Bab 5

721 82 18
                                    

Masih dalam usaha menumpulkan kesadarannya, Jihyo mengerjapkan mataya beberapa kali, membiasakan diri dengan cahaya sinar matahari yang menerobos masuk ke ventilasi kamar yang di tempatinya.

Setelah membiasakan diri, Jihyo bangkit perlahan dari tempat tidurnya menuju ke kamar mandi untuk menyegarkan diri dan setelah itu membantu Nayeon menyiapkan sarapan pagi. Tapi wanita itu mengeryit heran ketika tidak menemukan Nayeon di dapur, biasanya Nayeon lah yang paling cepat bangun karena wanita itu harus mengurus keperluan suaminya sebelum berangkat kerja.

'Mungkin dia bangun kesiangan karena semalam Joonie cukup rewel karena demam.' Pikirnya. Menarik nafas pelan, Jihyo bergegas untuk membuat sarapan.

.

.

"Kau sudah bangun rupanya." Jihyo dengan cepat menoleh ketika mendengar suara berat yang dikenalinya betul.

Tersenyum, Jihyo mengangguk pelan. "Mau berangkat kerja, Kakakku yang tampan?" Tanya Jihyo.

Pria berjas hitam itu mengangguk dan tersenyum. Namjoon telah rapi dengan setelan kerjanya dan juga tasnya. Pria itu menghampiri konter dapur dan mengambil gelas kopi yang entah sejak kapan di buat. 'Mungkin Nayeon yang membuat' pikir Jihyo. Ia tak terlalu memperhatikan tadi.

"Nayeon Eonni belum bangun?" Tanyanya lagi.

Masih tersenyum Namjoon menjawab, "ah, Nayeon tadi pagi sudah pergi bersama ibu untuk mengantar Joonie berobat," balasnya, membuat Jihyo cukup sedikit terkejut mendengarnya. "Dan dia bilang mungkin sedikit telat pulangnya."

"Apa Joonie demamnya semakin parah?" Tiba-tiba saja Jihyo sangat mencemaskan keadaan bayi laki-laki Nayeon itu.

"Demamnya sudah turun tadi malam, tapi aku tetap memaksanya untuk membawa Joonie hari ini ke dokter. Untuk berjaga-jaga saja kalau-kalau ada apa-apa."

Jihyo mengangguk mengerti dan menghela nafas lega. Namjoon tersenyum melihat ekpresi Jihyo yang sangat mengkhawatirkan anaknya. Pria itu menyesap kopinya lagi beberapa teguk sambil membaca koran pagi sedangkan Jihyo tengah menyiapkan sarapan pagi untuk mereka berdua.

"Taehyung kemarin menelponku." Namjoon's membuka pembicaraan. Memecahkan keheningan di antara mereka.

Tubuh Jihyo menegang saat mendengar sebuah nama yang di ucapkan oleh bibir Namjoon. Jihyo terdiam. Namjoon melanjutkannya lagi.

"...dia bertanya, apakah kau ada dirumah kami?" Namjoon memperhatikan Jihyo dengan seksama. Ia mencoba membaca ekpresi wanita di depannya itu, melihat bagaimana reaksi Jihyo ketika ia memberi tahu bahwa Taehyung kemarin menelfonnya.

"Kau memberitahunya bahwa aku ada disini?"

"Ya. Aku memberitahuinya."

Jihyo membulatkan matanya tak percaya. Piring yang dipegangnya meluncur begitu saja ke lantai. Pecah menjadi beberapa bagian. Jihyo menatap tak percaya pada Namjoon.

"Dia ingin menemuimu. Tapi aku melarangnya. Aku bilang padanya, dia boleh bertemu denganmu asal kau sendiri yang mau menemuinya.''

Jihyo masih terdiam. Wanita itu menundukkan wajahnya.

"Dia tampak putus asa Hyo. Dia menderita karena kepergianmu. Kembalilah, selesaikan masalah kalian dengan baik-baik. Jangan bersembunyi lagi."

Jihyo menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak Oppa. Aku tidak bisa menemuinya." Ucap Jihyo serak. Wanita itu mengkat wajahnya dan menatap Namjoon yang juga menatapnya, "aku tidak bisa." Entah sejak kapan cairan bening itu telah mengalir di kedua pipi Jihyo. "Aku tidak bisa, Taehyung."

Lalu yang terdengar selanjutnya adalah suara isakan tangis Jihyo yang membuat hati Namjoon pilu seketika. Pria beranak satu itu memutuskan bangkit dari duduknya, menghampiri Jihyo, lalu memeluknya hangat. Pelukan sebagai seorang saudara laki-laki kepada adiknya.

Hurt ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang