---
°°°
Mentari pagi di cakrawala menembus celah jendela yang sedikit tidak tertutup gorden. Dering suara jam weker bergetar di atas meja sebuah kamar. Setelah terbangun dari tidurnya kemarin malam, pria bongsor beralis tebal bergegas masuk ke kamar mandi.Dilihatnya dari depan cermin, beberapa rambut tipis kecil mulai bermunculan di beberapa bagian wajahnya. Muka Kinn yang telah terbasuh dari kran air mengalir sudah siap untuk ia cukur sendiri.
Dengan tangannya, dioleskan krim pencukur ke area dagu dan bagian kumisnya yang tampak mulai menampakkan diri. Kemudian Kinn memulai kegiatan pertamanya itu menggunakan alat pencukur. Setelah selesai, dengan segera ia membersihkan wajahnya dengan air dan sabun muka yang ada di wastafel.
Cklek.
Seseorang yang lain tiba-tiba saja telah masuk ke kamarnya. Itu adalah adiknya, Porchay Tinnasit Theerapanyakul. Sang adik yang telah siap hari ini untuk merayakan dirinya diterima Kampus impian bersama kakaknya, lekas saja memanggil Kinn yang telah menghidupkan shower di dalam kamar mandi.
"Kak Kinn! Aku telah siap, apakah kau sudah selesai mandi?" pekik Porchay dengan kedua tangan menyatu terbuka di dua sudut luar bagian mulutnya.
"Huh? Apa itu kau, Chay? Belum! Tunggulah, kau bisa duduk dulu di meja kerjaku disana!" sahut Kinn setelah mendengar suara adiknya dari balik pintu kamar mandi.
"Ya, oke, Kak!" jawab sang bungsu.
Saudara yang lebih tua tentu saja bergegas menggosokkan sabun ke seluruh tubuhnya agar cepat selesai. Sedangkan Porchay telah berbalik menuju kursi tempat meja kerja sang kakaknya berada.
Dari jauh, atensi mata Porchay menatap sesuatu yang asing. Terdapat di atas meja, dua bungkusan plastik bening yang berisi sesuatu berwarna putih. Segera ia bergegas duduk dan mengambil salah satu bungkusan itu.
'Apa ini? Seperti sebuah garam atau gula? Atau sesuatu yang lainnya? ' benak Porchay bertanya pada dirinya sendiri.
Hidungnya mendengus bau benda yang ada di tangannya. Tidak tercium bau apapun. Tangannya meraba-raba lagi, yang dirasakan lebih bagai kumpulan kristal kecil halus di dalam sana.
Sang adik merasakan sesuatu keganjilan setelah merasakannya. Dia juga menemukan secarik kertas tipis. Perlahan Porchay membuka bungkusan kecil itu. Dengan ragu-ragu, tangannya merogoh kertas kecil tersebut diantara serbukan kasar putih. Sebuah alamat tertulis lengkap pada lembaran kertas yang sekarang ia pegang.
Bersamaan dengan itu, Kinn telah menyelesaikan mandinya. Dia bertatapan dengan Porchay yang telah menunjukkan kekecewaan dan kemarahan dari balik wajahnya.
"Kak Kinn.. Kau bisa jelaskan tentang ini? Apa yang sedang kupegang sekarang?" tanya Porchay yang meminta kejujuran pada kakaknya sambil memperlihatkan bungkusan itu padanya.
"Chay..Itu--" jawab Kinn terputus.
Betapa kagetnya, bahwa sang adik menemukan benda tersebut. Begitu teledornya, ia lupa untuk menyimpannya tadi malam.
"Itu apa, kak? Aku telah besar, aku jelas sangat tahu benda apa yang ada di tanganku ini.."
Kinn hanya bisa diam. Tubuhnya mematung mendengar ucapan adiknya.
"..Kau selama ini bekerja mengedarkan barang haram ini? Ya kan? Mengakulah, kak Kinn!" pekik Porchay yang sekarang tengah menarik-narik handuk kecil yang berkalung di leher kakaknya itu.
Yang lebih tua tentu saja canggung menoleh pada adiknya sendiri. Matanya tidak sanggup melihat Porchay yang telah menitikkan air mata di depannya.
"Bisa--kah kakak..tidak melakukan..ini lagi? Jika kakak tidak berhenti.. Aku, adikmu..ini..tidak ingin bertemu kakak lagi!" teriak Porchay dengan mulutnya yang sedari tadi bergetar.
Tangis pecah sang adik segera keluar memenuhi wajah imutnya. Porchay mendorong pelan tubuh Kinn yang masih berdiri diam mengalihkan pandangan. Segera saudara yang lebih tua dengan lembut meraih kembali tangan yang lebih muda. Tetapi, bagaimana pun kekecewaan sang adik tidak bisa untuk membujuknya.
Dengan paksa, tubuh Kinn didorong oleh Porchay lagi tetapi secara lebih kasar. Derai air mata tertetes di bawah pelupuk mata Kinn. Dia menatap sang adik yang telah melangkah pergi keluar dari kamar.
Kinn segera bangkit dan membuyarkan air mata di sudut pipi dan matanya. Segera ia meraih sebuah ponsel yang tergeletak di atas tempat tidur. Sebuah panggilan telepon segera dia tunggu untuk bergegas diangkat oleh orang lain.
"Tn. Bisakah saya berhenti dari pekerjaan ini?" ucap Kinn setelah nomor telepon itu telah mengangkat teleponnya.
'Oh, kau ingin berhenti? Apakah pekerjaan ini tidak menarik bagimu?'
"Aku tidak bisa melanjutkan untuk menjadi pengedar lagi, Tn. Lebih baik, aku mencari pekerjaan yang lainnya."
"Huh. Begitukah? Kau masih ingat lembar kertas yang kau tandatangani? Apakah kau tidak membaca konsekuensinya?"
"Aku ingat, Tn. Tetapi, seseorang memintaku untuk segera berhenti. Aku ingin dia tidak kecewa lagi padaku. Tn, aku sangat memohon agar kau bisa melepaskanku."
"Hahahaha. Kau bersujud dan menjilati kakiku pun tidak akan membuatku untuk memperhentikanmu."
"Aku mohon..Aku akan membayarnya dengan diriku jika begitu, Tn."
"Jadi, kau bahkan lebih rela untuk meletakkan lidah busukmu itu ke kakiku? Huh, kau menjijikkan."
"Aku terpaksa, Tn. Orang itu mengatakan tidak ingin menemui aku lagi."
"Kau ingin hidupmu tidak tenang, pesuruh Kinn? Huhuhu..Sangat menyedihkannya dirimu."
"Aku tetap bersikukuh untuk berhenti. Maafkan aku. Kali ini aku memaksa bagaimanapun caranya."
"Baiklah, jika begitu lihatlah bagaimana keadaan hidupmu nanti. Terima kasih, Kinn Phakphum Theerapanyakul."
Panggilan telepon itu segera dimatikan. Dengan cepat, Kinn setelah itu bergegas keluar untuk mencari Porchay. Sayangnya, adik tercintanya itu tidak ada lagi disana. Tidak ada lagi berada di rumah.
----
TBCJangan lupa vote + comment
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cessair Against The World
FanfictionGenre : Crime, Thriller Deskripsi : Porsche dan Pete, dua psikopat yang selalu susah ditangkap oleh kejaran polisi, Cop Vegas Wichapas. Dengan bantuan dari detektif swasta, Kim Satur, dia berusaha untuk memecahkan kasus pelik pembunuhan berantai. S...