Bab 2

2.1K 143 7
                                    

BAB 2

Pagi itu juga, aku langsung mengemasi barang-barangku dari kamar pengantin kami. Meski hatiku sesak, tapi aku pantang untuk menangis. Maaf saja. Lisna memang bukan anak orang kaya, tapi Lisna tidak boleh diinjak-injak harga dirinya apalagi oleh lelaki macam Mas Bintang.

Dasar lelaki tak tahu diri. Pantas saja dia gagal menikah tiga kali sebelum jadi denganku. Alasannya dulu karena pihak perempuan yang membatalkan tanpa alasan jelas. Omong kosong! Sekarang aku jadi tahu, apa alasan perempuan-perempuan tadi membatalkan rencana pernikahan mereka. Sayangnya, semua itu terungkap setelah dua tahun kuarungi rumah tangga bersama anak pertama dari dua bersaudara itu.

Semua baju-baju yang kubeli sebelum menikah dengannya kumasukan ke dalam tasku. Sedangkan baju yang pernah Mas Bintang belikan, tak satu pun kubawa. Termasuk alat-alat make up ataupun benda-benda lain pemberiannya. Aku ogah! Sudah najis untuk menyentuhnya bahkan.

“Tolong maskawin pemberianku jangan kamu bawa!” Pekik itu tiba-tiba menyeruak dari ambang pintu. Membuatku berhenti berkemas untuk sejenak.

Kutatap Mas Bintang yang berkacak pinggang di ambang pintu. Rautnya begitu sok. Pria berwajah oval dengan dahi agak lebar dan jenong itu menatapku sinis. Benar juga kata kawan-kawan sekolahku dulu. Ngapain aku mau nikah sama pria macam dia? Sudah kepalanya nonong, kadang mulutnya bau comberan, dan sekarang sifat aslinya malah ketahuan. Dulu, fisik bagiku nomor sekian. Meskipun rentang usia kami sangat jauh yakni 10 tahun pun, semuanya kuabaikan. Aku nekat minta dinikahkan usai pembagian ijazah digelar. Aku bilang kepada kedua orangtuaku bahwa Mas Bintang itu baik hati. Anak yang taat agama. Keponakannya guru agamaku yang memang saleh dan berwibawa. Sudah punya kerjaan tetap pula. Padahal, kawan-kawanku sudah mengingatkan kalau Mas Bintang itu kurang ganteng. Bahkan (maaf) gigi depannya sudah ompong semua dan harus memakai gigi palsu yang terkadang membuat napasnya jadi tak sedap. Ternyata, aku memang bodoh. Sekarang aku jadi tahu kenapa dulu kawan-kawan sekolahku melarang untuk menerima lamaran lelaki itu.

“Kenapa kamu memandangiku seperti itu? Kamu ini benar-benar perempuan kurang ajar!” Mas Bintang membentak lagi. Suaranya menggema ke seluruh ruangan. Tidak. Dia hanya menggertak dengan gaya. Kalau untuk bermain tangan, kujamin dia tak bakalan berani. Coba saja kalau dia mau, akan kubalas sepuluh kali lipat!

Aku kembali menatap lurus ke arah lemari. Membuka laci bagian tengah pintu pertama. Kuambil kotak perhiasan berbentuk hati dengan bahan bludru pada permukaannya. Kulemparkan kotak berisi satu buah cincin, satu buah kalung, dan satu buah gelang rantai yang semuanya adalah maskawin pernikahan kami. Kotak itu membentur perut Mas Bintang, lalu jatuh berderai ke lantai hingga seluruh isinya berserakan.

“Ambil! Makan itu perhiasan! Dari awal aku juga alergi pakai emas darimu,” ejekku dengan seringai yang sengit.

Mas Bintang langsung masam mukanya. Dia seperti mengeraskan dua rahangnya. Pria dengan wajah ala kadarnya dan memiliki bopeng di pipi kanan maupun kiri tersebut kulihat mengepalkan kedua tinjunya.

“Aku talak kamu dengan talak tiga! Sampai mati pun, aku mengharamkan diri untuk menyentuhmu!”

Aku tertawa. Cukup keras. Geli dengan kelakuan Mas Bintang yang betul-betul ekstrem ini. Bahkan di belahan dunia mana pun, belum pernah kutemui langit cerah yang indah tiba-tiba menurunkan hujan petir dan angin putting beliung secara serta merta. Kok, ini manusia satu bisa-bisanya bertransformasi menjadi jelmaan cicit iblis dalam waktu hanya sedetik. Aneh!

“Talak seribu pun aku tidak masalah, Mas. Silakan! Aku juga ogah buat kamu sentuh. Selama ini aku tahan-tahan diri dan tahan hidung saat dekat denganmu ya, Mas. Jangan ngerasa sok ganteng! Aku sebenarnya malas untuk body shaming ke orang. Tapi, karena kamu ini ngelunjak, coba kamu ngaca deh, Mas. Kalau mau menghina orang, minimal ganteng dan nggak bau mulut, kek!”

Mas Bintang tampak terhenyak. Lelaki yang memiliki tinggi tubuh sekitar 169 sentimeter dengan perut yang sudah agak membuncit itu tampak naik turun napasnya. Asma kamu? Apa mau serangan jantung gara-gara dengar omonganku? Lemah!

“Cepat keluar dari rumahku!” gertaknya lagi.

“Timbang kamu banyak omong, kenapa nggak kamu aja yang ngeberesin barangku?” sindirku sambil terus berkemas.

Mas Bintang malah diam. Lelaki itu menendang kotak perhiasan yang kulempar tadi hingga hampir mendarat ke kakiku. Kutendang balik, dong! Masa diam aja.

Cowok pengecut itu pun pergi dengan sendirinya tanpa kuusir. Hush, sana jauh-jauh! Napasmu membuatmu makhluk-makhluk di kamar ini jadi bengek. Mending pergi sana, ketimbang ngemandorin aku berkemas. Laki-laki banyak omong. Lemesnya ngalahin tukang gosip komplek perumahan.

Akhirnya barang-barang sudah selesai kukemaskan. Dua tas yang berhasil kubawa. Satu tas jinjing besar dan satu lagi ransel bekas tas sekolahku dulu. Aku keluar dari kamar dan tak lupa sebelumnya memberantakan isi lemari dulu. Semua pakaian di dalam lemari yang sudah susah payah kusetrikan dan kulipat, kuacak-acak dan kuhamburkan ke lantai. Biar tahu rasa dia! Enak kan, sekarang udah nggak punya babu lagi di rumah. Silakan kemasi rumahmu sendirian.

Saat aku hendak melangkahkan kaki ke teras, kudengar Mas Bintang tengah bercakap di ponselnya. Lelaki itu berbicara dengan suara yang setengah berbisik, tapi jelas di telingaku.

“Iya, Sayang. Udah aku cerai. Kita bisa nikah secepatnya setelah akte ceraiku keluar.”

Aku yang berdiri tak jauh dari ambang pintu hanya bisa tersenyum getir. Dugaanku tak meleset. Pantas. Mungkin ini sudah lama terjadi, tapi aku saja yang bodoh dan terlalu percaya pada lelaki tampang pas-pasan ini. Syukurlah. Akan kuserahkan dengan ikhlas lelaki gombal amoh ini kepada si pelakor. Silakan nikmati tidur bersama aroma got yang menyengat seumur hidupmu, wahai pelakor bodoh!

(Bersambung)

Di KaryaKarsa sudah tayang sampai Bab 11. Monggo ke KaryaKarsa bagi yang pengen baca cepat.

Dikira Melarat Usai BerceraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang