Jakarta 1992
Aku cemberut masam karna ketinggalan film favorit yang setiap sabtu-minggu tayang di televisi.
Bunda datang menghampiri dengan semangkuk bubur ayam hangat di kedua tangannya. "Ayo dong Dayra jangan cemberut gitu, besok kan masih tayang film nya."
Aku membuang muka kearah jendela luar. "Gimana sih bunda, besok kan hari senin. Sedangkan film nya cuma tayang setiap sabtu-minggu. Masa iya aku harus nunggu seminggu lagi buat menonton film itu."
Namaku Dayyra. Dayyra Deoline Cahyaningrum. Hal yang paling membuatku kesal adalah ketinggalan acara-acara terpenting dalam hidupku. Kalian semua pasti meremehkan "Ah masa cuma menonton film termasuk hal terpenting" Kalian gak akan pernah bisa mengerti bahkan kalau aku menjelaskannya panjang lebar, karna yang ada di pikiran kalian hal terpenting itu hanya sebuah 'momen' bukan sebuah kisahnya.
"Ketinggalan satu episode juga gak ngaruh ke semua ceritanya ra." Bunda menaruh mangkuk bubur ayam itu diatas mejaku.
"Makan dulu bubur ayamnya, selagi masih hangat."
Aku menoleh kearah bunda yang sibuk mencari Chanel siaran berita di televisi tabung. "Lagian kenapa sih bunda gak bangunin aku?"
"Kamu kan terapi sampai tengah malam, gak tega kali bunda bangunin kamu pagi-pagi."
Aku mendengus. "Besok bilang ah bun ke dokter Karmila, terapinya jangan malam-malam."
Sudah genap sepuluh tahun aku berada di sini. Di rumah sakit arthamedika. Sudah genap sepuluh tahun juga, aku gak tahu rasanya sekolah secara normal, berteman dengan teman sebaya, dan berpiknik di pantai.
Alasannya? ya karna aku gak bisa pergi jauh-jauh dari rumah sakit ini. Karna tangan kananku yang selalu mengandalkan selang infus mangkanya aku harus mikir seribu kali kalau berpergian keluar.
Aku juga gak tahu penyakit apa yang sedang aku derita, karna bunda gak pernah menjawab semua pertanyaanku tentang penyakit ini. Aku pun sebenarnya tidak terlalu peduli, yang terpenting aku masih bisa menjalankan hidupku sesuai apa yang sudah aku list.
"Iya nanti bunda bilang." Ujar bunda dengan mata yang masih fokus kearah layar televisi yang menampilkan berita tentang masalah ekonomi rakyat yang turus drastis.
Aku menyuap bubur itu dengan tidak berselera. "Bun, ayah pulang kapan?"
Ayahku pilot. Pilot antarnegara. Yang kadang pulang setahun cuma sepuluh kali, atau bahkan cuma empat kali setahun.
Bunda menengok ke arahku. "Tadi sih ayah nelfon, katanya pulang bulan depan."
Aku melotot kaget. "Bunda! Bunda kenapa gak bilang dayra kalau ayah tadi nelpon? dayra kan juga mau telfon ayah!"
Bunda nyegir lebar. "Bunda kan udah bilang, tapi tadi kamu lagi ngambek. Bunda ngomong aja gak di dengerin."
"Terus kata ayah apa?" Tanyaku dengan nada ketus.
"Kata ayah, ayah minta maaf gak bisa rayain ulang tahun kamu besok. Soalnya ayah masih harus terbang ke Singapura."
Suasana hatiku tambah buruk. "Selalu aja ayah kayak gitu, gak pernah bisa datang di hari ulang tahunku."
Bunda menghela nafas pelan sambil mengelus rambutku. "Ngertiin ayah sedikit ya, ra?"
"Aku selalu ngertiin ayah, tapi kenapa ayah gak pernah ngertiin aku?"
"Bunda yakin ayah pasti mau banget ngerayain ulang tahun dayra bareng-bareng, tapi waktunya aja yang bentrok." Bujuk bunda.
"Tadi kata ayah juga, ayah udah siapin kado sepuluh kaset dvd Crishye Sama lima buku novel."
KAMU SEDANG MEMBACA
memeluk bulan sabit
Teen FictionKamu terlalu tabu untuk dibicarakan. Maka dari itu, aku menulis untuk menyederhanakan sosokmu yang terlalu sulit untuk ku deskripsikan. -Dayyra Deoline Cahyaningrum