1. Luka Tersembunyi

3K 79 0
                                    

Hari ini, Kamis, adalah hari mos terakhir bagi calon siswa baru SMA Negeri 1 Angkasa. Memasuki jam makan siang memiliki titik puncak atmosfer panas yang dengan mudahnya membuat perut mengeluarkan suara alami, suara itu menuntut kepekaan untuk segera ditangani. Itulah yang dirasakan Lao Laylio, seorang calon siswa baru kelas 10.

Ruang kelas yang akan melaksanakan makan siang bersama terasa tegang sampai tak ada yang berani bergerak sedikitpun. Para calon siswa duduk tegak bak casis abdi negara yang sedang dalam masa pendidikan.

"Kamu, yang pojok kanan belakang, pimpin do'a," perintah osis senior sambil menunjuk sasarannya.

"Lao, Kak?" Lao menunjuk dirinya sendiri karena merasa orang yang dimaksud osis seniornya itu adalah dirinya.

"Iya, siapa lagi? Saya perhatikan dari awal mos ini berjalan sampai sekarang kamu sangat pasif." Osis senior itu belum tahu saja kalau Lao memang seorang Sub. Ya pasti pasif lah, bawaan dari sananya.

Lao mengangguk cepat. Jika disitu ada Jeff Jaguar, sudah pasti dirinya berada di bawah kukungan masternya itu.

"KAK BIMO!" ucap Lao lantang sambil mengangkat tangan kananya untuk memulai pimpin do'a.

Tapi, osis senior bernama Bimo itu malah asyik mengobrol dengan osis seangkatannya dan tak kunjung menyahut, seperti sengaja mengabaikan seruan Lao yang menurut Lao sendiri sudah sangat lantang.

"KAK BIMO!" ulang Lao sekali lagi.

"Bimo, itu ada yang panggil. Sahut kali," sahut Sonya, osis seangkatan Bimo.

"Masa sih ada yang panggil gua?" tanya Bimo tak percaya.

"Okay, gua tanya ke yang lain. Kalian pada denger ada yang manggil saya gak?" Lagi-lagi Bimo mempermainkan bocah polos itu.

"Siap, Tidak!" ucap teman-teman Lao serentak. Yang duduk di depan Lao juga bilang hal yang sama, mungkin untuk mencari aman. Ya, Lao duduk seorang diri di pojokan.

"Nah. Berhubung gak ada yang denger, kamu ulang sekali lagi," ucapnya pada Lao.

"KAK BIMO!"

"ULANGI LAGI, SUARA KAMU KAYAK SUARA BANCI!" Suasana semakin tegang.

Lao yang memang tidak terbiasa dibentak, mulailah matanya memerah siap mengeluarkan buliran air mata.

Dia menggigit bibir dalamnya untuk menetralkan sesak sakit hatinya.

Bimo berjalan arogan menghampiri bangku Lao.

"Coba berdiri," perintah Bimo sesampainya disana. Lao itu penurut, jadi pasti ia langsung menuruti perkataan kakak kelasnya itu.

"Kamu nangis?" tanya Bimo memastikan.

Lao menggeleng berbarengan dengan air matanya yang berjatuhan.

"KAMU NANGIS, BANCI?!"

'PLAK'

Semua menganga kaget mendengar suara tamparan yang teramat nyaring mendobrak gendang telinga.

Para osis yang berdiri di depan kelas pun tak menyangka ketua osisnya melakukan hal sejauh ini, karena kesepakatannya tidak boleh ada kekerasan fisik.

Lao semakin menambah tekanan pada gigitan bibir dalamnya, sudah dipastikan salivanya bercampur darah.

"Kalian lanjutkan!" perintah Bimo pada teman-teman seangkatannya. Ia berbalik meninggalkan Lao yang sedang menunduk. Dan tak tahu malunya ia duduk di bangku guru tanpa wajah berdosa.

"Lao, duduk saja," ucap Bara sebagai ketua angkatan kelas 12. Seharusnya Bara tidak ada disini karena ini acara yang hanya diselenggarakan OSIS, sedangkan dirinya bukan anggota OSIS. Tapi berhubung dia seorang ketua angkatan, ia harus ikut serta mengeksekusi calon adik angkatannya.

"Ya, silakan makan. Tidak perlu ada perwakilan pimpin do'a, pimpin diri masing-masing aja." Gestur tubuhnya berliak-liuk tegas saat berbicara.

Lao masih sesenggukan dalam acara makannya. Ditambah, pipi lebam berbentuk telapak tangan seperti warna lebam hasil pukulan, bukan tamparan, karena sangking kerasnya tamparan Bimo. Haishh.... Jika saja Jeff melihat, atas nama Bangsa Indonesia dia bersumpah tidak akan melepaskan bocah tengil sialan itu sampai ia melihat si Bimo sekarat dengan mata kepalanya sendiri!

"Jeff...," lirih Lao. Untung saja lirihannya terendam oleh suara dentingan alat makan teman-temannya.

Satu menit yang lalu acara mos sudah diakhiri menandakan mereka yang satu menit sebelumnya masih dilabeli calon siswa, sekarang sudah dinyatakan menjadi siswa resmi SMA Negeri 1 Angkasa. Pasti semua membuang nafas berat merasa lega karena berakhirnya mos yang sangat menjengkelkan. Tentu saja itu berlaku juga untuk Lao yang sedang berjalan ke arah gerbang dengan kepala tertunduk.

'Dug'

Lao berhenti berjalan tanpa berniat mengangkat kepalanya sedikitpun.

"Kok jalannya sambil nunduk gitu, hm?" suara bariton yang Lao hafal di luar kepala. Lao mengangkat kepala untuk memastikan kebenaran dugaannya.

"Jeff?"

Tenang saja, masih belum ketahuan Jeff kok. Kan pakai masker dan hoodie berkupluk.

"Ayo pulang." Jeff meraih tangan kiri Lao, menariknya lembut dalam genggaman.

Agak jauh dari wilayah sekolah, Jeff berhenti berjalan. Lao menatap bingung.

"Ayo naik." Seperti biasa. Jeff jongkok untuk menggendong sub-nya di punggung lebarnya. Inginnya sih dia menggendong Lao dari Lao keluar kelas, tapi mana bisa. Yang ada nanti Lao kena bully gara-gara ngehumu di sekolahan.

Mereka berdua berjalan kaki dari sekolah sampai rumah, begitupun sebaliknya. Jeff itu pria menengah kebawah. Tak memiliki mobil ataupun motor. Rumah saja masih ngontrak.

Ya,  Jeff tak pernah memiliki rumah pribadi. Warisan pun tak ada karena sejak kecil sampai kelas 8 Sekolah Menengah Pertama, ia tumbuh di panti asuhan. Saat kelas 8 SMP, ia memberanikan diri hidup di jalanan.

Lao tersenyum dibalik maskernya, terlihat dari kerutan mata ketika ia tersenyum.

Jeff menggendong Lao yang memiliki bobot 77 kilogram tanpa mengeluh sedikitpun. Tapi, berat badan Lao penuh dengan massa otot, bukan lemak!

Merasa dunia milik berdua. Itulah kalimat yang cocok untuk mereka saat ini dan saat-saat selanjutnya.

Young Boy n' Gentleman [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang