Part 6

292 16 0
                                    

David kembali masuk dan mendapati Olivia sedang terduduk lemas di lantai. David tahu, ketegaran kekasih yang masih dia cintai di depan orang-orang itu hanyalah kepalsuan. Olivia begitu bersedih.

David begitu merasa bersalah. Dia tak menyalahkan Olivia jika gadis itu kini membencinya. Tapi dia masih berharap Olivia masih mau memaafkan dan menerimanya kembali.

"Jangan bermimpi!" Olivia mencebik saat David mengutarakan harapannya.

"Aku akan bersabar menunggumu, Oliv. Aku tidak minta sekarang. Kau bisa menanangkan dirimu. Tak perlu menjawabnya saat ini juga."

"Sampai mati pun aku tidak akan pernah kembali padamu!" Ingin sekali rasanya Olivia meludahi wajah pengkhianat itu.

Mati-matian dia mempertahankan kehormatan, meski dengan mengorbankan keselamatannya sendiri. Hal itu hanya demi bisa memberikan kesucian pada pria yang akan menikahinya kelak. Tentu saja pada David yang saat itu sangat dia cintai.

Tapi kini, perasaan itu benar-benar telah lenyap. Yang ada hanya rasa benci dan juga amarah. Olivia tak berniat memaafkan David sampai kapan pun.

David hanya terdiam menyesali diri.

"Istirahatlah, Oliv. Aku akan mengantarmu besok." David mencoba menyentuh pundak gadisnya. Namun Olivia segera menghindar.

Gadis berhidung mancung itu bangkit lalu berjalan melewati David. Dia bahkan tak berniat menyapa seluruh keluarga David yang selama ini begitu ingin dia kenal. Olivia memutuskan pulang saat itu juga.

Tiket kereta malam telah habis terjual. Olivia harus menunggu hingga esok pagi. Perjalanan jauh membuatnya terlelap di kursi tunggu stasiun. Dalam tak sadar, David muncul dan menyelimutinya dengan jaket. Dengan hati yang dipenuhi rasa sesal, David menjaganya hingga pagi.

*

Olivia tiba di kota sebelum tengah hari. Dia kembali ke rumah dan membersihkan diri. Masih ada beberapa jam sebelum jam masuk kerja. Kebetulan dia ada di jadwal sore hari ini. Namun demi menjelaskan pada menejer soal keabsenannya beberapa hari ini, Olivia harus tiba lebih awal sebelum jam tiga sore.

"Kau pikir ini perusahaan keluargamu?" Bu Jesi berang saat melihat Olivia datang.

Wanita empat puluhan itu marah besar saat tahu dia dan Silvia tidak masuk secara bersamaan. Olivia bungkam saat bu Jesi menanyakan alasannya. Terlalu rumit untuk dia jelaskan.

Dia tidak mungkin mengatakan kalau dirinya diculik, membelah kepala orang, lalu pergi menghancurkan pernikahan seseorang yang telah dia anggap sebagai saudara sendiri.

Untuk itu Olivia bersikap pasrah. Melihat kemarahan bu Jesi, dia hanya bisa berharap wanita itu memberikan gajinya, lalu pergi dari tempat itu.

"Maafkan aku, Bu." Suara Olivia sedikit tercekat. Di saat seperti ini, jelas gadis itu merasakan kesedihan saat meninggalkan pekerjaan yang sudah satu tahun ini dia jalani.

Dia merasa ingin menangis. Tapi tetap tak ingin terlihat cengeng di depan siapa pun. Kerasnya hidup sebagai yatim piatu sejak kecil harus menjadikan pribadinya kuat. Dia tidak boleh terlihat lemah.

"Aku akan mengundurkan diri." Olivia mengembuskan napas kecewa.

Bu Jesi menatap gadis di hadapannya dengan iba.

"Lain kali jangan bawa urusan pribadi ke dalam pekerjaan."

"Eh?" Olivia menatap heran.

"Semua orang tahu saat Silvia memamerkan bahwa dia mengencani kekasihmu. Aku pikir kalian sengaja menghilang dan saling membunuh." Bu Jesi berkata dengan santai.

GADIS PEMBUAT ONAR TUAN RONANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang