Halo. Aku Ronald Reeves, 15 tahun, seorang lelaki tulen. Saat ini tanganku sedang sibuk mengetukkan pensilku di meja kayu penuh coretan. Bu Angela mendelik kepadaku, menaruh satu telunjuk di bibirnya. 'Diam,' mulutnya mengucap tanpa suara.
Aku menundukkan kepala, bergumam pada kepalaku. Memangnya ada yang repot-repot amat memperhatikan kegiatanku? Toh kepala mereka sedang di hantui oleh ribuan angka-angka rumit, dan huruf-huruf yang seharusnya di jadikan angka.
Bosan dengan kesunyian kelas, aku mengangkat tangan. Beberapa mata menoleh padaku, penasaran. Begitu juga Bu Angela.
"Sudah selesai. Boleh di kumpulkan?"
Desas-desis suara kawan-kawanku bergerumuh di seluruh ruangan. Bu Angela mengangkat sebelah alisnya, mengulurkan lengannya untuk melihat hasil kerjaku. "Kerja bagus, Reeves. Silahkan keluar."
Aku berseru senang dalam hati. Aku cinta matematika. Persetan dengan pelajaran lain, aku tidak peduli. Asalkan nilai matematika-ku melampaui batas pengharapan kedua orang tuaku.
Dengan membopong tas punggungku yang enteng luar biasa, aku mengaktifkan telepon genggam. Bokongku melandas halus di kursi panjang kafetaria—yang tentu saja sepi, karena aku satu-satunya siswa yang berhasil keluar paling awal di ujian akhir hari ini.
Indra pendengaranku tiba-tiba terganggu, mendengar sumber suara lain, yang bukan berasal dari handphone-ku. Langkah kaki.
Tunggu, ada siswa lain yang selamat dari ujian ini dengan cepat, selain diriku? Penasaran, mataku mencari-cari sumber suara itu. Rupanya datang dari arah jarum jam setengah tiga—
Objek yang pertama kali aku lihat adalah jaketnya— hijau, menutupi 3/4 bagian tubuhnya. Tangannya meremas sebuah buku tipis, yang anehnya terlihat tidak asing untukku. Wajahnya sedikit tertutupi karena anak rambutnya. Dia seorang brunette—cewek dengan rambut coklat gelap.
Ketika akhirnya ia duduk di seberangku—jaraknya 3 meja dariku—aku bisa melihat wajahnya. Matanya berpendar gelap, hitam, menggambarkan kesan cuek seperti, 'Bodo amat sama dunia'
Ia melempar tasnya sembarangan di meja, lalu melepas jaketnya. Aku bisa melihat gelang hijau gelapnya, seperti warna seragam tentara, bergelantungan di pergelangan tangannya ketika ia mengangkat tipisnya barusan.
Gadis itu memergokiku sedang menatap kearahnya, membuatnya menghela napas, seolah ia bosan melihatku—walau kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Melihat ekspresinya yang menyebalkan—meskipun dia cantik banget—aku enggan mengamatinya lagi dan mengembalikan arah pandanganku pada handphone ku yang memainkan theme song dari game Dumb Ways To Die.
Mendengar harmoni yang dimainkan handphone ku, si gadis mengangkat kepalanya dari bukunya, melirik kearahku. Aku menyengir sedikit.
Dia memutar bola matanya.
Kemudian mataku menangkap judul bukunya— Asterix dan Obelix.
Dan saat itu, aku tahu perbuatanku itu gila sekali. Kakakku dan aku adalah penggemar komik lama itu, kami punya puluhan dirumah. Dengan percaya diri aku beranjak dan berseru padanya,
"Obelix terjatuh dalam panci berisi ramuan khasiat saat ia bayi, kan?"
Dan saat itu, aku merasakan sejuta kupu-kupu meledak dalam perutku, merayap menuju tenggorokanku saat bibirnya membuat senyum simpul yang membuatku mati kutu.
##
HIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII. I'M SORRY- BAHASA BAKUNYA FAIL BANGET— SINCE THIS IS THE FIRST TIME I ACTUALLY PUBLISHED SOMETHING WITH INDONESIA LANGUAGE. JADI SEDIKIT AWKWARD YA. TAPI THANKYOU SO MUCH BUAT YANG UDAH SEMPET-SEMPETIN BACA OMONG KOSONG INI!!
I DON'T EXPECT MUCH BUT KALO BISA VOMMENT UNTUK AUTHOR BOCAH YANG LUGU DAN TIDAK TAHU APA APA INI **LE PUPPY EYES.
REGARDS, D.
KAMU SEDANG MEMBACA
I DON'T DATE. (teenfictions, ina.)
Teen Fictionprinsip hidup: aku tidak butuh pacar.