Dia lagi

77 74 35
                                    

Pagi nggak begitu sejuk, aku buru-buru ke sekolah dengan kecemasan berlebihan. Mikirin tugas yang belum jadi membuat hatiku cemas. Pasti deh bakalan kena strap.

"Hai kamu. Tunggu...!" Seruan kecil itu cukup mengejutkan aku di pagi hari yang nggak begitu bersahabat. Bayangin aja sampai aku memutuskan untuk berangkat ke sekolah, buku tugasku yang masih belum ketemu juga.

Semalaman aku habiskan untuk mencari buku itu dengan sistem main bongkar pasang. Semua buku-buku yang siap dimasukkan ke gudang terpaksa dikeluarkan lagi dari kardusnya. Tapi tetap aja nggak ketemu juga, membuat aku agak ciut menginjakkan kaki di sekolah pagi ini.

Sempat kepikiran untuk tidak datang ke sekolah dengan satu alasan tiba-tiba saja semua persendianku terasa pegal dan nggak begitu nyaman untuk digerakkan sampai ke sekolah.

Biasalah bagi wanita, terkadang cukup akrab dengan keadaan ini di saat menunggu tamu bulanan dengan sedikit perasaan harap-harap cemas.

Pagi ini ku putuskan untuk tetap ke sekolah dengan menyimpan satu pertanyaan bagi sahabat-sahabatku Ayu, Rania, Maudya, cukup rasionalkah orang yang bisa berbangga masuk dalam lima besar di sekolah terpaksa harus menyalin pekerjaan orang lain untuk menyelamatkan diri dari sistem setrapan pak Wijaya? Dan aku percaya ketiga sahabatku itu rela meluangkan waktu mereka untuk membahas persoalan itu ketimbang ngerumpi sebelum pelajaran dimulai.

Oh ya..., Seruan kecil itu mampu menghentikan langkahku, seperti pagi-pagi sebelumnya di saat mendengar suara anak-anak cowok di komplekkan yang memberanikan diri menyapaku. Karena merasa mereka nggak pernah penting, maka aku hanya membalas dengan mengangkat alis saja. Dengan sapaan kecil tadi, aku seperti mengenal suara itu.

Aku Masih sempat menyapu pandanganku, ternyata tidak ada orang selain aku dan orang yang menyapa tadi. Takut malu aja, kalau sekiranya seruan itu bukan untukku. Mau ditaruh di mana wajahku.

Setelah merasa panggilan kecil itu memang untukku, barulah Aku menoleh ke arah mana suara tadi terdengar. Dan ternyata benar dia itu Prince, cowok yang membuat irama jantungku selalu tidak beraturan kalau bertemu dengannya. Sekarang aja detakannya cukup tinggi.

Tenang tenang, Nadya. Kamu itu cewek manis, hadapi aja dengan kemanisan kamu, aku menghibur diri.

"Pagi... Kamu mau ke sekolah ya?" Pertanyaan paling bodoh dari seorang cowok seperti Prince. Sudah tahu di badanku menempel seragam putih abu-abu, masih aja nanya. Memangnya dengan mengenakan seragam seperti ini Aku mau shopping apa? Belum lagi tas sekolah yang penuh berisi buku-buku.

"Lo nanyanya sama siapa? Gue?" Ucapku cuek juga sangat bodoh. Aku masih belum yakin kalau Prince benar-benar ngajakin aku ngomong sepagi ini.

"Nggak... Bukan sama kamu, tapi sama bayangan kamu. Soalnya tadi aku sempat melihat sekelebat gitu aja. Sekarang di mana ya?" Prince cukup lihai mempermainkan kata-kata. Aku merasa dia mulai mempermainkan aku. Ledekannya terkesan gila.

"Udah. Lu cari aja bayangan itu. Terserah lo mau apain. Permisi!" Aku bermaksud meninggalkan Prince. Tingkahnya mulai membuatku kesal padanya. Belum juga redah kejengkelan ku itu, kini dia mau menambahnya lagi dengan satu kejengkelan.

"Hei, tunggu. Jangan jutek gitu, jelek tahu... Eh kamu itu anak SMA Alexandria juga ya?"

Lagi-lagi kakiku berhenti. Pengen sekali untuk cepat-cepat pergi dari hadapan cowok nyebelin itu, tapi entah kenapa hatiku tidak rela juga untuk melangkah lagi. Aku memicingkan mata dengan alis sedikit berkerut.

"Biarin jelek. Lo sendiri juga nggak begitu cakep. Tapi kok lo tahu gue anak SMA Alexandria?"

"Seragam kita sama. Mataku juga masih belum rabun untuk ngebaca beds di baju kamu."

FIRST LOVE  [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang