8 - Layangan

51 6 5
                                    

Saat berada di kantin tadi, Saka, Eric, Hanafi dan Asya sempat berencana untuk bermain setelah pulang sekolah. Mereka tidak memiliki kegiatan apa-apa lagi dan Eric juga tidak keberatan untuk ikut bermain. Sesuai dengan apa yang sudah direncanakan, selepas pulang sekolah mereka langsung bergegas menuju halte bus. Tempat tujuan mereka main yaitu di daerah dekat rumah Saka, Hanafi dan juga Asya. Mereka hanya perlu naik bus dan tentunya tidak membutuhkan waktu lama untuk tiba di halte tujuan. Setelah turun dari bus, mereka juga memutuskan untuk langsung berjalan meninggalkan halte.

Tempat mereka bermain adalah sebuah lapangan yang di bagian sampingnya ada beberapa pohon besar. Dulunya lapangan itu adalah sebuah tanah kosong yang sangat luas. Lokasi yang dulu menjadi tempat favorit Saka, Hanafi, Asya dan teman-teman sebayanya bermain. Entah bermain bola, layangan, kelereng, lompat karet, dan permainan anak lainnya. Tanah luas itu sudah banyak mengalami perubahan. Sebagian lainnya sudah dibangun rumah untuk tempat tinggal orang. Kini hanya tersisa sebuah lapangan yang permukaannya sudah berlapiskan semen, bukan hanya tanah yang dulu sering kali membuat kaki mereka kotor.

Saka, Eric, dan Hanafi memilih untuk bermain layangan, karena kebetulan, di daerah ini sedang musim anak-anak bermain layangan. Sebelum tiba di lapangan mereka sempat membeli beberapa buah layangan kertas dan juga benang. Saka dan Hanafi sudah sangat terbiasa, bahkan terbilang jago dalam menaikkan layangan. Makanya layangan milik mereka dapat melayang dengan cepat tanpa harus banyak mencoba. Eric yang meskipun tidak sejago Saka dan Hanafi, akhirnya tetap bisa menaikkan layangan miliknya. Anak itu dulu cukup sering bermain layangan, meskipun jenis layangan yang dulu Ia mainkan berbeda dengan layangan yang sekarang sedang Ia naikkan.

Asya memutuskan untuk menonton saja, karena merasa malas untuk ikut bermain layangan juga. Cewek itu memilih untuk duduk di atas rumput hijau, tepat di bawah pohon besar sambil mengulum sebuah permen kaki. Sesekali Ia hanya memainkan ponselnya ketika mulai diserang kejenuhan.

"ANJRIT ADA YANG MEPET LAYANGAN GUE!"

Saka dan Hanafi otomatis menoleh ke arah sumber suara. Eric terlihat panik saat sebuah layangan lain mulai mendekati layangan miliknya.

"Adu, Ric! Adu!"

"NANTI LAYANGAN GUE PUTUS!"

"Ya lo berusaha supaya nggak putus!"

"NGGAK MAU! GUE TAKUT!"

Hanafi menghela napas. "Udah nggak apa-apa layangan lo diadu aja. Kalo nanti lo nggak bisa, kita bantuin."

"Jangan sampai putus, dong! Gue lagi seru-serunya main layangan." Eric berucap dengan tatapan mata yang terkesan polos. "Gue udah lama banget nggak main layangan. Terakhir kali main waktu gue masih kecil."

Saka jelas tidak menyangka jika Eric akan seserius itu. Cowok itu terlihat sedih, seperti anak kecil yang hampir menangis karena mainan miliknya direbut orang lain. Padahal mengadu layangan adalah bagian paling ditunggu-tunggu, sekaligus menjadi yang paling seru. Apalagi ketika salah satu layangan itu putus, mereka langsung berlari untuk mengejar dan mengikuti kemana arah layangan putus itu pergi.

"Lo tenang aja. Kalo ada gue sama Ehan, lo harusnya nggak perlu panik. Ngadu layangan mah urusan kecil. Kalo seandainya nanti layangan lo tetep putus juga, nggak usah nangis, Ric. Lo kan banyak duit. Layangan satu biji harganya cuma dua ribu. Lo bisa borong semua layangan di warung, atau kalo mau, sepabrik-pabriknya juga bisa lo beli!" Saka menukas sambil mengulur-ngulur benang layangan dari sebuah gulungan yang Ia pegang. "Lagian ngadu layangan doang mah lo pasti bisa kali. Kalo kata bujang Korea yang sering Asya tonton iso ra iso hal su isseo!"

Eric yang masih cukup panik langsung dibuat mengernyit heran dengan ucapan terakhir Saka. "Itu emang bahasa Korea?"

"Iya, tapi sebelah Utara." Hanafi tiba-tiba menimpali. Cowok itu lalu menoleh pada Eric. "Ulur benangnya, Ric."

UnfairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang