Lembar 3 - Lembaran Lamunan

9 3 1
                                    


Saat itu, tidak ada yang terasa nyata.

Seolah hidup yang kujalani berada dalam sebuah simulasi. Setiap aku menapakkan kaki, tanah tak memberi beban pada anggota tubuhku. Seolah aku melayang. Seolah setiap manusia dan semua makhluk hidup yang terlihat hanyalah lewat begitu saja, tiada yang nyata dari segala yang kusentuh dan kuraba.

Kehidupan? Apa itu kehidupan? Aku hanya bocah yang tersesat dalam sepasang mata seseorang. Seseorang yang tak lagi bersamaku dalam simulasi ini, seseorang yang meninggalkan lubang dalam hati. Seseorang yang berkata bahwa lautan dapat mendengar kehampaan manusia, dan akan berbicara padanya ketika dia tak baik-baik saja.

Lalu, itulah yang terjadi.

Pada suatu hari ketika aku berkunjung untuk mengantarkan sebuket bunga, aku benar-benar lupa diriku siapa. Sebuah gelombang statis merambat memasuki benakku, ada yang berbicara padaku.

Lautan, lautan yang berbicara ... entah benar nyata atau hanya delusi belaka. Yang kutahu, keduanya tiada beda pada saat itu.

"Aku akan belajar berenang."

Setelah mengatakannya, aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu. Seolah beberapa jam hidupku telah dipotong dari ingatan. Hari-hari berlangsung secara buram ketika aku mendaftar dan berlatih untuk bekerja sebagai seorang penjaga pantai. Pantai yang menjadi satu-satunya alasanku melanjutkan hidup, tidak menjatuhkan diri dari tempat tinggi menuju dasar lautan dalam.

Hingga pada suatu hari (entah berapa minggu, bulan, atau bahkan tahun hingga aku terkualifikasi—aku tak ingat) mereka menempatkanku di pantai ini. Pantai Doppi, pantai yang indah dengan ratusan pengunjung setiap harinya. Pantai yang indah dengan air jernih dan pasir putih, dengan matahari terik dan langit tanpa awan.

"Hampir turun mataharinya. Kau gak pulang?" Kedatangan Sarah menyadarkanku kembali.

Aku mendongak, menoleh ke perempuan dengan rambut hitam berombak itu yang datang bersama Ray. Mereka berdua berada pada kondisi yang sama: sedikit terengah, berkeringat, pakaian terciprat air dan kaki terkena pasir, lalu menenggak sebotol air untuk mengembalikan kesegaran. Berbeda denganku yang hanya duduk dan mengawasi padahal hari ini baru menyelamatkan satu bocah aktif—yang hampir menyedot semua energi sosialku.

Ah, iya. Saatnya pulang. Terlalu banyak melamun. Tidak baik.

Aku pun berdiri dan mengambil tas yang sudah kupersiapkan (lebih tepatnya, tak pernah kubuka). Angin hangat berhembus menerpa wajahku, mengacak rambutku dan merangkul tubuhku. Rangkulan yang hanya berjalan sebentar, sebelum berlalu untuk menyejukkan wilayah baru. Suasananya sama seperti hari itu.

"Ayo!" Ray menepuk lenganku sembari tersenyum lebar.

"Keburu mataharinya turun, Boi!" imbuh Sarah yang tergelak.

Sudah tiada lagi pengunjung di Pantai Doppi. Para penjaga gerbang memastikan mereka pulang sebelum matahari tenggelam, aturannya juga berlaku bahkan bagi para penjaga pantai.

"Kenapa pantainya tutup jam segini?" tanyaku penasaran. "Padahal matahari tenggelamnya bagus."

Ray menoleh disertai senyuman khasnya yang mengembang, lalu menjawab dengan antusiasme meskipun dirinya lelah.

"Hm, gatau, ya." Dia meletakkan tangannya di dagu. "Sejak aku kerja di sini, pantainya udah tutupan waktu malam gini. Mungkin Sarah yang tau. Ya kan, Sarah?"

Sementara Sarah hanya berjalan lurus dan tegas seperti biasanya, meski Ray telah meninju lengannya pelan. Perempuan itu mengencangkan topi, lalu kami keluar melewati gerbang hitam besar yang dijaga penduduk sekitar. Mereka menunggu kami keluar, baru menutup gerbangnya dengan suara berdebum.

Padahal matahari belum tenggelam sepenuhnya. Padahal masih ada bercak merah di langit yang tersisa.

"Daripada omongin itu, kalian lebih baik segera pulang," ucap Sarah ketika membuka kunci mobilnya.

"Heii, jangan sembunyi-sembunyi lah, Mbak Sarah! Mbak tahu kan kenapa? Tahu kan? Anjirlaah, aku juga mau tau dong!" bujuk Ray sembari memasang tampang memelas, semelas mungkin. Kalau masalah membujuk, kuserahkan pada Ray saja.

Namun, yang dia lawan adalah Sarah—wanita sekuat sepuluh pemuda. Meski Sarah mendengus dan tertawa kecil, jawaban singkat padat jelasnya hanyalah 'udah, sana pulang,' meninggalkan seorang Ray yang cemberut dan menghembuskan napas seperti anak kecil.

"Rahasia-rahasiaan ini Mbak Sarah, ndasuka aku," gelengnya. "Mau kuantar, Zo?"

Aku tentu saja mengiyakan. Selama ini, caraku pulang hanya diantar Ray atau Sarah—terkadang keduanya bila Ray menumpang di mobil Sarah juga. Ketika Ray mulai tancap gas dari pantai, terlihat para penduduk penjaga gerbang membicarakan sesuatu sebelum pergi. Aku penasaran ....

"Agak aneh orang-orang itu, ya kan?" Ray seolah membaca pikiranku.

Aku mengangguk.

Ray membuka jendela di sisi kami berdua, karena dia menyukai angin malam. Aku, aku juga merindukan angin malam yang kencang. Merindukan angin yang menyapu dan memeluk tubuhmu dengan sejuk yang di dalamnya terdapat kehangatan ... melihat hamparan gelap pepohonan dan manusia yang berlalu-lalang.

Meski sekarang situasinya berbeda, di mana aku salah satu manusia yang berada dalam kendaraan. Ray menyetir dengan cepat tetapi halus, lampu jalan berwarna kuning menerpa kami berselang-seling di antara dahan dan ranting pepohonan.

"Padahal matahari tenggelamnya bagus. Bisa jadi sumber uang." Aku memecah keheningan.

"Iya itulo!" Ray langsung merespon seketika. "Ndatau lagi, sih. Dari dulu aku nda ada sangkut pautnya sama yang ngelola pantai itu. Kebanyakan dari penduduk kaya' yang kau lihat tadi. Gatau mah Mbak Sarah gamau ngasi tau, orang itu misterius parah emang."

"Hm," gumamku lalu kembali melanjutkan kegiatanku: melongok keluar jendela.

***

Ray tak bicara banyak di perjalanan kali ini. Mungkin dia kecapekan karena memang banyak pekerjaan tadi. Mungkin dia merasa bersalah karena tidak segera menyelamatkan bocah adik dari temannya sendiri. Mungkin juga dia memikirkan yang tadi kutanyakan, tentang alasan pantai ditutup saat malam padahal berpotensi menghasilkan banyak pendapatan—mungkin juga lapangan pekerjaan.

Kami saling melambaikan tangan ketika sudah mencapai depan gedung apartemenku, lalu aku menaiki tangga menuju kamar bernomor 41. Lantai empat, pertama dari ujung. Semudah itu.

Jika seseorang pertama memasuki kamarku, mungkin yang terlintas pertama adalah bahwa ruangan ini dimiliki seseorang yang baru pindahan. Atau orang yang mau pindahan dan sudah mengemas semua barang-barangnya. Mengapa? Tentu saja, karena banyak kotak-kotak barang yang masih tersegel rapi. Bertumpuk di satu sudut ruangan, tak tersentuh. Meski, sedikit debu yang menempel tentu menandakan barang-barang itu sudah di sana sejak lumayan lama.

Samar suara kendaraan sesekali terdengar, dari jalan besar yang langsung tersambung dengan balkoni. Aku berjalan ke sana untuk menutup pintu kaca dan menutup gorden, lalu berjalan menuju meja belajar yang kecil dan kosong.

Aku mendongak. Ada tiga buku yang sudah kuletakkan di rak. Tak ada keinginan bagiku untuk mengambilnya. Ketika aku membaringkan tubuh di kasur bersprai putih dan menatap langit-langit pula, tak ada keinginan bagiku untuk memejamkan mata dan berpindah ke alam mimpi.

Benakku terus melayang ke Pantai Doppi dan kejanggalannya sebelum malam hari. 

Belau AuzoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang