0.1 YOUR SMELL

35 6 1
                                    

Aroma steak tenderloin menguar menyapa hidung semua orang di ruangan kecil bedinding putih tulang itu dengan baik hingga dapat membuat cacing berdemo di dalam perut.

Jika dalam keadaan normal Bintang akan langsung duduk lalu memakan daging wagyu itu sebelum dingin. Namun, lebih dari apapun, sungguh, saat ini dia hanya mencoba menjaga agar jantungnya tidak melompat dari tempatnya sebaik mungkin.

Mungkin karena cuaca tidak baik – hujan mengguyur Seoul – atau karena aroma lavender seorang lelaki di hadapannya yang membuat jantungnya tidak terkendali. Dia harap begitu, saat matanya juga menatap dua orang polisi yang sedang menelan ludah di pojok ruangan dengan wajah serius menatap steak panas di meja. Sesekali menatapnya.

Bintang diam di garis pintu melihat situasi aneh di hadapannya. Membuat jarak aman dari orang-orang asing itu. Apalagi orang berwajah bodoh jangkung dengan wajah pucat di pojok lain ruangan.

Semakin diperhatikan malah terlihat seperti seorang raja dengan dua orang prajurit di sisi kanan dan pembawa baki makanan di sisi kiri.

Hembusan napas dalam keluar setelah beberapa detik diam, Bintang menyerah untuk mencerna situasi yang ada. "Sebenarnya ada apa ini?" tanyanya pada pemilik aroma lavender.

Tatapannya menajam melihat orang yang ditanyai hanya diam. Jika ini lelucon, Bintang berencana tertawa sekeras mungkin. Untuk beberapa saat 'sang raja' enggan menjawab kalau saja lelaki jangkung itu tidak menegur dengan sikut.

Good job pembawa baki!

"Kau menyukaiku bukan?" tanyanya dengan wajah datar. Tatapannya kosong dan dingin. "Kau akan ditahan karena terlalu menyukaiku."

"" ""

3 jam sebelum pertemuan.

Hari ini Bintang muncul di pagi hari menyusuri jalanan di kota Seoul. Hatinya bertekad untuk menjadi satu-satunya yang bersinar. Untuk itu dia bangun lebih pagi, olahraga lebih keras, dan setelah berendam lebih lama dia pergi ke salon tidak jauh dari apartemennya di Hannam.

Lonceng berbunyi kala tangannya membuka pintu – sedikit kaget – membuatnya malu karena merasa terlihat udik. Maklum ini pertama kalinya dia datang ke salon.

"Gaya seperti apa yang kau suka?" tanya seorang penata gaya di sana setelah mempersilahkannya duduk menghadap kaca besar dengan rak penuh alat makeup.

"Aku tidak punya gaya khusus." Jawabnya santai. " Hanya saja akan lebih baik jika terlihat natural. Dan coba cocokkan dengan pakaian yang kukenakan."

Penata gaya itu menatap Bintang dari ujung rambut hingga ujung kaki. Menimang-nimang gaya yang cocok dengan sang gadis. Perawakannya tidak kecil tapi juga tidak besar, mengenakan mini dress hitam dengan bagian pundak terbuka dan lengan transparan pendek. Tidak mewah namun terlihat elegan.

Untuk lebih jelas, penata gaya menyibak rambut panjang hitamnya memperlihatkan wajah bulat dengan mata besar yang cantik.

"Arraseo!(Aku mengerti!) Kurasa aku akan memakaikan warna netral. Coklat tua sepertinya akan cocok." Setelah mendapatkan anggukan persetujuan, penata gaya itu memulai pekerjaannya.

Mereka memiliki awal yang sulit untuk memilih warna foundation untuk gadis dengan warna kulit tan di tengah warna kulit putih. Untungnya selama proses 'mencari'—menyatukan warna-warna – seseorang datang dan mengajaknya mengobrol.

Awalnya hanya tanya jawab biasa hingga Bintang memuji salon itu dan gadis berlesung pipit – orang yang mengajaknya mengobrol – berubah antusias dan langsung menceritakan sejarah salon.

LIFE - doesn't work that wayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang