Lembar 5 - Lembaran Percobaan

9 3 4
                                    


"Sana, panjat," bisikku sembari melontarkan gestur menggunakan ibu jari.

Ray, yang telah berganti pakaian dengan kilat, menelan ludah dan menatap pagar besi dengan pupil yang mengecil.

Serius?

***

Kami telah menghindari mobil Sarah, berputar dua kali untuk mencari tempat ganti Ray—yang tak berhasil, akhirnya dia berganti di mobil dengan aku yang menyetir—keputusan buruk sebenarnya, aku hampir menabrak pohon dua kali—parkir di tempat yang cukup jauh dari pantai, mengendap mendekat, dan sampai di pagar pembatas yang tak terjangkau oleh gerbang. Yang tersisa hanyalah memanjat masuk.

Namun, tampaknya si abang lifeguard gagah perkasa ini punya masalah dengan itu.

Aku memelototi Ray yang sekarang tampak seperti kucing ketakutan. Memberikan pesan nonverbal: waktu kita terbatas, Ray, ayo cepat panjat dan sembunyi sebelum ketahuan!

"Hust, kau bekas Pasukan Langit, Zo! Kau duluan aja!" bisiknya terburu-buru.

Matahari hampir mencapai ujungnya, sebagian besar langit telah berwarna biru tua dengan hanya seberkas merah yang tersisa. Para penduduk penjaga gerbang memberikan sinyal pada orang-orang yang tersisa di pantai untuk keluar segera.

"Nanti kau ga bisa naik, dong," lontarku sembari memutar bola mata.

Mendengar ini, raut wajah Ray semakin mengkhawatirkan. Dia menelan ludah dan membuka mulut, tetapi terhenti seolah ucapannya tersendat di tenggorokan.

"Canda, kok," dengusku sembari menepuk pundaknya dua kali.

Aku mundur dua langkah, lalu mengambil lompatan besar. Kaki kanan, kaki kiri. Hup, aku telah sampai di sepertiga gerbang bagian atas. Aku berpegangan dengan tangan kiri, lalu mengulurkan tangan kananku ke bawah dan menatap Ray yang tampak tegang.

Dengan ragu, dia menggenggam tanganku. Aku mencengkeramnya, lalu membantingnya melewati atas gerbang dan berdebum di tanah. Tak terlalu keras, tentunya. Aku tak ingin ada yang curiga. Setelah itu, aku ikut melompati atas pagar dan mandarat halus seperti kucing.

"Bro—gimana—"

"Gampang, kan?"

"Matamu gam—"

"—ssh."

Aku meletakkan telunjuk di bibir, menatap Ray serius. Dia pun segera mengangguk, mengetahui situasi yang segera kami hadapi. Kami mencari rumpun pohon pinus yang rimbun dan berdekatan, serta tak banyak ranting maupun biji pinus di bawahnya—jaga-jaga saja, tetapi jika tak sengaja terinjak akan menimbulkan suara. Semakin banyak suara, semakin orang bisa curiga.

***

Kami sudah bersembunyi di balik pohon selama satu jam.

Aku sudah biasa melakukan pekerjaan berdiam diri seperti ini, tetapi tidak dengan Ray yang selalu aktif bergerak kesana kemari. Langit kini telah menjadi kelam, kecuali bulan sabit yang temaram di sela-sela awan.

"Zo." Ray menoel lenganku dua kali. "Beneran bakal ada sesuatu ini?"

Sepertinya aku bisa menerka yang dia rasakan. Dari awal perjuangannya menyetir berputar-putar, mengenakan pakaian khusus dengan terburu-buru dan berusaha memanjat gerbang, menunggu satu jam di balik pohon pinus pasti melelahkan dan membosankan untuknya.

"Aku yakin," jawabku. "Kalo ndak, mereka ga akan nutup gerbangnya."

Berikutnya, Ray hanya menghela napas berat, dan kurasakan kepalanya bersandar di lenganku.

Belau AuzoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang