Mendengar Gilang melontarkan kata maaf yang sebenarnya tidak perlu, Lala menepuk bahu Gilang. Lala tahu sejak awal bahwa Gilang memang "sesuatu".
Jujur sebenarnya dulu Lala lebih tertarik pada Gilang dari pada Farhan, tapi yang namanya takdir berkata lain. Lala pun merasa tidak akan kuat jika suatu hari dia dan Gilang mungkin bersama. Oleh sebab itu Lala selalu menjaga Irma selama ini. Dia tahu posisi Irma yang ada di sisi Gilang bukanlah hal yang mudah. Mendampingi seseorang seperti Gilang harus kuat. Lala yang bahkan hampir mati saja merasa tidak sanggup. Sejauh ini menurutnya Irma adalah sosok yang kuat.
"Bukan salah lo, Lang. Gue yakin lo juga gak mau ninggalin kita kan?" Lala tersenyum hangat.
Gilang mengangkat kepalanya. Matanya hampir berkaca-kaca mendengar apa yang Lala katakan. "Kalo ternyata gue memang mau ninggalin kalian gimana?"
"Maka lo gak akan ada di depan gue sekarang."
Gilang tersenyum. Kekhawatiran yang ia rasakan memang seharusnya diabaikan. Seharusnya Gilang tahu bahwa teman-temannya memang sebaik, setulus dan sepengertian ini. Dia jadi merasa bersalah (lagi) karena meragukan ketulusan mereka.
"Ayo! Yang lain dah pada ngumpul di basecamp."
"Widih punya basecamp sekarang. Dulu mah ngemper di persimpangan hahaha."
─o─
Sesampainya di "basecamp", entah Gilang harus kesal, tertawa, senang atau apa, sebab pemandangan di depannya ini sangat absurd--definisi rumah Shandy. Desain rumahnya entah bisa dibilang unik atau aneh, sama seperti pemiliknya.
Bentuk bangunannya seperti rumah khas daerah kelahirannya--Bukit Tinggi, Padang. Disisi kirinya ada satu pondok anyaman yang tampak mistis dari luar. Di sebelah kanan penuh nuansa pastel menyenangkan dan berbagai macam perabotan ramah dipandang. Sementara halaman belakang sangat random. Ada taman bermain anak, toko buku, teater mini dan sebuah studio. Sepertinya Gilang tahu kenapa tempat ini yang dipilih sebagai basecamp.
"Ini rumah?" tanya Gilang yang disambut sorakan bahagia oleh teman-temannya.
Farhan terlihat membawa kue, dikerumuni anak-anak yang sudah tidak sabar mencicipi kue itu. Bahkan Seli--anak Shandy dan Sherly sudah siap hendak "memanjati" Farhan bak lomba panjat pinang. Shandy tidak peduli kelakuan anaknya, justru menyemangatinya mendapatkan kue itu. Farhan berusaha mengabaikan mereka dan tetap menyambut Gilang.
Fajri dan Fiki mengambil peran sebagai MC yang lebih seperti komentator, mengomentari setiap adegan yang mereka lihat di depan mata. Ricky tiba-tiba sibuk ketika Angle tiba-tiba badmood dalam kondisi kandungan 5 bulan. Kesana kemari ia mencari apa yang Angle inginkan.
Faneza dan Zweitson asik mendokumentasikan semua hal menarik yang terjadi serta Fenly sibuk mengotak-atik perangkat IT di depannya hingga terpampang sebuah vidio bikinan Shandy yang cringe abis. Sengaja ia buat untuk menyambut Gilang. Sisanya yang ada disana hanya tertawa melihat ekspresi Gilang yang sepertinya sudah stres setelah beberapa jam kembali. Jangan sampai Gilang pergi lagi karena ini.
"Welcome back!"
"Thanks, tapi ini..." Gilang sudah tidak bisa berkata-kata lagi.
Waktu mereka habiskan untuk menceritakan kisah hidup masing-masing. Lebih ke adu nasib sih. Mereka mengeluh tentang kehidupan yang mereka jalani. Farhan yang stres karena semakin buncit, Lala yang pusing mengurus Farla yang sangat aktif sekali banget.
Ricky dan Angle yang sedang dalam hubungan rentan dan sering berdebat. Fajri dan Fiki yang mulai stres dengan jadwal padat mereka. Wulan dan Meysa yang sedang berusaha naik jabatan di tempat kerja. Zweitson dan Faneza yang sibuk dengan skandal perselingkuhan yang ia alami baru-baru ini. Hanya Fenly dan Rere yang hidup seperti air mengalir, tanpa hambatan atau hentakan. Tapi justru itu masalahnya, hidup mereka jadi tidak menarik.
Sementara si absurd, Shandy... Ini fakta menarik. Dia melakukan pekerjaan sampingan menjadi dukun.
"Dukun? Jadi pondok jelek itu tempat praktek perdukunan?" tanya Gilang tak percaya.
"Yee elu, Lang. Jangan salah! Luarnya boleh aja jelek, dalamnya war byasahh!"
"Lagian lo belajar ilmu perdukunan dari siapa sih, Sen?" tanya Farhan. Dia juga masih tidak percaya sampai sekarang. Mungkin yang lainnya juga sama.
"Google," jawabnya santai.
Perbincangan keluh kesah berganti topik dengan kehidupan 10 tahun Gilang. Tidak banyak yang bisa Gilang ceritakan, tapi teman-temannya lagi dan lagi mengerti dan paham betul apa yang Gilang rasakan, entah dulu atau sekarang.
Melihat semua temannya, Gilang merasa masalah yang ia hadapi pasti bisa selesai jika bersama mereka. Tapi tetap saja ia tidak ingin melibatkan orang-orang tersayangnya ke dalam sebuah masalah yang berbaya. Terlebih seseorang yang sejak tadi duduk memandangnya dengan senyum--Irma.
Gilang tahu Irma pasti memiliki banyak sekali pertanyaan tentang kepergiannya yang mendadak dan Gilang juga ingin berbicara dengan Irma. Namun situasi berkata lain. Situasi tidak memberikan mereka kesempatan untuk berbicara.
.
.
.
Beberapa jam berlalu, malam sudah semakin larut. Mereka mulai bubar satu persatu, kecuali mereka yang membawa anak dan sedang mengandung. Mereka lebih memilih menginap. Dan karena Farhan menginap, maka Gilang pun ikut menginap di rumah unik ini.
Setelah mengantar Fenly dan Rere yang dijemput dengan mobil super mewah, Gilang kembali masuk ke dalam rumah. Dia melihat Irma di dapur sedang menatap Lala yang sedang membuat susu untuk Farla. Mereka tidak mengobrol, tapi Gilang bisa melihat mata Irma berkata sesuatu.
"Ck, anak itu masih aja gak bisa ungkapin apa yang dia rasain, padahal udah kelihatan jelas banget di wajahnya," gumam Gilang
Gilang sekali lagi tersenyum. Dia mengingat kembali saat-saat bersama Irma. Irma yang tidak bisa berbohong, Irma yang sangat mudah ia baca dari raut wajahnya, Irma yang begitu sangat ia cintai, Irma yang kini entah mengapa terasa sangat sulit untuk berada di dekatnya. Sejak tadi Gilang sangat ingin mrnghampirinya, tapi selalu saja ada yang menahannya.
"Mamaaaaaa! Seli nakal, aku gak suka. Omsen lebih nakal, benci deh!" adu Farla.
"Loh kok belum tidur?"
"Gimana mau tidur kalo Omsen sama Seli berisik banget. Tante Sherly kasihan, Ma."
Lala menghela nafas frustasi. Kombinasi anak dan ayah satu itu adalah kombinasi yang sangat tidak tepat untuk situasi sekarang. Sejak pagi Sherly sebagai tuan rumah bersusah payah mengurus segala keperluan untuk acara hari ini, bahkan saat mereka berkumpul tadi, Sherly lah yang mengurus anak-anak bermain dengan mereka. Dia bahkan hampir tidak berinteraksi dengan teman-temannya.
"Gue nangis kayaknya udah gak di peduliin lagi sama Shandy, La. Gue kangen dia yang dulu, yang takut cuma karena gertakan kecil dari gue. Bukan maksudnya gue mau ada di atas Shandy, tapi sikapnya dia sekarang bener-bener nguras emosi dan tenaga gue, La, gue capek."
"Gue gatau harus apa dalam hubungan rumah tangga lo, bahkan gue kayaknya gak berhak ikut campur. Tapi lo yang tahu suami lo itu orang yang kayak gimana. Dengan jutaan sifat menyebalkan dia sekarang, pasti ada satu sikapnya yang bikin lo bertahan sampai sekarang. Gue harap alasan itu masih lebih kuat dari jutaan sifat menyebalkan dia. Jujur sayang banget kalo kalian pisah."
"Siapa yang mau pisah sih, La. Mau jadi Romeo dan Juliet aja bagus kali yaa? Gue bunuh tuh orang dulu terus gue ikutan bunuh diri."
"Hush! Kalo nyari ide bagus juga."
Kemudian mereka tertawa. Candaan yang sedikit kelewatan kadang cukup menghibur mereka. Sejak kejadian itu, Lala selalu menjaga teman-temannya dengan lebih baik. Lala tidak lagi menjadi Lala yang tegas, keras dan dingin. Sekarang dia bersikap lebih hangat. Dia tidak mau merasa bersalah lagi atas sebuah kehilangan. Andai saja saat itu Lala langsung berubah, maka mungkin dia masih ada disini sekarang.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Irama Dalam Hutan || Gilang UN1TY
FanfictionBAGIAN KETIGA CALON PENGURUS OSIS Setelah sekian lama, bahkan sangat lama, Gilang akhirnya kembali menemui teman-temannya. Farhan mengajaknya ke sebuah acara reuni dan mempertemukannya kembali dengan Irma, mantan kekasihnya. Untuk merayakan kembali...