Gaben Paboa memandang ke sekelilingnya. Ruangan kantor CEO itu masih sama dengan terakhir kali ia ke sini, dua tahun yang lalu. Saat itu almarhum putra tunggalnya masih memimpin perusahaan Bintang Kejora ini. Setelah kematian putranya, Benjamin Paboa, akibat kecelakaan lalu lintas, RUPS menunjuk Torang Blanks sebagai CEO pengganti. Dibawah kepemimpinan Torang, perusahaannya yang bergerak dibidang jasa perencanaan dan konstruksi ini semakin maju. Bahkan sekarang mulai melebar ke bidang properti. Pria itu sangat lihai memimpin.
Gaben menatap pria yang duduk di belakang meja direktur yang besar.
"Tempat ini tidak banyak berubah," seringainya sambil duduk di kursi kulit berlengan di depan meja.
Torang tersenyum. "Seperti yang Pak Gaben lihat sendiri, saya nggak punya banyak waktu untuk mendekorasi ulang kantor ini."
"Hm ....," Gaben menggumam. Ia mengalihkan pandangan ke pigura di belakang kursi Torang. Tadinya di situ digantungkan foto Benjamin yang sedang tersenyum penuh percaya diri. Sekarang foto itu sudah diganti dengan lukisan landscape yang indah. Hanya itu perubahan mencolok yang tampak baginya.
"Aku paham. Kau sudah menghabiskan waktumu untuk mendorong perusahaan ini menjadi lebih maju." Gaben mengangguk. "Aku tidak akan berlama-lama, Tor."
"Baiklah, apa yang bisa saya bantu?" tanya Torang tanpa basa basi. Ia meletakkan kedua tangannya di atas meja.
Gaben berdeham. Setelah berdiam sejenak, ia lalu menjelaskan maksud kunjungannya pagi itu.
"Aku mau meminta bantuanmu, Tor, mempekerjakan keponakanku. Sebenarnya bukan keponakan kandung, tapi masih kerabat jauhku. Dia gadis yang baik, rajin dan pekerja keras," ujar Gaben menjelaskan, "Aku cuma nggak terlalu yakin dia akan diterima oleh perusahaan bila memasukkan lamaran lewat HRD."
Torang hanya menatap dan mendengarkannya dengan seksama. Ia mengetuk meja dengan ujung jari. Pekerjaannya masih banyak. Kesabarannya sedikit diuji bila berhadapan dengan Gaben Paboa, pemilik perusahaan Cipta Kejora, tempatnya bekerja.
"Maksud Pak Gaben, saya harus menerima gadis ini tanpa perlu diseleksi oleh HRD?" Torang memutar bola matanya. "Itu namanya nepotisme, Pak! Saya tidak ingin membuka celah untuk yang begitu."
Pria tua yang duduk di depannya tersenyum sabar. "Bukan nepotisme, Tor, cuma membantu. Gadis ini cerdas, aku yakin dia mampu mengikuti ritme kerja di sini. Dia layak diberi kesempatan." Gaben berhenti dan menatap Torang sesaat. "Cuma kebetulan saja dia masih kerabat jauh. Aku juga tidak akan menyarankan bila gadis itu tidak memiliki potensi, Tor!" tandasnya.
"Begini, Pak Gaben .... Perusahaan ini memiliki aturan untuk merekrut karyawan. Bila ingin maju, tolong patuhi peraturan yang ada."
"Torang, kamu, kan, CEO perusahaan ini. Kamu bisa merekomendasikan ke Widya kepala HRD untuk merekrutnya menggantikan Helena," potong Gaben tidak ingin dibantah.
"Menjadi sekretarisku?" Torang nyaris berteriak frustrasi. 'Apa-apaan, Pak Gaben, mengurusi pegawai kantor! Biasanya pak tua ini cukup puas berada di belakang layar dan menyerahkan semua kendali kepadaku.' Torang mendesah.
Helena, sekretarisnya saat ini memang ingin mengundurkan diri karena hamil. Wanita itu ingin fokus menjadi ibu rumah tangga.
Gaben mengangguk. "Makanya kuminta kamu yang ngomong ke Widya, Tor," jelasnya ramah, "Aku bisa saja membuatkan memo, tapi, kan, nggak sopan rasanya melangkahimu, Tor."
Pria yang lebih muda itu menarik nafas dalam. Jarinya kembali mengetuk-ngetuk ujung meja.
"Gadis ini, siapa namanya?" Torang mengambil kertas memo dari dalam laci.
Gaben tersenyum puas. "Mariana Chesar."
"Mengapa dia tidak datang sendiri ke sini?" tanya Torang menatap Gaben.
"Dia tidak tahu aku ke sini. Ini inisiatifku sendiri. Sebenarnya dia nggak mau diberikan pekerjaan begini, katanya dia mau mencari pekerjaan sendiri."
Torang mengangkat alisnya.
"Dia sangat rajin, Tor. Percayalah, Kau tidak akan menyesal mempekerjakannya," tukas Gaben.
"Hmm, kita lihat saja nanti. Pendidikannya apa?" Torang mulai menulis memo pendek.
Gaben mengangkat bahu. "Sepertinya sempat kuliah atau apa begitu. Enggak tamat."
Torang mengernyit. "Katanya masih kerabat, Pak Gaben? Kok nggak tau?"
Gaben mengibaskan tangan tidak peduli. "Aku dan ayahnya masih sepupu jauh. Kakek buyut kami kakak beradik. Aku tidak tahu banyak mengenai gadis ini, selain kedua orangtua meninggal karena kecelakaan bis."
"Sekarang di mana dia?"
"Sementara ini masih tinggal di rumah kerabat yang lain di Cilincing. Katanya dia ingin kos bila sudah mendapat pekerjaan. Gadis itu agak keras kepala."
"Memangnya, rumahnya di mana?"
Gaben menghela nafas pelan. "Dia sudah nggak punya rumah. Kampungnya di dusun. Keluarganya sebelumnya tinggal di rumah yang disediakan oleh perkebunan karet tempat ayah dan ibunya bekerja. Setelah orang tuanya tiada, ia harus mengosongkan rumah itu. Gadis itu sempat tinggal dengan tantenya yang masih kerabat jauh saya juga. Tantenya itu meneleponku, karena kasihan bila gadis itu harus berakhir menjadi tukang deres karet."
Torang hanya mengangguk. "Baiklah, Pak Gaben. Saya akan memberitahu Widya. Suruh besok pagi gadis ini menghadap Widya, bawa CV, ijazah atau apa pun yang dia punya."
Gaben tersenyum menang. "Aku tahu kau punya hati yang lembut, Tor."
Torang berdiri menjabat tangan Gaben. "Jangan terlalu banyak berharap. Saya berjanji akan segera memecatnya bila dia tidak punya kemampuan. Tidak peduli meskipun dia masih kerabat, Pak Gaben." Matanya berkilat mengancam.
Pria tua itu hanya tertawa kecil. "Aku tidak masalah, Tor. Aku cuma ingin memberikan kesempatan," katanya, "Namun, aku ragu kau akan memecatnya, Tor. Mariana memang gadis kampung, tapi dia seorang pekerja. Dia akan berhasil," ujarnya sambil berdiri dan beranjak keluar ruangan.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
KEPAK SAYAP REPAS
Literatura FemininaMariana Chesar seorang yatim piatu yang dibawa pamannya ke Jakarta untuk bekerja di PT Cipta Kejora miliknya. Namun, Torang Blanks, sang CEO meragukan kemampuan gadis kampung itu. Mariana semakin terasing saat Vivien, mantan menantu pamannya, kembal...