Aku tidak pernah merasa aku punya teman. Aku bisa berbicara dengan banyak orang, aku bisa bercerita dengan banyak orang, tapi tidak seorangpun benar benar mengerti aku. Aku selalu menjadi orang aneh diantara mereka. Aku selalu menjadi seseorang yang mereka tinggalkan ketika mereka pergi. Aku selalu menjadi orang yang mereka pandang dengan aneh.
Aku masih ingat, aku pernah berada di posisi yang sama. Aku sendirian, dan melakukan apapun untuk mendapatkan teman. Aku menghabiskan uangku untuk mereka, dan aku membiarkan mereka mendapatkan apa yang mereka mau. Tapi hasilnya, aku tidak memiliki teman. Mereka hanya mengambil keuntungan, dan tidak ada dari mereka yang benar benar menjadi temanku. Bedanya dengan sekarang, aku tidak mencoba. Aku tidak memiliki teman dan itulah yang terjadi. Aku membiarkan mereka menjauhiku, meninggalkanku, dan berbicara denganku hanya saat perlu. Aku menghabiskan waktuku di depan laptop, membaca dan menghindari pembicaraan sebisa mungkin. Mungkin memang aku yang tidak bisa menjadi normal.
Ketika mereka membaca komik, dan berbicara tentang penyanyi ternama, aku tidak. Aku membaca novel berat, dan aku berbicara tentang penyanyi yang bahkan sudah tidak membuat lagu lagi. Ketika mereka memikirkan tentang gossip, aku berfikir dari mana asal bumi ini. Ketika mereka belajar dengan giat, aku tidak bisa berbuat apa-apa karena depresi.
"Jackson! Apakah kau sudah selesai mengerjakan tugas?" Watson berteriak dari depan kelas, sementara aku hanya mengalihkan pandanganku ke kertas didepanku. "Ini bukan waktunya berfikir kemana-mana, sekarang lakukan saja tugasmu!"
Beberapa orang mengabaikan kata-kata Watson, sementara sisanya hanya mengalihkan pandangannya kepadaku atau tertawa kecil. Beberapa memberiku pandangan tidak suka. Aku tidak bisa melakukan apa-apa setiap kali ada situasi semacam ini. Toh, ini salahku juga.
break
"Apakah kau sudah selesai dengan urusan sialanmu itu, atau aku harus menunggu lebih lama lagi? Aku ada janji dengan Ms.Eaton dalam dua jam, dan jika kau masih berlama-lama di sana, aku tidak akan sempat membetulkan rambutku" Mama berkata dengan tidak sabar.
Aku menatap dua buku di tanganku, dan mempertimbangkan, yang mana yang akan aku beli. Tertampang di judulnya, 'The Art of War' dan 'Hyperspace'. Aku bisa menyibukan diri dengan dua hal ini, tapi aku rasa jika aku ingin benar benar sibuk, aku harus memilih Hyperspace.
"Aku akan membayar buku ini, tidak akan lama" Aku berkata, kemudian berjalan menuju kasir. Menunggu giliran, sementara fokusku berpusat pada dua orang di pojok.
Wanita ini memiliki rambut panjang, yang diikat menjadi ponytail. Pakaiannya terkesan mewah, dan makeup-nya tertata rapih. Sekitar awal dua puluhan mungkin. Kemudian pria di sebelahnya, yang sekarang memeluk pinggangnya, sedikit lebih tua. Dia mengenakan kemeja biru muda, dan celana hitam. Rambutnya dibiarkan sedikit berantakan. Aku berharap aku memiliki waktu untuk menjadi salah satu dari mereka.
break
Aku melewati dua minggu dengan kejadian yang tidak jauh berbeda. Bangun pagi dengan paksaan, lalu melewati hari dengan harapan waktu cepat berlalu. Tidak ada yang menarik, dan perlahan semua ini membosankan, atau memang sudah membosankan aku tidak bisa menentukan.
"Hey?" Aku menoleh dan mendapati Warren berusaha berbicara kepadaku.
"Hi" Aku bergumam tanpa memberikannya sedikit perhatian.
"Aku melihat kau membaca Hyperspace beberapa hari yang lalu, aku juga sudah membacanya. Tapi aku jauh lebih suka A Brief History of Time" Warren mencoba lagi.
"Oh.." Aku bergumam, dan masih mengabaikan dia.
"God's Sake, bicaralah padaku?" Warren mengerang frustasi. Ya, ini bukan pertama kalinya di mencoba berbicara denganku, dan semuanya gagal.
"Aku sudah bilang kau tidak akan bisa" Jenny berkata dengan nada mengejek, dan dia melihatku dengan pandangan tidak suka.
Aku berjalan lebih cepat, dan mengabaikan Warren yang berusaha memanggilku. Tidak penting juga, dan aku tidak ingin dia ada di hidupku. Semakin aku membuka diri, semuanya akan semakin buruk. Tidak ada gunanya punya teman, dan aku tidak butuh. Aku tidak punya alasan untuk hidup. Aku tidak diinginkan, dan aku tidak berguna. Tidak seorangpun membutuhkan aku, dan aku memang tidak ingin ada disini.
break
Aku menyalakan i-Pod ku dan mengecilkan volume musiknya agar aku masih bisa mendengar pembicaraan orangtuaku. Hari ini, mereka banyak berbicara dengan bahasa asing, tapi setidaknya aku mengerti apa yang mereka bicarakan. GPS-ku sudah menyala, dan aku melihat jalan dengan hati-hati.
"Rasanya sudah tidak jauh? Aku akan menanyakan dimana letaknya secara pasti" Mama berkata, dan membuka jendela mobil. Dia bertanya selama beberapa saat, kemudian mobil kembali melaju.
Setelah beberpa saat, kami berhenti di satu rumah, yang tidak mewah namun besar. Papa membuka jendela. Aku bisa mencium bau kopi, dan mereka memang menyebutkan ini adalah pabrik kopi. Papa memarkirkan mobilnya, dan menyuruhku turun. Sementara mama sudah turun, dan sekarang dia berbicara dengan temannya.
Aku masuk ke dalam rumah, dan duduk di sebelah mama. Aku meneliti isi rumah tersebut, sementara jantungku berdegup kencang, aku bisa merasakan ada yang tidak beres. Mama terus berbicara dalam bahasa asing, dan di depanku, duduk seorang laki-laki dan dia tidak terlihat sadar. Mabuk mungkin, atau semacamnya. Di mejanya banyak patung aneh, dan aku bisa mencium bau dupa.
"Jadi bagaimana dengan dia?" Mama berkata dan masih dalam bahasa asing, dan dia bermaksud dia adalah aku.
Orang ini hanya memberiku senyum yang aneh, seakan menembus diriku. Kemudian Mama kembali menanyakan banyak hal kepada orang ini. Tentang aku. Sampai aku mencapai kesimpulan, Mama membawaku ke dukun, penyihir, atau apapun itu. Aku lari. Dalam keadaan gemetar, aku lari tanpa tujuan, dan berhenti di belakang mobil besar. Sampai Dad menemukanku dan memaksaku untuk kembali.
Teman katanya, mereka berkata mereka mengunjungi teman.
Mereka bilang ini untuk kebaikanku.
Mereka bilang semua ini dilakuakan agar aku sembuh.
Kegagalan, aku adalah kegagalan dimata mererka.
Aku bukan apa-apa yang bisa dibanggakan.
"Ini semua demi kamu" Mama berkata, dan dia berusaha menyentuhku. Mendoakanku, entah berdoa kepada siapa. Aku menghindar dan menatapnya dengan kecewa. Bukan ini yang aku inginkan, aku memang kegagalan, tapi hanya karena satu hal ini aku kehilangan kepercayaanku kepada dua orang yang paling aku percaya.
Hari itulah, aku benar benar merasa aku tidak memiliki siapa siapa. Aku tidak lagi menyentuk makanan yang mereka berikan, aku tidak lagi membuka diriku kepada mereka.
break
Darah yang mengalir di jariku tidak berarti apa-apa. Sakit yang kurasakan dari luka yang ku buat, tidak setara dengan apa yang aku rasakan sebenarnya. Memangnya ada yang peduli denganku? Tentu saja tidak. Aku membuat luka baru lagi, lagi, lagi, kemudian luka di atas luka, dan semuanya tidak cukup. Aku mengikat tali yang sudah ku simpan berbulan-bulan di langit-langit. Memastikan ikatannya cukup kencang. Melingkarinya di leherku, dan aku mendorong kursi yang kupijak. Selamat tinggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selbst
RandomAku tidak ingin depresi, tapi aku punya alasan kenapa semua ini terjadi. Sipnosis yang lebih baik ada di bab satu. A/N : Untuk pembaca yang kemungkinan menemukan cerita ini dari cerita saya yang lain, mohon baca ini dengan baik. Depresi bukan pilih...