4 - RAISA BAYINAH

54 16 9
                                    

Pagi yang harusnya penuh ketenangan dan kedamaian berubah rusuh saat seorang gadis tak sengaja menjatuhkan setumpuk piring dari raknya.

Prang!

Prang!

Prang!

Suara memekakkan itu terdengar bersahutan membuat beberapa orang di rumah itu langsung berlarian ke dapur. Sang pelaku, gadis manis itu malah terkekeh tak berdosa.

"Maaf, Mah, gak sengaja hehe...." Cengiran itu membuat wanita muda di depannya mengurungkan niatnya untuk mengomel.

"Lo ceroboh banget sih, Sa," celetuk Juna, kakak keduanya.

"Berisik!"

"Dih, dikasih tau juga." Setelah itu, Juna kembali ke tempat asalnya.

"Kamu lagi cari apaan sih daritadi sampai ngejatuhin piring-piring?" tanya Wulan, mamanya.

"Kunci motor Raisa hilang, Mah, padahal mau berangkat les."

Wulan yang tengah membereskan kekacauan yang diperbuat anak gadisnya itu berdecak. "Kebiasaan deh, ceroboh, naroh barang sembarangan. Kemaren hp kamu yang hilang sekarang kunci motor, besok apa lagi, Raisa?"

"Aduh, Mah, ngomelnya boleh nanti aja gak, kalau kunci motornya hilang aku gak bisa pergi les."

Wulan menghembuskan napas sabar. "Biar Mama bantu cariin."

Kedua perempuan itu mencari kunci motor di sekitar area dapur. Karena tidak ketemu-temu, Raisa bergerak keluar dapur menuju ruang tengah untuk mencari kembali. Tempat di mana kedua abangnya sedang bermain PS.

"Sa, lo ngapain sih?" kesal Juna sebab Raisa terus berlalu lalang di depannya.

"Kunci motor gue hilang."

Ray, kakak pertamanya yang mulai terganggu mengalihkan pandangannya ke Raisa. Ia mengepause sebentar permainannya.

"Loh, Bang, kenapa berhenti?"

"Kasihan Raisa, bantuin dulu gih cariin kunci motornya ntar lanjut main lagi."

Juna merotasikan bola matanya lalu ikut bergabung mencari kunci motor. Ini hampir orang serumah membantu Raisa mencari kunci motornya namun sudah sejam lebih tidak ketemu-temu.

Raisa terus heboh mengerang-erang kunci motornya yang hilang. Air matanya sudah berada di pelupuk, hampir jatuh tapi tak jadi saat Papanya berkata.

"Udah, jangan nangis nanti Papa beliin motor baru."

Suara erangan tadi berubah menjadi pekikan kegirangan yang semakin heboh menembus kaca besar di rumah yang seluas istana itu.

"Seneng banget ya yang mau dibeliin motor baru," gumam Juna dengan nada mencibir.

"Kenapa mau juga?"

"Eits, udah jangan berantem," lerai Wulan.

"Udah, Jun, yuk main lagi." Ray menarik tangan adik laki-lakinya itu cepat-cepat agar tidak terjadi perang saudara.

"Papa gak bohong kan?" tanya Raisa memastikan.

Fandy mengangguk. "Iya."

"Makasih, Pah."

"Papa sama Mama mau ke kamar dulu." Dua orang itu beranjak meninggalkan Raisa yang masih senyum-senyum sendiri.

Raisa menepuk jidatnya yang mulus melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul sebelas, itu artinya ia bolos les hari ini. Namun, rasanya Raisa tidak terlalu menyesali itu yang terpenting ia dapat motor baru.

Yeay!

Raisa masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian yang lebih santai. Saat merogoh saku celana yang dipakainya, alisnya tiba-tiba naik sebelah. Di keluarkannya sebuah benda yang membuatnya terkejut setengah mati.

"Ini kunci motor siapa? Kok bisa ketemu sih... Mampus gue!"

Detik itu juga ia kembali merengek karena tak jadi dibelikan motor baru.

"Definisi fisik tidak mempengaruhi sikap. Cantik-cantik bobrok yang doyan menyembunyikan perasaannya pada orang lain."

------

Alan memarkirkan motornya di samping motor Haikal di sebuah kafe dekat rumah cowok itu. Sebelum pulang, Haikal mengajaknya untuk nongkrong sebentar di kafe ini.

Rasanya sudah lama, Alan bisa hidup sebebas ini. Tanpa sangkar, tanpa aturan yang membuat dirinya harus menghabiskan semuanya berduaan dengan buku sepanjang waktu.

Biasanya, kalau ia ingin keluar seperti ini dengan temannya. Papanya pasti langsung melarang Alan dan berujung mengunci Alan di kamar. Jujur, Alan bingung harus bersikap apa saat itu selain membasahi setiap halaman buku dengan air matanya.

"Lo kenapa kayak orang bingung gitu?" Haikal mengeterupsi kekaguman cowok itu.

Alan terkekeh. "Gue udah lama gak pernah nongkrong kayak gini lagi. Gue kangen hidup bebas kayak gini tanpa aturan gila Papa gue ."

"Tapi lo nginep di rumah gue, emang bokap lo gak bakal marah terus nyariin lo?"

Alan menggeleng.

"Gue gak peduli sama apa yang bakal bokap gue lakuin ke gue nanti. Yang jelas tadi pagi gue udah berusaha meluapkan isi hati gue kalau gue gak suka sama cara dia."

Bola mata Haikal sedikit melebar.
"Terus apa responnya?"

Alan mengedikkan dua bahunya. "Seperti biasa, dia gak pernah peduli sama kesehatan mental gue. Yang dia mau cuma nilai tinggi, peringkat satu, pamer ke rekan kerjanya, dan dia dianggap orang tua paling sempurna di dunia."

Haikal meringis merasa miris dengan kehidupan temannya itu. Ia tidak bisa membayangkan jika itu terjadi padanya. Tapi sepertinya itu tidak akan pernah terjadi pada Haikal karena dari kisahnya saja sudah berbeda bagai langit dan bumi.

Mamanya saja tidak pernah memperhatikannya. Berangkat pagi, pulang malam. Hampir setiap hari tak ada waktu untuknya bertemu dengan Mamanya, kecuali jika ia tiba-tiba terbangun di tengah malam. Atau berbincang ringan tentang nilainya yang terus saja naik, tentang keluh kesahnya menjadi anak kelas dua.

Ah, Haikal tidak mau membayangkan itu lebih jauh.

"Gimana kalo kita switch roles?"

Alan mengerjapkan matanya berkali-kali merasa aneh dengan yang di ucapkan Haikal barusan.

"Maksud lo?"

Haikal tak langsung menjawab, ia mengubah posisi duduknya lalu mendekat ke arah Alan.

"Gue jadi lo, lo jadi gue," tutur Haikal terdengar berat seraya menyentuh dadanya dan dada miliknya sendiri berulang kali.

Alan terdiam cukup lama. Masih sedikit tak percaya dengan ide yang terlampau gila itu. Tapi, sepertinya itu bukan ide yang buruk.

"Gue setuju."

SAPTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang