Bab 7

988 39 6
                                    

BAB 7

Satu jam naik bus, akhirnya aku tiba juga di terminal daerah tempat orangtuaku tinggal. Aku cepat turun dari bus dan mencari ojek yang mangkal tak jauh dari pintu keluar terminal. Setelah mendapatkan tumpangan, aku pun yakin untuk mendatangi kediaman Ayah dan Ibu.

Jantungku berdegup keras sepanjang perjalanan. Dari terminal, tukang ojek harus mengendara sekitar 15-20 menit untuk menuju rumahku yang berada tak jauh dari areal pesawahan. Iya, orangtuaku itu dua-duanya petani. Mereka menggarap lahan sendiri yang luasnya tak seberap. Hasil panen mereka istilahnya hanya cukup untuk makan. Sedang untuk kebutuhan lain seperti sekolah anak-anak, orangtuaku mengandalkan hasil kebun berupa sayur mayur yang mereka tanami di pekarangan belakang rumah.

Kami itu bukan tergolong keluarga yang miskin-miskin amat. Rumah punya, sawah ada walaupun luasnya tidak puluhan hektar. Ya, cukuplah untuk sekadar hidup sederhana.

Cuma akunya aja yang kemarin keblinger minta kawin cepat. Karena apa? Karena aku takut membebani orangtuaku. Apalagi melihat tetangga kiri kanan selepas SMA bahkan SMP pun sudah pada beranak pinak. Ya, aku malu kalau menggadis terlalu lama. Kalau kuliah, aku tidak yakin orangtuaku mampu membiayai hingga sarjana. Terlebih jika harus kuliah di luar kota dan mengekost. Dikira uangnya bisa dapat metik di dompet tetangga? Nggak, kan?

Makanya pas guru agamaku, Pak Salim namanya, menawarkan untuk menjodohkanku dengan keponakannya aku langsung mau. Apalagi saat diiming-imingi bahwa keponakannya itu sudah dewasa, sudah ada rumah sendiri, dan pekerjaan tetap. Siapa sih, yang bakalan nolak?

Selepas ujian sekolah, datanglah Pak Salim bersama rombongan. Ada istri Pak Salim yaitu Bu Heny, lalu Mas Bintang, Bu Sanah dan Pak Muklis selaku orangtua mantan suamiku alias mantan mertuaku sendiri, dan dua orang adik-adiknya yang bernama Seno dan Sekar. Seno usianya 28 tahun, bujang lapuk juga. Kalau Sekar sendiri usianya 26 tahun dan memilih menganggur seperti kakak nomor duanya dengan alasan capek kerja. Hebat bukan anak-anaknya mertuaku? Si Bintang orangnya nggak waras, eh, ternyata adik-adiknya juga malah pada niruin. Aku kira, Seno dan Sekar itu nggak waras karena lingkungan. Sekarang baru kebongkar kalau DNA gesrek itu emang udah dari sononya. Turunan kakak nomor satu mereka!

Mereka waktu itu datang dengan dua mobil yang berbeda. Kijang Innova lho, dua-duanya! Apa nggak silau mata para tetangga yang memandang. Terlebih, mulai santer terdengung di desa tempatku tinggal bahwa aku akan dilamar oleh keponakannya Pak Salim guru agama paling terkenal di desa kami tersebut. Ya, jelas sebagai ABG labil baru kenal warna duit pun langsung silau.

Bisa ngebayangin nggak, sih, ketika tetanggamu hanya punya suami yang kerjaannya kuli bangunan, tiba-tiba kamu sendiri bakal dilamar sama orang kota yang lulusan S1 dan punya pekerjaan bagus di pabrik besar. Datang bawa Innova hitam pula. Makin kejet-kejet kaya ulat bulu, dong?

Di pertemuan yang pertama itulah tercetus kata restu dari orangtuaku. Ayah dan Ibu langsung oke. Ya, karena aku memang sudah pesan ke mereka untuk tidak menolak keponakannya Pak Salim, apa pun bentukannya. Waktu itu, karena aku sudah membayangkan hidup di kota, naik mobil, dan punya banyak uang dari gaji suami, aku udah nggak mikirin lagi wujud Mas Bintang yang kaya labi-labi air payau itu. Pokoknya gas. Masalah rupa belakangan, yang penting kemapanan. Begitulah sloganku kala itu.

Tanggal pun langsung ditentukan. Keluarga juga sudah terlihat akrab. Dan, terang saja, minggu depannya aku langsung dilamar dengan acara yang cukup meriah dan besar-besaran juga untuk ukuran desa.

Kawan-kawanku yang datang sampai keki semua. Aku pikir, mereka iri. Soalnya mereka pada komen, kok, muka suamiku kaya arang sate. Aku tersinggung, dong. Padahal, dalam hati kecilku juga bilangnya begitu. Nggak hanya mirip arang sate, tapi bentukan giginya yang kentara banget gigi palsu dan kaya hijau-hijau lumut di bagian sela-selanya. Namun, aku mencoba buat positive thinking aja. Mikir kalau yang hijau-hijau itu pemanis doang. Ya, semacam asesorislah. Eh, tapi, setelah dua tahun barulah aku sadar. Ternyata hujatan kawan itu tak selalu salah. Aku aja yang buta. Saking silau sama Innova yang ternyata cuma modal rental sehari empat ratus lepas kunci ke luar kota. Sialan emang. Kenapa aku bodoh kuadrat ya, waktu itu?

Dikira Melarat Usai BerceraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang