Part 4

1.7K 118 11
                                    

Jika seseorang memperlakukan kita sebagai opsi, maka bantu dia memilih dengan menghapus diri kita dari opsi tersebut.

Aku tahu, teori itu, rasa sakit yang kurasakan sejujurnya berasal dari diriku sendiri.

Randra tidak salah, ia selalu benar, lelaki itu sudah memperingatkanku. Aku sendiri yang berjalan sukarela untuk masuk ke neraka.

Perlakuan lelaki itu kudapatkan karena aku menempatkan diriku sendiri pada posisi tak berharga. Aku murah, dan Randra menerima semua kemurahanku.

Lelaki itu menadanginya, bahkan aku bisa melihat harga diriku jatuh dari tangannya. Terinjak dan rasanya begitu menyakitkan.

Di satu sisi, aku terbiasa dengan rasa sakit itu. Aku terbiasa bahkan saat Randra meludah dan memintaku berjongkok, mendongak tepat di antara kedua pahanya.

"Terpesona saat melihat penis, huh?" Kulihat wajahnya yang tertawa mengejek, kemudian tangannya menjambak rambutku.

"Cepat makan sebelum Embun datang! Buka mulutmu!"

Aku menurut, seperti jalang murahan yang bahagia saat menerima penis besar Randra. Memaksa benda itu masuk lebih dalam, menabrak dinding tenggorokanku lebih jauh, membuatku tersedak dan kehabisan nafas.

Hanya dengan begitu aku bisa melihat wajah Randra yang rentan, lelaki itu menggerung sebelum menekan kepalaku lebih keras, bergerak mengentoti mulutku seakan aku boneka seks dan tidak memiliki rasa sakit.

Kemudian lenguhannya membuatku tersenyum, saat dengan serampangan lelaki ini memberikan apa yang kuminta.

Spermanya masuk ke dalam tenggorokanku, mengalir dari sela-sela bibirku yang masih dimasuki penisnya.

"Telan semua, begini..." Randra memaksa dua telunjuknya untuk mengisi masing-masing sela di mulutku, sedang penisnya masih ada di tengah.

"Kamu kan maniak sperma, telan ini jangan sampai tercecer." Ia berkata dingin, telunjuknya keluar-masuk, keluar-masuk mempermainkan mulutku yang terasa kebas.

Aku menutup mata, mencoba menelan lelehan sperma yang berusaha ia paksa masuk ke dalam mulutku.

Perutku menegang, aku bergerak tidak nyaman dan Randra menyadari gerakanku yang sembrono.

Lelaki itu mengerutkan dahi, namun tetap fokus memasukkan semua lelehan spermanya ke dalam mulutku.

"Jilat, bersihkan..." Ia berkata acuh, mencabut telunjuk kanannya untuk mengambil ponselnya yang berdering.

"Yahh sayang ..." Seratus delapan puluh derajat, suara Randra penuh cinta, memangil nama gadis di dalam panggilan.

"Gak papa, aku masih nungguin. Kamu selesaiin bimbingan dulu ya. Santai aja." Randra tersenyum, aku bisa melihat senyum itu hanya ketika lelaki yang kucintai berhubungan dengan gadis itu.

Kemudian Randra tertawa, melupakan aku yang masih bersimpuh diantara kedua kakinya.

Melupakan aku yang belum ada satu menit menelan spermanya.

"Mita? Yah, tadi aku ketemu sebentar, sayang. Aku gak tahu dia dimana sekarang."

Aku tidak bisa mengeluh bukan? Tidak perlu kujelaskan bahwa mulutku masih mengulum penisnya. Tak perlu kujelaskan bahwa vaginaku tetap basah meski hatiku terkoyak menyakitkan.

"Semangat sayang, I love you."

Randra menutup telepon, masih tersenyum saat memandangiku dari atas. Melihatku menjilati lelehan sperma terakhir di telunjuk kirinya.

"Naik ke dudukan toilet." Ia memerintahkan.

Aku berdiri, gesekan levis yang kugunakan membuatku sedikit melenguh.

How to Chase Mr. ArrogantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang