Part 3

2.1K 140 13
                                    

Dulu aku selalu menghakimi orang-orang yang berniat untuk mengakhiri hidup mereka. 

Maksudku, kita hidup karena berkah yang sudah Tuhan berikan, lalu mengapa kita harus mencabut paksa pemberian itu? Mengiris lengan sampai berdarah-darah misalnya, atau meminum racun hanya untuk memuaskan hasrat agar tidak lagi bernafas.

Aku menghakimi mereka...

Selalu berpikir masalah sebesar apa yang mereka tanggung sampai bisa menyakiti diri sendiri seperti itu? Apakah tidak ada cara lain? Motivasi lain? Atau hanya karena mereka kurang beriman?

Semua pertanyaanku terjawab, beberapa tahun setelah hari-hari berat itu justru berhasil kulalui.

Aku sudah pernah bercerita bukan? Aku yatim piatu, dan nenekku yang demensia juga sudah pergi dari kehidupanku yang pada dasarnya sudah sangat sepi.

Aku bekerja dan bekerja hanya untuk lulus dari universitas dan bisa langsung bekerja lagi dengan gaji yang kuterima dari gelar yang juga kukejar sendiri, membiayai kehidupan normalku layaknya orang-orang di luaran sana.

Dan aku jatuh cinta...

Aku sama sekali tidak menyalahkan perasaan yang kusebut cinta. Aku juga tidak bisa menyalahkan seseorang yang kucintai. Aku hanya jatuh cinta, entah dimana letak kesalahannya... yang kutahu, aku benar-benar jatuh sampai aku lupa bahwa selama ini aku menjaga diriku untuk tetap berdiri tegak sendirian.

Aku tidak punya siapapun... jadi ketika aku jatuh seperti sekarang, tidak ada yang bisa menarikku dari keadaan ini, mendongak pun terasa sangat sulit. Bagiku, jatuh cinta adalah kesialan terbesar yang justru kusambut dengan sukacita secara sadar.

"Buka lebih lebar." Suara serak Randra menyadarkanku dari lamunan saat memandangi wajahnya yang tajam. Lelaki itu mencengkram lenganku memintaku membuka diri lebih lebar.

"Bagaimana..." aku mencicit padanya, memintanya bersikap lebih lembut padaku, berharap dirinya bisa membelaiku seperti sepasang kekasih.

"Bodoh sekali, aku bilang buka lebih lebar seperti ini...!!!"

"Ahhhh...." Aku menjerit, kakiku gemetar menahan agar tidak jatuh dari atas meja rias kamarku saat Randra melebarkan pahaku dengan paksa. Jemarinya menarik kedua tanganku untuk membuka bibir vaginaku lebih lebar, memperlihatkan lubangku di bawah tatapannya yang dingin.

"Kurasa lubangmu makin melebar, siapa saja yang sudah pernah masuk ke sini?"

Aku menggigit bibir bawahku, merasakan sedikit asin darah dari sana. Selalu begini, aku sudah terbiasa dengan sikapnya yang begini.

Tidak masalah...  tidak masalah.... aku sudah terbiasa...

Randra tahu aku hanya membuka diriku untuknya, lelaki itu tahu bahwa hanya dia yang bisa masuk begitu dalam ke sana, ke dalam tubuhku, ke dalam jiwaku. Aku selalu berpikir begitu untuk memaklumi semua sikapnya, dan sejujurnya aku sedang melakukan kebohongan terbesar untuk diriku sendiri.

"Sialan, lihat lendir ini, bagaimana bisa sudah sangat berlendir saat aku tidak menyentuhnya sama sekali." Ia tersenyum meledekku.

Seperti yang selalu kulakukan. Aku mengangguk, menimpali hinaannya dengan permohonanku dalam diam. 

Aku memandanginya dengan wajah melas yang membuat senyuman di wajahnya semakin jahat, ia memasukkan jemarinya yang dilapisi kondom ke dalam lubangku tanpa ampun, mengocoknya seakan aku sudah setuju untuk dimasuki.

Aku mencoba menikmati tiap hentakan dari jemarinya, tiap garukan yang ia lakukan di dalam sana. Tapi rasa sakitlah yang selalu kurasakan terlebih dahulu. awalnya ada jauh di dalam hatiku, membuat mataku sedikit berkabut tanda air mata hendak keluar, namun aku menahannya dan memfokuskan diriku lagi untuk melihat sosok jangkung yang sedang fokus memandangi perbuatannya pada vaginaku yang mulai terasa lebih basah.

How to Chase Mr. ArrogantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang