Baru saja menginjakkan kakinya di teras rumah, suara obrolan kedua orang tuanya dan adiknya terdengar begitu jelas seolah tak ada sekat ruang dan waktu.
Dzon yang berdiri di balik pintu, iseng mendengarkan pembicaraan mereka. Matanya refleks membulat saat namanya tiba-tiba di sebut atau bahkan menjadi topik pembicaraan kali ini.
"Oh iya, Naren, Mama sama Papa sepakat hanya ingin menyekolahkan salah satu dari kamu atau abang kamu untuk kuliah di luar negeri."
"Loh, kenapa gak dua-duanya aja?" terdengar suara Narendra membalas.
"Gak bisa, kuliah di luar negeri mahal. Kita cuma mampu menyekolahkan salah satu di antara kalian kalau mau lanjut kuliah di kelas Internasional."
"Kamu masih mau masuk Cambridge kan, Naren?" Kini terdengar suara Papanya.
Tak terdengar balasan dari Narendra, namun mendengar respon dari Mama sepertinya cowok itu mengangguk.
"Kalau nilai ujian akhir kamu lebih tinggi dari Dzon, Mama yakin kamu bisa sekolah di sana. Mama sama Papa siap biayain sekolah kamu."
Selang, tak ada jawaban dari Narendra.
"Terus Bang Dzon gimana?"
"Dia bisa lanjut kuliah di Indonesia, ITB, UGM atau yang paling deket UI lah."
"Tapi bukannya Bang Dzon pengin banget kuliah di Jepang?"
"Dia bisa tetep kuliah di Jepang, itu pun kalau nilai dia lebih bagus dari kamu. Bukannya dari kemaren nilai dia masih di bawahmu."
Suara dentingan antara piring dan sendok terus beradu. Sepertinya mereka sudah hampir selesai makan.
Tanpa menunggu lagi, Dzon langsung masuk tanpa mengucapkan salam. Ketiga orang di meja makan itu tampak terkejut dengan kehadiran Dzon yang tiba-tiba.
"Loh, kamu udah pulang les, Dzon?" Di antara mereka, Mama lah yang paling terkejut.
"Kok Papa gak denger suara mobil kamu, Dzon?"
Dzon tersenyum kecut. "Papa gak denger kali, keasikan ngobrol."
Narendra yang mendapat lirikan dari Dzon langsung salah tingkah apalagi Dzon menatapnya tepat ketika mengucapkan kalimat "keasikan ngobrol." Dzon tau betul perubahan ekspresi itu.
Mereka memakai topeng.
"Dzon, kamu udah makan?" tanya Miranti, Mama Dzon berusaha meredakan rasa canggungnya.
Dzon menggeleng.
"Pah, Mah, tadi Narendra gak masuk les," ucap Dzon seperti mengadu.
"Loh, kamu gak masuk, Naren?"
Kini, tatapan di meja makan itu terfokus pada muka Narendra yang berubah pucat. Entah, ada dendam apa sampai Dzon mengadukannya.
"Maaf Pah, Mah, tadi Naren main ke rumah Jiko buat latian skateboard karena keasikan sampai lupa kalau ada les."
Dzon dapat merasakan ada reaksi yang berbeda dari kedua orang tuanya. Muka keduanya tampak biasa aja tak ada tanda-tanda kecewa atau marah.
"Ya udah gak apa-apa. Lupa itu wajar," sahut Joe.
Dzon menghela napas. Sudah tidak ada yang bisa di harapkan. Ia lebih memilih berbalik menuju kamarnya, namun Miranti langsung memanggilnya dengan muka yang sedikit bersalah.
"Dzon, maaf ya Mama kira kamu bakal makan di luar jadi lauknya tadi Naren habisin karena dia keliatan laper banget."
Dzon tak bereaksi, ia hanya menatap datar tiga orang itu. Ingin marah tapi ia tak punya hak.
"Maaf, Bang," suara Naren terdengar.
"Sans."
Dzon langsung berjalan menuju kamarnya.
------
Dzon menyecroll layar ponselnya hingga kalimat motivasi itu tidak bergulir lagi. Dzon membacanya sekali lagi lalu segera menutup benda pipih itu.
Tubuhnya diputar 180 derajat menghadap langit-langit kamar dengan kepala yang ditopang dengan dua lengannya. Dzon menghembus napas panjang.
Ia bingung apa yang harus ia lakukan saat ini. Kalimat yang keluar dari mulut tiga orang di meja makan tadi berefek pada sistem kerja otaknya. Dzon tak bisa untuk tidak memikirkan itu.
Bagaimana mungkin kedua orang tuanya terkesan pilih kasih padanya? Apa sebab ia anak pertama lalu ia harus mengalah untuk adiknya?
Sejak kapan peraturan itu berlaku. Dan sejak kapan pula ia harus mempermasalahkan mimpinya. Ah, Dzon benci situasi seperti ini.
"Oh iya, Naren, Mama sama Papa sepakat hanya ingin menyekolahkan salah satu dari kamu atau abang kamu untuk kuliah di luar negeri."
"Kalau nilai ujian akhir kamu lebih tinggi dari Dzon, Mama yakin kamu bisa sekolah di sana. Mama sama Papa siap biayain sekolah kamu."
"Kuliah di luar negeri mahal. Kita cuma mampu menyekolahkan salah satu di antara kalian kalau mau lanjut kuliah di kelas Internasional."
"Dia bisa lanjut kuliah di Indonesia, ITB, UGM atau yang paling deket UI lah."
"Jepang," lirihnya, "Gue masih bisa ambil teknik industri di Jepang asal nilai ujian gue lebih tinggi dari Naren."
Dzon tersenyum. "Gue harus lebih rajin daripada Narendra."
Cowok itu langsung bangkit dan mengambil buku-buku pelajarannya, menumpuknya menjadi satu lalu membaginya menjadi tiga. "Ini buat pagi, siang, dan ini malem."
"Masih ada tujuh bulan lagi sebelum waktunya ujian."
Dan detik itu juga adalah saksi betapa ambisnya Dzon, cowok si paling idaman di sekolah untuk bisa kuliah di Jepang melawan adiknya sendiri untuk mendapat kesempatan itu.
"Dia tau dia sudah di anaktirikan, kini keberhasilannya sudah menjadi tanggung jawab kaki dan tangannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
SAPTA
Teen FictionSapta artinya tujuh. Alan, Haikal, Aulia, Raisa, Dzon, Narendra, dan Zaki adalah tujuh besar paralel di sekolahnya. Tanpa banyak orang tau, mereka belajar di tempat les yang sama. Di ajar oleh guru les yang sama. Mendapat metode belajar yang sama. D...