata baju sekolah kami dulu."

"Ya, lakukanlah itu, Aaryan, Chander. Aku akan membuat roti bakar lapis selai dan susu," ujar Rani. Kedua adiknya bergegas ke kamar mereka, sementara Rani ke dapur.

Devdas mematung di tengah-tengah selasar rumah. Rani menanyainya sambil berjalan ke pantri. "Papa mau kubuatkan kopi? Aku akan mencoba membuatnya seperti buatan Mama."

Devdas terkesiap. "Oh? Eh, boleh juga, jaan." Ia lalu mendatangi Rani untuk membantunya membuat roti bakar. Meskipun sangat berat berada di dapur dan ruang makan, karena di tempat itu ia paling banyak berinteraksi dengan Delisha, selain di kamar tidur. Namun, dilihatnya Rani juga menata roti dengan mata berkaca-kaca, anak itu berusaha sebisa mungkin untuk tabah. Devdas jadi sungkan sendiri. Kenapa ia, pria dewasa, paling sakti, juga paling tua, abadi, malah paling tidak bisa menerima kenyataan?

Ia tahu Delisha ada di belahan dunia yang lain. Ia tahu tempatnya, ia bisa pergi ke sana dalam hitungan detik, akan tetapi itu menjadi tidak ada gunanya karena mereka tidak boleh berjumpa. Ingin bicara saja pun, Devdas jadi sungkan karena Delisha tidak mengenalnya. Bayangkan jika ia menelepon Richard Lee hanya untuk mendengar suara anak gadisnya, gadis itu akan ketakutan dan berpikir ia seorang yang sakit jiwa. Oh iya. Ia memang sakit jiwa dan Delisha adalah obatnya.

Devdas jadi berpikir mungkin apa yang Veer katakan benar. Delisha memang ingin putus hubungan dengannya. Devdas jadi pungguk merindukan bulan lagi. Menyedihkan, jatuh cinta dan merindukan sosok yang bahkan tidak tahu ia ada.

"Papa, ini kopinya. Cobalah," ujar Rani berbinar-binar menyodorkan secangkir kopi hitam pada Devdas.

Devdas menerima kopi itu dan menyeruputnya. Sama sekali tidak enak, tetapi ia tersenyum tulus pada Rani.

"Bagaimana, Pa? Enak?" tanya gadis itu.

"Lumayan," jawab Devdas.

Rani jadi semringah. Ia berseru riang memanggil adik-adiknya. "Aaryan, Chander, ini roti dan susu kalian sudah siap!"

"Iya, Kak!" sahut kedua bocah itu dan gemerusuk mereka berlarian ke ruang makan.

Devdas memandangi ketiga anak itu makan berbarengan di meja makan. Dalam hati merenung, Delisha, tega sekali kau membiarkan anak-anak ini tumbuh tanpa sosok ibu.

Play In Darkness 4: Dark Paradise (Ongoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang