Aku orang yang hebat,
kata pacarku.
Lantas... bagaimana menurut
orang lain?—GANGGU; Garis Tunggu
❖
"Aku bisa minta nomor teman kamu enggak?" Arkala tanya begitu saat tiba-tiba menelponku pukul sepuluh malam.
"Untuk apa?" tanyaku.
"Yah... Untuk temenan aja."
Kamu bohong, Arkala. Lirih aku berkata dalam hati, rasanya kecewa sekali jika sudah begini. "Dulu kamu juga gini sama aku." Tentu aku sedikit menolak, rasanya tidak rela kalau Arkala berteman dengan temanku. Apa aku terlalu egois?
"Kamu ngomong apa, Sayang?"
Bahkan kata sayang terasa hambar malam ini.
"Aku cuma mau simpan nomor dia, siapa tau kalau kamu enggak bisa dihubungi, aku tinggal hubungi dia. Kalian 'kan dekat."
Aku menghela napas, sebuah artikel yang sedang kubaca ingin ku-report saja karena kesal. "Kamu enggak sadar aku cemburu?" tanyaku.
"Untuk apa cemburu, Aquila? Kamu pacar aku, dan aku pacar kamu. Kenapa kamu harus setakut ini?"
"Aku takut kamu suka dia, Arkala." Untuk yang satu ini, aku tidak bohong. Dan dia tampak diam beberapa detik.
"Oke deh, enggak jadi."
Dan hanya karena itu saja, aku tersenyum senang. Ya Tuhan, kenapa rasaku padanya bisa selemah ini? Apa dia menggunakan sihir? Bahkan untuk marah dan membentak Arkala saja aku tidak pernah. "Semangat ya! Aku tunggu kiriman tugas aku. Selamat malam pacarku yang cantik." Aku tersenyum lagi, apa hanya aku yang jatuh cinta seperti orang gila?
Bagiku Arkala sangat spesial, bahkan tidak dalam hari-hari tertentu saja. Justru tiap waktunya, tiap-tiap kesempatan saat memikirkannya, dia selalu spesial bagiku. Bisa menjadi pacar Arkala adalah anugerah yang hebat, dan entah kenapa, aku selalu bersyukur di tiap harinya.
Patut jika aku tidak mau sampai kehilangan satu laki-laki seperti ini, karena dia pacar pertamaku, seseorang yang menyatakan cinta dan memujiku karena jadi mahasiswi negeri. "Pengetahuan kamu pasti lebih luas, makanya, aku mau kamu bantu aku biar kita sama-sama sukses. Nanti wisuda di tahun yang sama, kita bakal merayakannya." Janji Arkala sangat manis, dia ingin bahagia dan mengejar masa depan indah bersamaku.
Lantas bagaimana aku bisa menolak? Dia selalu memposting fotoku, dengan caption Pacar Paling Baik. Setiap hari. Hingga aku sangat yakin dia juga mencintaiku. Sekali lagi, apa aku berlebihan?
Aku suka kamu. Pacarku yang ini enggak sebaik kamu, enggak secantik kamu, enggak sepintar kamu. Dia enggak bisa bantu aku buat raih cita-cita. Tapi kamu bisa, 'kan? Kamu bisa bantu aku buat gantiin posisi dia, 'kan?
Aku sangat ingat isi pesan Arkala dua tahun lalu. Dia memujiku, dia bangga padaku, dia membuatku terobsesi untuk menunjukkan diri bahwa aku memang seorang perempuan berkualitas. Aku bisa membantunya, aku bisa mendampinginya untuk meraih harapannya. Maka dari itu, tugas-tugas kuliahnya selalu berada di tanganku.
Siapa yang bodoh karena cinta?
Akulah orangnya.
Tapi siapa yang senang jadi pacar Arkala?
Aku juga orangnya.
Arkala membuatku semangat untuk jadi orang cerdas, aku tidak mau dipandang tidak bisa, maka saat dia menawarkan tugas yang menurutnya susah, aku akan turun tangan membantunya. Membuatnya terpukau, membuatnya bahagia, membuatnya selalu mensyukuri keberadaanku. Rasanya aku gila perhatian Arkala, dia membuatku mabuk dan melupakan dunia yang harusnya kuurus juga.
Aquila, deadline mata kuliah Pemrograman Web 2 besok. Apa kamu udah ngerjain?
Itu pesan teman satu kelompokku, dan akun hanya bisa menjawab sedang dalam proses, padahal yang ada di hadapanku sekarang bukanlah tugas milikku. Tapi milik Arkala.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
GANGGU | Garis Tunggu✔️
Cerita Pendek"Berarti... 'putus' sama artinya dengan 'tak berada di dunia yang sama ya, Arkala?" Arkala diam dua bahasa, bukan seribu. Karena dia cuma bisa Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Tapi bukan itu intinya, sebab dia, bisa bercinta dengan teman asingku...