Bab 8

1.4K 43 2
                                    

BAB 8

“Korea? Korengan kali maksumu, Min!” umpatku kesal. Jelas-jelas bentukannya Mas Bintang bagai pinang dibelah kapak kalau dibandingin sama jempol cantengannya Lee Min Ho. Bisa-bisanya dia ngatain mantan suamiku itu artis Korea, pula. Memang dasar lambe prengus kamu, Mince! Sama aja kaya si Bintang ternak.

“Aih, nggak usah merendah gitulah, Lis. Aku jadi nggak enak. Jadi, gimana? Kalian berantem?” Mince malah semakin mengulik kehidupanku. Kaya dia aja yang ngebiayain tukang foto kawinanku. Ribet amat sih kamu, Min!

“Nggak, tuh. Nggak berantem. Dibilangin orang cuma mau main sambil healing. Namanya juga orang kota. Sekali-kali pengen juga kan, menikmati aroma sawah dan bau keringatnya petani. Emang salah?” tanyaku nyolot.

Bibirnya si Mince langsung tersungging sinis. “Halah, kaya lahirmu di mana aja, Lis! Orang dari orok sampai gede juga hari-hari nyiumin bau keteknya petani!”

Di saat Mince semakin keki, aku pun langsung mengetuk heboh pintu rumah. Sudah nggak betah. Pokoknya pengen masuk kamar dan nangis di pangkuannya Ibu.

“Ayahmu lagi ke sawah. Ibumu paling ikut,” kata si Mince.

“Siapa?” kataku sambil menoleh.

“Ya, ayah sama ibumu! Kamu nggak denger omonganku?” tanya Mince sambil mengelap ingus anaknya dengan telapak tangan.

“Yang nanya!” jeritku mengolok sambil cengengesan.

“Sialan kamu, Lis! Dasar tetangga durhaka!” Si Mince senyum malu. Kena nih, ye!

“Lakimu yang artis Amerika itu mana, Min?” tanyaku lagi sambil terus mengetuk pintu rumah. Siapa tahu Ibu ada di dalam. Si Mince lagian sok tahu amat. Kaya CCTV aja segala tahu di mana orangtuaku berada.

“Amerika? Amerika dari Hongkong!” kata si Mince dengan muka jengkel.

“Amerika itu di benua Amerika, Min. Dasar nggak sekolah! Makanya, kalau disuruh sekolah, jangan kawin. Kamu sih, kelas dua SMP malah minta dikawinin.” Aku balik tertawa. Sekarang kita satu sama ya, Min.

“Asem tenan!” maki Mince sambil menimang-nimang anaknya yang masih berusia setahun lebihh itu. Si bocah botak bertubuh kurus itu malah tertawa menatapku. Kenapa, Nak? Muka Tante cantik, ya? Emang dari dulu kali, Dek!

“Mana lakimu? Nyemen nggak dia hari ini?” tanyaku setengah mengejek. Ayo deh, kalau mau main ejek-ejekan. Mumpung aku lagi pengen.

“Nggak. Nggak ada proyek. Sekarang lagi mancing di kali. Buat lauk ntar siang.”

Aku menelan liur. Kasihan si Mince. Ternyata nasib kami sama aja. Sama-sama melarat. Bedanya, aku nggak harus makan ikan pancing sih, buat lauk makan siang. Cuma sering beli wortel sama kobis yang udah agak bosok aja terus dimasak sop-sopan. Hiks, sedih amat hidup perempuan macam kami.

“Bentar!” sebuah jeritan terdengar dari arah dalam sana. Yes, ada Ibu! Tuh, kan. Dasar si Mince sotoy markotoy. Mana ada ibuku ikutan Ayah ke sawah?

“Alhamdulillah, ibuku ada di rumah. Kamu sok tahu nih, Min. Katanya ibuku ke sawah,” cibirku ke arah Mince.

“Ya, mana aku tahu? Wong, biasanya ibumu ikutan ke sawah kok, sampai jam 12 siang.” Mince malah balik kanan. Dia terlihat makin jengkel dan hendak masuk ke rumah.

“Ya, udah. Masuk sana. Nggak usah keluar-keluar. Nanti ada yang ngegodain,” ledekku kepada Mince.

“Kamu tuh, yang nggak usah keluar-keluar. Nanti suamimu yang artis Korea itu cemburu lho, Lis. Nanti dicerai, malah jadi janda kaya si Rosi tetangga depan, tuh. Cerai itu si Rosi. Kasihan banget. Sekarang nganggur pula, jadi beban keluarga.” Si Mince langsung balik badan lagi. Menatapku dengan mukanya yang cengengesan seolah sedang mengolok nasibku. Sialan. Kok, dia bisa pas gitu sih, nyinggungnya.

Dikira Melarat Usai BerceraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang