KEPUTUSAN TORANG

9 1 0
                                    

Torang menoleh. "Ada apa, Len?" tanyanya, setelah beberapa saat Helena hanya berdiri di depan mejanya tanpa suara. Dua orang eksekutif yang bersamanya tadi sudah kembali ke ruangan masing-masing.

Wanita berparas ayu itu menarik kursi dan duduk. "Ada yang ingin kusampaikan," katanya tenang.

"Aku mendengarkan. Katakan saja." Torang menutup dokumen di hadapannya dan memberikan Helena perhatian penuh.

"Ini mengenai Vivien. Aku tahu, sebagai CEO, kau berhak merekrutnya. Namun, kalau boleh aku menyarankan, sebaiknya jangan angkat dia sebagai sekretarismu. Dia berbahaya, Tor," ujar Helena berapi-api.

Torang menyipitkan mata. "Dari mana kau tahu?"

Helena mengangkat bahu. "Aku cuma menduga," katanya, "ingat, dua tahun lalu sewaktu kau diangkat menjadi CEO. Dia juga merengek menjadi sekretarismu. Hanya karena kau bersikeras mempertahankanku, makanya ia mundur."

Torang bergeming. Ekspresinya beku tak terbaca.

"Wanita itu mengincarmu, Tor! Sama seperti dia menginginkan Ben sebelumnya," tutur Helena lagi, "dia haus harta dan kedudukan."

Torang menarik ujung bibirnya, tersenyum sinis. "Kalau kau sudah selesai bergosip, aku berniat menyelesaikan pekerjaan," ucapnya dingin.

Helena menegakkan punggung. "Maaf, jika kau tersinggung, Tor. Aku cuma mengingatkanmu."

"Hmm, maksudmu mengamankan teman kecilmu itu," tukas Torang, "dia yang mengadu padamu?"

Helena menggeleng. "Aku melihat Vivien keluar dari sini," balas wanita itu sedikit kesal, "tidak ada urusannya dengan Mariana. Keselamatanmu yang kuragukan."

Torang membelalak dan tertawa garing. "Wah, terima kasih, Len. Aku pria dewasa dan bisa menjaga diri."

"Namun, tidak dari wanita culas," sahut Helena cepat, "kami sesama wanita bisa menilai karakter kaum kami."

Torang menghembus nafas kuat. "Terima kasih untuk peringatannya."

"Percayalah, Tor. Aku mengatakan ini karena menyayangimu sebagai teman dan atasan."

Torang menatapnya dalam. "Terima kasih, Len. Aku menghargainya," kata Torang, memijat dahinya, "Aku harus membicarakan masalah ini lebih dulu dengan Pak Gaben, wanita itu mantan menantunya."

Helena mengangguk. "Baiklah, Tor. Terima kasih," ujarnya seraya berdiri.

"Len, tolong kirimkan surat ini segera. Minta mereka menjadwalkan pertemuan ulang." Torang memberikan dokumen yang baru selesai ditandatanganinya.

Setelah Helena kembali ke ruangannya, Torang mengambil telepon genggamnya dan menghubungi Gaben. Ia sedikit geli dengan sikap Helena yang melindunginya. Sudah tentu Torang waspada terhadap Vivien, wanita itu gencar mengejarnya semenjak ia ditunjuk menjadi pimpinan perusahaan. Ia sudah membuat tanda bintang kecil di sudut kanan memo. Direktur HRD akan paham dan menempatkan wanita itu di bagian pemasaran.

"Halo, Tor. Ada apa?" Terdengar suara Gaben dari teleponnya. Pria itu tidak suka berbasa basi.

"Selamat siang, Pak Gaben," balas Torang lambat.

"Hmm, aku hendak makan siang dengan istriku," jawab Gaben.

"Apakah, Pak Gaben, tahu Vivien melamar pekerjaan sekretaris di sini?"

Terdengar helaan nafas berat. "Yah, Hari Sabtu lalu dia mengamuk sewaktu kami menjemput Andrew, cucu kami. Aku tidak tahu dari mana dia mendengar tentang Mariana. Yang jelas, dia memaksaku untuk memasukkannya menjadi sekretarismu."

Torang mendengarkan tanpa suara. Ia tahu sekelumit kisah perebutan hak asuh Andrew yang berlarut-larut setelah Benjamin meninggal. Gaben yang dari awal tidak setuju pernikahan putranya dengan Vivien, berupaya mendapatkan hak asuh cucunya. Namun, Vivien menolak. Menurut Helena, karena wanita itu ingin mendapatkan uang perwalian dan harta warisan yang akan diterima Andrew dari kakeknya kelak.

"Kukatakan kepadanya," terdengar lagi suara Gaben di telepon, "kalau memang mau, silakan minta saja sendiri. Itu keputusan manajemen, aku tidak berhak mengintervensi."

Torang mencibir. "Jadi, Pak Gaben, menggulirkan saja bolanya ke kami. Begitu?" sahutnya tak senang.

"Bukan begitu, Tor, dia mengancam akan melarang kami menemui Andrew," terdengar jawaban Gaben putus asa.

Torang mengangguk simpati. "Pak Gaben, kan, bisa mencoba jalur hukum," sarannya.

"Kami sudah mencoba. Tapi hukum memihak ibu kandung karena usia Andrew masih balita. Kecuali bila ada bukti bahwa ibunya menelantarkan atau tersandung hukum, mungkin bisa dipertimbangkan."

"Saya sudah mengarahkan dia ke bagian pemasaran. Dia bisa membantu membuat PowerPoint dan lain-lain."

"Terserah padamu, Tor. Aku cuma ingin tenang," sahut Gaben.

"Saya tidak akan bersikap lembek. Bila dia tidak bekerja profesional, saya tidak segan untuk memecatnya, Pak," ujar Torang mengingatkan.

Gaben tertawa kecil. "Malah kalau kau pecat sekarang juga, aku nggak peduli," ucapnya di sela tawa.

"Saya hanya ingin mengingatkan aturan mainnya."

"Oke, terima kasih, Tor," kata Gaben lalu memutuskan sambungan telepon. Torang meletakkan telepon dan meneruskan pekerjaannya.

Terdengar ketukan pelan di pintu. Ia mengangkat kepalanya. "Masuk," panggilnya.

"Maaf, Pak, Ibu Vivien ingin bertemu. Saya sudah berusaha menahannya, tapi dia bersikeras," tutur Mariana sedikit gugup.

Vivien yang berdiri di belakangnya, menepis tangan gadis itu dan menerobos masuk.

"Tinggalkan kami, Mary. Tolong tutup pintunya kembali," ucap Torang datar.

Gadis itu bergegas keluar, jalannya masih sedikit goyah dengan sepatu tingginya.

Torang menatap Vivien dingin. "Ada apa, Vi?"

Wanita cantik itu cemberut. "Aku nggak mau di bagian marketing!" rajuknya.

"Cuma itu posisi yang kosong saat ini," ujar Torang mengangkat bahu.

"Kau bisa saja mengganti posisiku dengan si Mary. Aku sudah berpengalaman! Ya ampun, Tor, aku ini lulusan akademi sekretaris ternama Jakarta!" sergah Vivien nyaris berteriak.

Torang menatapnya dingin. "Kalau kau sudah selesai, aku ada rapat yang harus kuhadiri," ucap Torang tidak peduli. Ia melirik jam tangannya lalu menekan interkom di sudut meja. "Mary, minta Pak Darso standby di depan. Sekarang!" perintahnya.

"Tor, aku ini mantan istri CEO! Tidak ada sopan santunmu!" hardik wanita di hadapannya berang.

Torang mengernyit. Ia menatap tajam, sorotnya menjadi kejam penuh amarah. "Aku CEO sekarang!" desisnya dingin, "Tidak ada tawar menawar! Take it or leave it! Kau paham peraturan kantor ini!" Pria itu bangkit berdiri. Rahangnya yang kokoh berkedut, bibirnya mengatup rapat.

Vivien membelalak, tampak tergoncang melihat amarah Torang. Ia lalu mengangguk lemah dan bergegas keluar dari ruangan. Namun, ia masih belum puas. Saat melewati meja Mariana, ia mendengkus dan menatap gadis itu penuh hinaan. Seolah tanpa sengaja, ia berjalan dan menyenggol tumpukan berkas yang sudah tersusun rapi di sudut meja. Kertas-kertas itu melayang bertebaran ke lantai.

"Oh, maaf," serunya pura-pura menyesal.

"Tidak apa-apa," jawab Mariana memaksakan sebuah senyuman. Ia berjongkok mengumpulkan dokumen yang berserakan. Viviane melenggang pergi sambil tersenyum culas.



Bersambung

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KEPAK SAYAP REPASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang