Part 6

783 64 10
                                    

Kepada Mita, yang selalu jujur dengan perasaannya....

===

Aku sering terbangun di malam hari karena menangis saat tidur, air mataku jatuh begitu saja seakan aku memang sedang bersedih.

Namun masalahnya, aku tidak merasakan apapun. Baik kesedihan ataupun rasa sakit.

Aku, benar-benar tidak merasakan apa-apa.

Ini sudah terjadi beberapa waktu belakangan, ketika aku terbangun di ranjang rumah sakit dengan luka goresan di leher.

Siapapun pasti tahu, kalau aku mencoba mengakhiri hidupku sendiri.

Tapi untuk apa?

Ah, karena bayiku mati.

Aku memutuskan ingin menyusul darah dagingku, yang bahkan belum kuketahui jenis kelaminnya.

Tapi mengapa aku tidak merasakan apapun?

Aku hanya ingat kalau aku ingin mati, dan penyebab mengapa aku ingin mati.

Bayiku mati, aku mengulangi kenyataan itu.

Namun tetap saja, aku tidak merasakan apa-apa, aku tidak merasakan secuil pun kesedihan di dalamnya.

Mungkin karena obat-obatan yang kukonsumsi. Sungguh ironi, mengingat mengapa aku harus bertahan hidup saat tujuan hidupku sudah tidak ada.

Mataku mengitari seluruh sudut kamar kos-kosan yang kusewa, berhenti pada jam dinding yang menunjukkan pukul lima pagi.

Hari ini aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta, mungkin aku masih punya satu tujuan hidup yaitu menuruti permintaan terakhir nenekku untuk tetap hidup.

Wanita tua itu sudah merawatku sedari kecil, meski aku memohon padanya untuk membiarkanku mati, aku takut dia tidak mau menemuiku di akhirat nanti.

Aku pegang erat satu tujuan hidupku itu, mengingat nenek membuatku sadar kalau wanita tua itu sangat mencintai rumah kecil kami di jakarta. Satu-satunya harta peninggalan orang tuaku, satu-satunya tempat untukku pulang meski tidak ada penghuninya.

Rumah kami tidak besar, hanya cukup ditempati kami berempat sebelum ayah dan ibuku meninggal, kemudian disusul nenek yang sakit-sakitan.

Sekarang aku sendirian, dan seharusnya aku tidak mengharapkan keajaiban seperti tokoh utama dalam novel romansa.

Aku hanya aku...

Seharusnya aku hidup normal tanpa menginginkan kebahagiaan orang lain.

Karena sekali lagi, aku hanyalah aku.

Tapi semua hal yang kupikirkan sekarang, sama sekali tidak membangkitkan emosi apapun dalam diriku.

Aku baik-baik saja sejauh ini, meski terkadang air mataku turun tanpa peringatan.

Entah apa yang membuatku menangis, karena aku tidak bisa merasakan jenis emosi yang bisa membuatku menangis.

Aku hanya mengeluarkan air mata, dan itu akan terjadi secara acak.

"Aku pamit, terimakasih untuk kerjasamanya selama ini." Aku berkata pada Tiara yang memelukku erat, barista di tempat kerja sementaraku itu benar-benar bersikap sangat manis dan baik.

"Kak Mita harus banget pergi? Kakak gak mau kasih tahu aku, kakak mau kemana?" Tiara berkata, ada kesedihan dalam suaranya yang membuatku otomatis tersenyum.

Aku menepuk-nepuk bahu gadis itu, melepaskan pelukannya yang terasa tidak nyaman meski dia adalah gadis yang sangat baik. 

Karena aku tidak nyaman disentuh oleh siapapun.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

How to Chase Mr. ArrogantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang