Judulnya adalah Kamu

0 0 0
                                    


Membuka halaman baru hanya untuk menulis kisah yang sama, untuk apa? Aku pun tak tahu. Semuanya masih sama, entah dengan siapa kini aku bersama.

Meski jarak dan waktu memisahkan kita. Membuat kita jauh. Membuatmu terpaksa menjadi memori lama, terkubur dalam album masa lalu.
Berulang kali aku mencari kata yang tepat untukmu agar tidak 'masa lalu' yang kupilih untuk ditulis. Karena bagaimanapun aku berharap kau akan menjadi masa depanku.

Begitulah aku, masih menuliskan semua tentangmu di setiap lembaran hidup yang belum tentu kau baca. Namun, sebuah kecelakaan membuat semua harapan yang selalu kutuliskan, kini menjadi kenyataan. Kamu benar-benar nyata di hadapanku, berbicara padaku dan yang paling membuatku ingin menangis, sekarang kamu bisa menatapku. Setelah sekian lama aku selalu menatapmu dari jauh, dan itu pun hanya punggungmu.

"Asma!"

"Asma!"

"Ah apa?" aku tersentak kaget. Suaranya begitu menusuk telinga dan berhasil mengembalikan kesadaranku.

"Apa sekarang kamu jadi tuli gara-gara kebentur?" tanyanya dengan sinis, kemudian ia duduk di sofa dan menyajikan bubur

Dia adalah Arsa, seseorang yang sudah kusinggung di awal. Karena kecerobohanku saat pulang kuliah, aku hampir dicopet dan aku sempat melawan. Tidak ada keahlian dalam bela diri, membuatku kewalahan dan tanpa sadar kepalaku terbentur tiang listrik. Saat aku pulih, aku sudah tertidur di ranjang pesakitan.

"Makasih, Sa. Aku janji akan ganti semua biaya rumah sakit yang telah kamu keluarkan untukku." Aku merasa tak enak hati setelah sekian lama tak bertemu, sekalinya bertemu malah merepotkan. Biaya operasi dan kamar inap VIV tidaklah murah, aku bingung harus gimana apalagi keluargaku di kampung belum tahu kondisiku hampir sekarat di rumah sakit.

Arsa duduk di dekatku sambil membawa semangkuk bubur. "Sudah jangan banyak pikiran, yang penting kamu sembuh. Sekarang makan dulu," ucapnya sambil menyodorkan satu suap bubur, aku hanya terpaku menuruti permintaannya. Tatapannya tidak seperti dulu, yang selalu cuek dan sinis, membuatku gugup. Kali ini tatapannya dingin tapi lebih bersahabat, mungkin bertambahnya usia kedewasaanpun melekat pada dirinya.

Tanpa ada percakapan di antara kami, ia menyuapiku dengan tenang sedangkan aku deg-degan tak karuan. Ini seperti mimpi, membayangkan bisa berdialog dengannya saja sudah kukubur dalam-dalam. Kini tanpa kubayangkan dan kupinta, ia menyuapiku dengan hati-hati seperti seorang ibu yang menyuapi anaknya, aku jadi menerka-nerka apa yang dipikirkannya tentangku.

"Ini minum dulu," ucapnya sambil menyodorkan segelas air putih.

"Sekarang kamu bisa tidur lagi." Arsa beranjak membereskan sisa makanku, "Aku juga akan tidur, kalau butuh apa-apa bilang."

Kok tidur sih, masih banyak pertanyaan yang ingin kulontarkan untuknya. "Sekarang jam berapa?"

Arsa tidak menjawab, ia sudah memejamkan mata di atas sofa. "liat saja sendiri," tangannya menunjuk ke sisi dinding di sebrang tempatku sekarang. Ah bodohnya aku, di depanku ada jam. Aku terlalu sibuk dengan isi kepala, sampai tidak mengamati keadaan di sekitar. Jam di dinding itu sudah menunjukkan pukul 1, apa ini sudah malam? Waktu aku di copet itu habis Ashar, jadi aku sudah lama tak sadarkan diri.

Aku perhatikan lamat-lamat Arsa yang sedang tertidur dengan menjadikan tangan sebagai bantalnya. Ingin aku menyelimutinya, tapi apalah daya merubah posisiku saat ini saja susah.

Tidak banyak yang berubah darinya, kulit yang putih bersih, jam tangan melingkar di tangan kiri, hodie hitam dan jeans hitam. Semuanya masih hitam, yang paling aku suka darinya adalah rambut hitam mirip dengan gaya rambut Aktor Rangga Azof. Masih lekat dalam ingatanku, saat zaman SMP ia selalu membiarkan rambutnya memanjang dan  dia selalu menghindar kalau ada razia rambut. Menggemaskan rasanya, kalau diingat saat aku tanpa sadar tersenyum sendiri melihatnya memainkan rambutnya.

Hanya Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang