Aku sempat berfikir hidupku terlalu rendah untuk dipuji, terlalu gelap untuk dipandang, dan terlalu duka untuk diceritakan. Aku bocah dekil berambut ikal dengan kulit hitam penuh kurap sekujur kaki. Tak ada yang peduli pada orang kecil seperti ku yang hidup sebatang kara dan tinggal beratap jembatan beton yang setiap saat bersenandung getar akibat kendaraan yang lintas di atasnya.
Saat hujan deras malam ini aku bersama kedua teman mulai larut nyenyak dengan kain sarung yang terbalut di tubuh. Kami bertiga memiliki jalan cerita yang sama sebagai anak jalanan yang setiap harinya bekerja di pinggir jalan, meminta belas kasihan dari orang lain. Malam adalah waktu untuk melepas segala lelahnya dari mencari nafkah untuk diri sendiri, tanpa bantuan orang lain bahkan tanpa orang tua. Belom sempat aku tertidur pulas, tiba-tiba saja aku terbangun. Aku coba untuk memejamkan mata sekali lagi, namun aku tidak bisa tidur lagi. Aku memutar badan ke kanan, tentu saja wajahku langsung bertemu dengan wajah Lala. Aku lihat jauh di dalam nya penuh kelelahan dan kesedihan, sama seperti ku. Mengapa kami harus ditakdirkan hidup seperti ini penuh dengan kesengsaraan? Aku membalikkan badan ke kiri. Aku melihat Amo sedang pulas dalam tidurnya. Amo teman yang baik bagiku. Aku sayang dia. Walaupun dia buta, tidak pernah melihat dunia, tetapi dia bisa merasakan segala yang ku rasakan. Segala duka dan kesedihan hilang begitu saja jika bersamanya.
“Kamu belum tidur Cici? “ hampir saja aku lari kencang. Suara Amo membuatku terkejut. Aku kira dia sudah tidur pulas ternyata salah.
“Hampir saja kamu buat jantung aku lepas. Aku terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Kamu belum tidur?” sahut ku pada Amo.
“Aku belum bisa tidur”
“Seharusnya kalau hujan begini kita bisa tidur nyenyak seperti biasa. Tapi malam ini beda Mo, aku merasakan sesuatu tapi tidak tau apa sesuatu itu” Aku mulai menceritakan keresahan ku.
“Kalau kita punya rumah mewah, kita tidur di atas kasur empuk, ditemani dengan sejumlah boneka, dan juga berselimut kain tebal, pasti kita bisa tidur nyenyak” Sahut Amo yang mulai meratapi nasib.
“Nanti kalau udah besar aku mau jadi arsitektur. Aku mau buat rumah mewah untuk kita bertiga. Kamu mau rumah yang kayak mana? Nanti aku bikinin deh hehe”
“Janji ya kalau kamu mau bikinin rumah mewah. Aku mau di depan rumah ada taman kecil untuk kita main, ada ruang makan, ruang TV, kolam renang, sama yang paling penting di atas dibuat koridor untuk kita melihat bintang. Walaupun aku tidak bisa melihatnya, kalian bisa menceritakan padaku indahnya bintang itu” Sepertinya Amo mulai berkhayal. Tetapi tidak apa-apa. Bagi kami khayalan adalah seindah indahnya hidup.
“Iya aku janji”Tidak lama setelah itu kami coba untuk tidur kembali. Hampir saja aku tertidur tetapi aku harus terbangun lagi. Aku mendengar suara kuat seperti retakan dari atas. Mungkin saja mobil bermuatan besar sedang lewat di atas. Aku menutup telinga dengan kedua tangan agar tidak mendengar nya lagi, tetapi suara itu semakin ribut dan kuat. Aku menutup wajahku dengan kain sarung, mencoba untuk mengabaikan. “Aduh” aku merasakan sesuatu yang mengenai kaki kiriku. Aku buka kain yang menutup wajahku. Dari atas terlihat beberapa keping beton akan jatuh dan beton ukuran sangat kecil tadi jatuh di kaki kiriku. Jembatan ini akan ambruk. Aku segara membangunkan Amo dan Lala. Kami menangis dan berlari mencoba mencari jalan keluar. Kami berteriak meminta tolong, tetapi siapa yang mendengar dilarut malam dan diwaktu hujan begini? Aku lupa Amo tidak bisa melihat. Bagaimana dia bisa berlari dalam keadaan begitu? Aku ingin menghampiri Amo yang jauh di belakang, tetapi Lala terus menarik tanganku untuk pergi. “Amo maafkan aku” teriakku sambil menangis terisak isak.
“Lala awas” aku teriak kencang. Dengan mata kepala sendiri aku melihat Lala tertimbun beton. Aku semakin menangis. Badannya tak bergerak, darah bercucuran dari punggungnya. Air hujan membuat percikan darah yang mengalir terlihat mengerikan. Aku tidak sanggup melihat kejadian ini. Sekarang tinggal aku sendirian. Aku berlari dan menangis ditengah hujan lebat. Tempat ini begitu gelap. Aku kesulitan mencari jalan keluar. Tidak sengaja aku menendang sesuatu dan terjatuh. Beton besar dari atas nyaris menimpaku, secepatnya aku bangkit dan mencoba lari namun tidak sempat. “Au aduh kakiku” kaki kiriku tertimpa beton. “tolong, tolong” Jika Tuhan mentakdirkan hidupku sampai disini saja, aku ikhlas. Jika Tuhan memberiku kesempatan, tolong aku Tuhan. Mataku terasa berat, mungkin saat ini aku bisa tidur nyenyak. “Amo, Lala” suaraku semakin rintih.
KAMU SEDANG MEMBACA
CERPEN PELAJARAN HIDUP
Cerita PendekTentang apa yang orang lain rasakan tapi tidak kamu ketahui. Tentang hidup mereka yang susah tapi kamu tetap berhura-hura. Tentang hikmah hidup tapi kamu tidak pernah menyadarinya.