Cinta membuatku terlihat
bodoh di mata orang lain.—GANGGU; Garis Tunggu
❖
Sudah satu minggu, aku dan Arkala tidak duduk berdua di taman kota. Dia bilang sibuk, ada banyak tugas menumpuk, dan dia tidak punya waktu untuk bertemu.
Tapi dia selalu punya kesempatan untuk mengirim tugas kuliahnya, lalu akan kukerjakan seperti biasa lalu menyetor hasil selesai kembali padanya. Meski pun 'tak terjebak apa dia bisa datang atau tidak, aku tetap menyempatkan datang ke sini. Tiap jam kuliah yang habis, selalu kusambangi dan menunggu berjam-jam untuk bertemu dengannya.
Rasa rinduku tidak pernah bohong, selalu saja untuk satu orang yang sama, Arkala, lelaki yang membuatku jatuh cinta sedalam-dalamnya hingga detik ini. Aku juga percaya lho, soalnya isi status di whatsapp miliknya tetap menggunakan satu foto yang sama.
Dan jika jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore, maka Arkala tidak akan datang, dan setelahnya aku akan pulang membawa rasa rindu yang belum terobati.
***
"Tugas kamu menumpuk, kamu ngapain sebenarnya?" tanya Rio, teman satu kelompokku. Dari semester satu, tiap berbagi kelompok, pasti saja dia yang jadi partnerku. Kami seperti dua buah sendal nippon, meski bisa tertukar saat di bawa ke masjid, tetap saja kami adalah satu kesatuan. Seperti ditakdirkan sepasang, bersatu untuk mengerjakan tugas.
Sebenarnya hanya Rio yang banyak berkorban, sedangkan aku tahu jadi saja. Kupikir tidak ada kerja sama di antara kami, sebab aku, hanya fokus untuk mengerjakan tugas milik pacarku saja. Tanpa sepengetahuan Rio pastinya. "Maaf ya, aku memang orang yang pemalas." Itu kataku.
"Kenapa kayak enggak mungkin? Aquila, kalo kamu punya masalah bisa bagi sama aku. Jangan kayak gini, aku cuma kasihan sama kamu yang kadang telat ngumpul tugas." Rio menatap mataku dengan begitu dalam, seharusnya aku tidak bertemu dengannya saat pulang tadi. "Aku tau kuliah itu capek, tapi kalo kamu semakin santai, nanti kamu ketinggalan. Selama ini aku selalu bantuin kamu, tapi enggak bisa selamanya, kamu harus lulus dengan kemampuan kamu," katanya lagi.
Aku terlihat berpikir, mungkin alangkah baiknya bercerita sama Rio, sudah lama aku tidak curhat. "Aku ngerjain tugas kuliah pacar." Dan inilah awalnya.
"Pacar kamu cowok atau cewek?"
"Cowoklah!"
"Iya terus kenapa kamu yang ngerjain? Laki bukan? Lemah banget!"
"Kenapa kamu kelihatan marah?"
"Ya iyalah, cowok mana yang bisa tega nyuruh-nyuruh kamu kayak gitu. Emang dia jurusan apa?"
"Hukum."
"Anjir!" Rio kaget setengah mati, tapi tidak sungguhan mati, sebab dia tidak jantungan atau sebagainya. Hanya saja, perkataanku seperti mantra yang membuatnya mematung beberapa waktu. "Jurusan kalian jauh banget, Aquila! Gimana bisa Ilmu Komputer mainnya sampe ke Hukum! Gila kamu!" Dia marah-marah lagi.
"Hukum mudah aja kok," kataku.
"Perlu waktu berapa lama kalo sekali ngerjain tugas dia?" tanyanya.
"Seharian? Semalaman?"
"Itu artinya susah! Kalo mudah ya kamu bisa ngerjainnya dalam waktu satu atau dua jam, kamu nyiksa diri, Aquila."
"Tapi aku enggak ngerasa kayak gitu?"
"Kamu bisa capek atau enggak?"
"Iya capek."
"Tandanya kesiksa! Astaga... harus kubenturkan dulu apa ya kepala kamu itu! Kamu bodoh, tolol, enggak waras!"
Rio habis-habisan memarahiku, dan aku hanya menatapnya seperti orang linglung.
"Putusin dia." Dia bicara lagi, dan kali ini membuatku ingin menyiramnya pakai air putih.
"Kenapa kamu ngomong kayak gitu?" Dan tentu aku marah.
"Dia cuma manfaatin kamu, apa kamu enggak sadar? Kamu gila deh kayaknya, aku harus antar kamu ke psikologi."
"Heh! Heh! Manfaatin gimananya? Dia cinta sama aku, dan aku enggak pernah sakit hati gara-gara dia."
"Kenapa dia hebat banget?" Rio terlihat frustasi, mirip sekali seperti adikku saat kehilangan kucing. Wajahnya seperti menahan berak dan kencing. "Apa kamu enggak bisa ngerasain siapa yang perhatian sama kamu, dan siapa yang cuma manfaatin kamu?" tanyanya.
"Manfaatin apa sih, selama dia enggak bikin aku sakit hati, gimana bisa aku mutusin dia?" Itu tanyaku, dan kali ini Rio terlihat sedih.
"Kamu buta," katanya, "Memprihatinkan banget, Aquila. Jujur, aku bener-bener sedih sama keadaan kamu."
Rio kenapa? Apa aku membuat keputusan yang salah untuk berpacaran dengan Arkala? Tapi dia tidak pernah menyakitiku, sekali pun, tidak pernah.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
GANGGU | Garis Tunggu✔️
Short Story"Berarti... 'putus' sama artinya dengan 'tak berada di dunia yang sama ya, Arkala?" Arkala diam dua bahasa, bukan seribu. Karena dia cuma bisa Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Tapi bukan itu intinya, sebab dia, bisa bercinta dengan teman asingku...